SABUROmedia, Jakarta – Pandemi corona virus (Covid-19) telah menjadi bencana dan permasalahan global. Sebagian besar negara di dunia telah terjangkit Covid-19, termasuk Indonesia. Jumlah orang yang positif Covid-19 di Indonesia terus bertambah, dengan sebarannya saat ini mencapai 20 provinsi. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya pencegahan, tetapi karena penyebaran Covid-19 yang sangat cepat dan sulit dideteksi, maka kenaikan jumlah pasien Covid-19 ini tidak dapat dielakkan.
Kondisi ini menjadi tantangan bagi dokter dan tenaga medis yang harus berjuang bukan hanya melakukan upaya pencegahan transmisi Covi-19, akan tetapi juga penyelamatan nyawa ratusan pasien Covid-19. Dalam perjuangannya, mereka penuh risiko tertular Covid-19. Setidaknya sudah ada 9 (sembilan) dokter gugur dalam upaya menyelamatkan para pasien Corona, karena tertular Covid-19 maupun karena kelelahan dalam mengobatinya. Mereka terpapar saat menangani pasien Covid-19 tanpa Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai. Padahal tenaga medis Covid-19 membutuhkan dan harus memakai alat proteksi diri sesuai standar agar terhindar dari tertular Covid-19.
APD merupakan alat yang wajib digunakan untuk meningkatkan keselamatan diri tenaga medis dan merupakan bagian dari standar untuk melindunginya daritertular pasie n penyakit menular, seperti Covid-19. APD terdiri dari; baju hazmat (baju coverall), kacamata-google, penutup kepala, masker N95, sarung tangan, dan sepatu boot.
Dalam menangani pasien Covid-19, dokter dan tenaga medis harus memakai APD sesuai prosedur standar dan lengkap (baju hazmat/baju coverall, kacamatagoogle, penutup kepala, masker N95, sarung tangan, dan sepatu boot). Pada saat mereka bertugas dengan APD lengkap, maka mereka harus memakainya selama 1 shift, karena APD hanya satu kali pakai dan harganya cukup mahal. Oleh sebab itu, mereka memakai APD selama 1 shift, yang biasanya selama 6-7 jam. Dalam waktu itu mereka tidak bisa makan, minum, buang air, dan lainnya. Termasuk bagi mereka yang Muslim tidak bisa berwudhu atau tayamum untuk bersuci (rof’ul hadats) guna menjalankan shalat sesuai dengan waktunya. Jika bagi mereka yang kebagian shift dari jam 08.00-14.00, maka tidak ada masalah baginya untuk menjalankan sholat sesuai dengan waktunya. Tetapi bagi tenaga medis yang kebagian shift dari jam 14.00-21.00, maka mereka akan terkendala dalam melaksanakan shalat Ashar dan Maghrib.
2 Padahal, shalat lima waktu adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang Islam yang aqil dan baligh, kapan pun dan di mana pun. Hanya dalam kondisi tertentu umat Islam diperbolehkan mengambil rukhsah (dispensasi) untuk men-jama’ dan meng-qashar shalat. Di antara yang boleh men-jama’ shalat adalah orang yang sedang bepergian dan orang yang dalam keadaan masyaqqah seperti orang sakit.
Pertanyaannya, bagaimana shalatnya tenaga medis yang dalam kondisi sibuk mengurus pasien Covid-19 dan menggunakan APD lengkap yang kesulitan berwudhu dan tayamum untuk menjalankan shalat pada waktunya? Sedangkan kita tahu bahwa sakit akibat virus Corona membutuhkan penanganan ekstra yang menghabiskan waktu lama.
Pada dasarnya, tenaga medis dan dokter yang mengurus pasien Covid-19 itu tetapberkewajiban melaksanakan shalat fardhu 5 waktu. Karena kewajiban shalat tidak dapat digugurkan oleh ruang, waktu dan keadaan. Firman Allah Swt. sebagai berikut:
إِنَّ الصَّلَةَكَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَكِتَابًا مَوْقُوْتًا (النساء:١٠٣(
“Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS. Al-Nisa’: 103). Namun, realitas tenaga medis pasien Covid-19 yang sementara tidak dimungkinkan berwudhu’ dan bertayammum dalam menangani pasien dan dalam waktu yang cukup lama, maka mereka sudah dalam kondisi masyaqqah (kesulitan) yang berhak mendapatkan rukhshah (dispensasi). Dalam kondisi tersebut, para petugas medis pasien Covid-19 dapat melaksanakan kewajiban shalatnya dengan salah satu ketentuan sebagai berikut:
1. Shalat Jama’ lil Hajah
Dalam kondisi keperluan mendesak (lil hajah), beberapa ulama berpendapat boleh melakukan shalat jama’ selama tidak dilakukan secara rutin terusmenerus. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Saw. juga pernah melakukan shalat jama’ meski tidak dalam perjalanan. Sebagaimana keterangan hadits berikut:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا وَثَمَانِيًا الظّهْرَ وَالْعَصْرَوَالْمَغْرِبَوَالْعِشَاءَ فَقَالَ أَيّوبُ لَعَلَّهُ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ قَالَ عَسَى
“Dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Nabi saw pernah melaksanakan shalat di Madinah sebanyak tujuh dan delapan, yaitu shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya’.” Ayyub berkata, “Barangkali hal itu ketika pada malam itu hujan.” Ibnu Abbas berkata, “Bisa jadi.” (HR.Bukhari).
Imam Ibn Sirin memperbolehkan jama’ didasari hajat atau selama tidak dijadikan kebiasaan.” (al-Majmu’ Syarah al Muhadzab, Juz. 5 h. 503-505) Pendapat yang sama juga disampaikan dalam kitab Kifayatul Akhyar berikut:
قَالَ النَّوَوِيّ القَوْل بِجَوَاز الْجمع بِالْمرضِ ظَاهر مُخْتَار فقدثَبت فِي صَحِيح مُسلم أَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِوَسلم (جمع بِالْمَدِينَةِ من غير خوف وَلَ مطر) قَالَ السنائي وَمَا اخْتَارالنَّوَوِيّ نَصعَلَيْهِ الشَّافِعِيفِيمُخْتَصرالْمُزنِيّوَيُؤَيّدهُ الْمَعْنىأَيْضافَإِن الْمَرَضيجوز الْفطركالسفرفالجمع أولىبلذهبجمَاعَةمنالْعلمَاءإِلَىجَوَازالْجمع فِيالْحَضَر للْحَاجة لمن لَ يَتَّخِذهُ عَادَة وَبِه قَالَ أَبُو إِسْحَاق الْمروزِي وَنَقله عَن الْقفال وَحَكَاهُ الْخطابِيّ عَن جمَاعَة من أَصْحَاب الحَدِيث وَاخْتَارَهُ ابْن الْمُنْذر من أَصْحَابنَاوَبِه قَالَ أَشهب من أَصْحَاب مَالكوَهُوَ قَول ابْن سِرين وَيشْهدلَهُ قَول ابْن عَبَّاس رَضِي الله عَنْهُمَا أَرَادَ أَن لَ يحرج أمته حِين ذكر أَن رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِوَسلم (جمع بِالْمَدِينَةِ بَين
sebab’ jama diperbolehkannya tentang pendapat bahwa mengatakan Nawawi-An Imam “الظّهْروَالْعصروَالْمغْربوَالْعشَاء من غير خوفوَلَ مطر) sakit adalah pendapat yang ada dan kondisional. Dalam Shahih Muslim terdapat keterangan bahwa Nabi SAW menjama’ shalat di Madinah tanpa alasan takut dan hujan. Imam Al-Asna’i mengatakan; apa yang telah dipilih An-Nawawi sudah ditegaskan Imam As-Syafi’i dalam Mukhtashar al-Muzani dan diperkuat pula oleh kandungan makna hadits. Bahwa alasan sakit memperbolehkan tidak berpuasa sebagaimana alasan bepergian, tentunya menjama’ shalat lebih bisa diperbolehkan. Segolongan ulama bahkan memilih pendapat diperbolehkannya shalat jama’ di rumah (tidak saat bepergian) sebab adanya hajat bagi mereka yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Pendapat ini juga disampaikan Imam Abu Ishaq al-Maruzi yang dinukil dari pendapat Imam AlQaffal. Imam al-Khatthabi meriwayatkan pendapat ini dari segolongan Ashhabul Hadits
dan dipilih oleh Imam Ibn al-Mundzir dari Ashhab kita serta merupakan pendapat Imam Asyhab dari Ashab Imam Malik. Versi ini adalah pendapat Imam Ibn Sirin. Diperkuat dengan komentar Imam Ibnu Abbas RA; ‘Nabi SAW menghendaki tidak mempersulit umatnya’ saat Beliau menyitir hadits bahwa Nabi SAW menjama’ shalat di Madinah antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’ tanpa ada alasan ketakutan dan tanpa pula alasan hujan”. (Kifayatul Ahkyar, Juz. 1 h. 140).
2. Shalat Pada Waktunya Sesuai Kemampuan Dalam keadaan darurat, petugas medis yang menggunakan APD, dapat menjalankan shalat meskipun dalam keadaan hadats (tidak suci), karena tidak dapat berwudhu atau tayammum, tidak bisa sujud, badan/pakaian terkena najis, dan lain-lain. Mereka dapat melaksanakan semampunya untuk menghormati waktu shalat (lihurmatil waqti). Terdapat sebuah riwayat, di mana shahabat Rasulullah Saw. melakukan shalat dalam keadaan hadas, tanpa berwudhu, sebagaimana hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا أَنَّهَا اسْتَعَارَتْ مِنْ أَسْمَاءَ قِلَدَةً فَهَلَكَتْ فَأَرْسَلَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِهِ فِيْ طَلَبِهَا فَأَدْرَكَتْهُمْ الصَّلَةُ فَصَلَّوْا بِغَيْرِ وُضُوْءٍ (رواه البخارى)
“Dari ‘Aisyah r.a bahwa dia meminjam sebuah kalung dari Asma’, lalu kalung itu rusak. Maka Rasulullah memerintahkan orang-orang dari para shahabat beliau untuk mencarinya, kemudian waktu shalat tiba, dan akhirnya mereka shalat tanpa berwudlu’ (HR. al-Bukhari). Dan juga terdapat hadits yang menunjukkan bahwa perintah Nabi Saw, termasuk shalat, itu harus tetap dilaksanakan meski sedang dalam keadaan tidak kondusif. Rasulullah Saw. bersabda:
عن أبي هريرة عبدالرحمن بن صخر رضي الله تعلى عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليهوآلهوسلم يقول : (( ما نهيتكم عنه فاجتنبوهوما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم فإنما أهلكالذين من قبلكم كثرةمسائلهم واختلفهم على أنبيائهم )) رواه البخاري ومسلم.
“Dari Abi Hurairah Abdul Rahman bin shokhr RA. berkata: “ Saya mendengar nabi Muhammad SAW. bersabda: “Segala sesuatu yang aku larang buat kalian semua, maka jauhilah. Segala sesuatu yang aku perintahkan kepada kalian semua, maka lakukan semampu kalian. Generasi sebelum kalian hancur disebabkan terlalu banyak bertanya (protes) dan menyelisihi para nabi mereka”. (HR. Bukhari – Muslim).Menanggapi hal ini, ulama berbeda pendapat:a.Harus mengulang saat kondisi sudah memungkinkan. Dalam pandangan mazhab Syafi’i, orang yang menjalankan shalat lihurmatil waqti (untuk menghormati waktu) tetap wajib mengulang atau meng-qodho’shalatnya bila sudah dalam kondisi yang memungkinkan. Karena kesibukan yang dialami oleh dokter dan tenaga medis pasien covid-19 hanya terjadi pada saat wabah saja, tidak dijadikan kebiasaan. Sehingga kewajiban mengulang shalat yang dilaksanakan secara tidak sempurna pada waktunya tetap berlaku. Imam Nawawi dalam kitab majmu’ menjelaskan:
(فرع) قال أصحابنا ولو حضرت الصلة المكتوبة وهم سائرون وخاف لو نزل ليصليها علي الرض الي القبلة انقطاعا عن رفقته أو خاف علي نفسه أوماله لم يجز ترك الصلة وإخراجها عن وقتها بل يصليها على الدابة لحرمة الوقت وتجب العادة لنه عذر نادر هكذا ذكر المسألة جماعة منهم صاحب التهذيب والرافعي.
“Berkata ashhab kita: ketika datang waktu shalat wajib saat mereka sedang dalam perjalanan dan khawatir trpisah dari rombongan jika berhenti untuk melaksanakan shalat, atau khawatir keselamatan jiwa atau harta, maka tidak diperbolehkan meninggalkan shalat atau melakukannya di luar waktu, tetapi hendaklah melaksanakan shalat di atas kendaraan untuk menghormati waktu. Dan wajib mengulang shalat itu karena hal demikian adalah udzur yang langka. Pendapat ini dituturkan oleh shohibu tadzhib dan imam Rafi’i. “(al-