Oleh: Didin S Damanhuri (Guru besar Ekonomi Politik dep.Ilmu Ekonomi FEM IPB)

SABUROmedia, – Globalisasi (sebelum bencana Covid 19 datang) telah menjadikan dunia yg mengecil (global village) dengan pergerakan orang, barang dan jasa antar negara tanpa batas (borderless). Hal itu terutama bagi orang kalangan menengah ke atas. Lebih dahsyat lagi setelah ada revolusi Industri 3.0 (dengan travel, telekomunikasi dan telematika) dan revolusi industri 4.0 (denga pemakaian big data dengan algoritma dan cloud computing membuat makin jauh lebih mudah dan super cepat lagi untuk traveling, proses produksi dan pengiriman barang, serta tranportasi ke setiap penjuru dunia. Dengan begitu, akumulasi kapital para pebisnis, elit politik dan kelas menengah makin fantastik. Sebaliknya bagi kalangan menengah ke bawah, globalisasi bukan hanya mereka hampir tak menikmati arti globalisasi seperti diraih kalangan menengah ke atas, tapi juga malahan makin terjadi marginalisasi, pemiskinan dan ketertinggalan digital (digital divided). Hal itu juga terjadi gap yang tajam antar Negara Kaya dan Negara Miskin.

Fenomena yang Kontradiktif

Salah satu ilustrasinya adalah, dengan globalisasi telah meningkatkan volume perdagangan dunia berlipat lebih 50 kali sejak tahun 1990 hingga sekarang. Tapi gap entara Negara Kaya dengan dengan Negara Miskin makin Jomplang. Menurut Oxfam (NGO Eropa yang kerap meneliti isyu-isyu ketimpangan), mencatat bahwa pada tahun 2019, 2.153 orang paling kaya di dunia (0,00003% yang umumnya ada di negera-negara kaya) lebih besar kekayaannya daripada 60% penduduk dunia paling miskin (yang umumnya ada di negara-negara miskin). Sementara, di Indonesia sendiri menurut Credit Suisse (2018), 1% orang terkaya menguasai 46,6% kekayaan nasional dan 10% orang terkaya menguasai 75,3% kekayaan nasional. Padahal awal 1970an Rasio Gini Indonesia sekitar 0,32, relatif merata. Dengan demikian, Globalisasi jauh lebih menguntungkan bagi Negara-Negara Kaya dengan makin merugikan negara-negara miskin. Juga Jauh lebih menguntungkan bagi kelompok-kelompok kaya dengan mengorbankan Rakyat Kebanyakan di intern negara-negara masing-masing.

Wabah Virus Baru Corona (Covid 19), tercatat mulai terdiagnosis 1 desember 2019 di Wuhan, Provinsi Hubai, RRC. Sejak itu menyebar bersifat exponensial. Pada tanggal 25 maret 2020, yang terinveksi tercatat sebanyak 422.989 dan yang meninggal 18.916 orang yang berarti tingkat kematiannya 4,4%. Sementara di Indonesia terinveksi 790 dan meninggal 58 orang yang berarti tingkat kematian 7,3% (beberapa hari sebelumnya tercatat 9,3%, tertinggi di dunia). Tapi problem Covid 19 ini yang sangat dikhawatirkan adalah bukan kematiannya, tapi super cepatnya penyebaran sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan sebagai Pandemi Global, artinya penyebarannya mencapai geografis hampir ke seluruh negara-negara di dunia.

Dan apa rekasi negara-negara di dunia menghadapi bencana Covid 19 ? sejak bulan Maret ini, banyk negara di dunia termasuk di India yang penduduknya 1,3 Milyar melakukan kebijakan Lock-down (isolasi dari dan ke negara tertentu atau dari satu wilayah ke wilayah lain di suatu negara) baik total (negara-negara Eropa, India) maupun parsial seperti di Indonesia dimana masyarakatnya bekerja dan belajar di rumah serta dengan mengintruksikan Pembatasan sosial (social distancing). Hal terakhir, dengan dilarang berkerumun banyak orang serta membuat jarak antar orang minimal 1,5 meter. Sejak itu, terjadilah dalam sejarah di dunia terutama di kota-kota besar baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang, suasana lengang, sepi dan berhentinya kegiatan bisnis dan perdadangan. Suatu keadaan sangat kontras dibandingkan dengan sebelum terjadinya Covid 19, dalam euphoria Globalisasi dan revolusi 4.0 dengan super cepatnya pergerakan orang dan barang antar negara dan di intern sebuan negara, Sehingga Covid 19 jadi semacam Interupsi terhadap Globalisasi, setidaknya semacam relaksasi terhadapnya panasnya kegiatan perekonomian global dan di intern negara-negara.

Dalam konteks globalisasi tersebut telah menciptakan “yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin, baik antar negara maupun di inter negara-negara. Yang sangat menarik, adalah bahwa Epicentrum Civid 19 adalah di Negara paling kaya qua index daya beli (purchasing power parity), yakni China. Kemudian Jepang, Korea selatan, Eropa dan Amerika. Jadi makin ke negara miskin (misalnya negara Afrka hitam) Covid 19 makin kecil penyebarannya. Di intern negara-negara juga, epicentrumnya di Kota-Kota Besar, kemudian kota sedang dan ke pedesaan makin lamban pnnyebarannya. Penyebarannya tak kenal kasta dan tak sedikit tokoh negara (Pangeran Charles dari Inggris dan Istri PM Kanada), beberapa Menteri serta Jenderal di Eropa serta elit lainnya seperti Presiden Sepak Bola Real Madrid dan sejumlah artis dunia). Di Indonesian sendiri terinveksi Menteri Perhubungan dan sejumlah Pejabat Tinggi, Professor, dokter-dokter bahkan ada beberepa Petinggi yang meninggal akibat Covid 19 ini. Sementara itu, hingga sdekarang belum ada satu Labolatoriumpun termasuk di China dan AS yang sudah menemukan secara meyakinkan, anti Covid 19 yang dapat mengakhiri fandemi global tersebut. Meski diklaim bahwa China sudah mulai turun jumlah yang terinveksi. Oleh karena itu, menjadi pertanyaan paling krusial: Sampai kapan kebijakan Lockdown (total ataupun parsial) diakhiri hingga ancaman Covid 19 itu benar-benar aman dari penyebaran maupun menimbulkan kematian ?

Dampak terhadap Perekonomian

Pertaanyaan lebih lanjut adalah dampak Covid 19 terhadap kondisi perekonomian global maupun nasional ? Prediksi penurunan Pertumbuhan Ekonomi Global menurut lembaga-lembaga Internasional (Morgan Stanley, Goldman Sach, IMF) 0,9 hingga 1,25% yang tadinya diperkirakan 3,3%. Sementara untuk AS yang merupakan ekonomi terbesar dunia, akan jauh lebih buruk, yakni – 2,4 hingga – 30,1%. Untuk China, prediksinya antara 4 hingga 5,6% yang sebelumnya 6% (terendah selama 30 tahun terakhir). Bagimana dengan Indonesia ? Perkiraan menurut studi Warwick McKibbin dan Roshen Fernando (Australian National University), memprediksi antara 4,7 , 2,8 hingga 1,3% yang sebelumnya dalam rencana APBN akan bertumbuh 5,3%. Belum lagi dampak adanya anjloknya harga minyak akibat peraang harga antara Arab Saudi dengan Rusia. Dan Puncak Gunung Es nya adalah terjadinya penurunan IHSG (Index Harga Saham Gabungan) yang turun hampir 30% sejak awal tahun serta Kurs Rupiah yang hingga tanggal 25 Maret, hampir menyentuh 17.000 per USD, level yang hampir sama dengan ketika krisis 1998.

Dengan gambaran seperti di atas, masih cukup banyak yang tetap optimis bahwa pandemi Covid 19 akan teratasi dan perekonomian global maupun nasional akan menurun tapi gak terlalu parah, Tapi ada juga ramalan terburuknya dari Bank of America, bahwa perekonomian akan mengalami Resesi Hebat (great depression) seperti tahun 30an. Waktu itu terjadi Macetnya produksi global bersamaan dengan terjadinya pengangguran besar-besaran serta inflasi yag melonjak sangat tinggi.

Ekonomi Politik Covid 19

Lepas mana ramalan yang akan jadi kenyataan dari Covid 19 dan krisis ekonomi yang mnyertainya, apa cepat teratasi dengan dampak sedang terhadap perekonomian, lebih lama teratasi dengan dampak Resesi Ekonomi seperti tahun 2009 atau lama sekali teratasi dengan dampak Resesi Hebat seperti tahun 30an, bagaimanapun Indonesia harus mengantisipasinya secara cerdas dan bijaksana.

Di tingkat global, diharapkan terjadi equilibrium dalam kebijakan ekonomi global di tengah Perang Dagang yang belum usai dan wabah Covid 19 yang belum tahu kapan dapat diakhiri. Globalisasi yang secara reaktif dikonfrontasikan oleh Trumpnomics yang protreksionis yang itupun telah menimbulkan kontraksi ekonomi baik di tingkat global, AS, China, Eropa maupun negera-negara sisa dunia lainnya. Psrang Dagang belum berakhir, kemudian terjadi Pandemi global Covid 19 yang dampaknya akan jauh lebih buruk terhadap perekonomian maupun peradaban. Semntara, kita telah mencatat, dampak buruk globalisasi terhadap penciptaan ketimpangan antar negara maupun intern negara-negara. Belum lagi Kerusakan Lingkungan dengan perubahan iklim yang juga tidak kalah hebat dampaknya terhadap perekonomian global maupunn nasional.

Salah satu tesis mengapa terjadi ketimpangann yang makin buruk baik di tingkat global maupun nasional adalah tidak hadirnya negara dalam konteks terjadinya “privat supremacy” dalam pasar dan perekonomian global maupun nasional, Sehingga justru World Bank secara tak berpreseden mengemukakan penilaiannya berdasarkan data-data empiris, bahwa yang perform di antara negera-negara maju dalam era globalisasi dan revolusi 4.0 adalah negera-negara dengan tradisi active state (Jepang, Korea selatan, China dan negara-negaranScandinavia). Artinya makin tidak hadir negara di era sekarang ini, makin kurang berkinerja baik. Oleh karena itu, mmenurutn hemat penulis, seperti pasca resesi hebat tahun 30an, maka kebijakan ala Kesnes dan keynessian lah yang memberikan solusi terhadap perekonomian dunia. Maka Pasca Covid 19 pun menurut hemat penulis, maka tradisi negera-negara sosial demokrat seperti Negara-Negara Scandianvia, Jerman dan Parncis yang akan lebih memberikan solusi. Plus apa yang saya Kualifikasikan sebagai Heterodox Model seperti Jeopang, Korsel dan China di Asia. Dan Indonesia dengan Pasal 33 UUD’45 telah secara konseptual memberikann peran negara yang kompatibel dalam mencari solusi pasca covid 19 dengan PR terbesar adanya ketimpangan sosial ekonomi yang buruk bahkan terjadi Oligarki Financial yang kawin dengan oligarki politik. Sehingga, dalam penanganan Covid 19 pun dinggap terlambat seperti diakui Menko Luhut Binsar Panjaitan. Mudah-mudahan Bencana Covid 19 segera berlalu dan perekonomian Indonesiapun mampu keluar dari perangkap resesi hebat global, semoga. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *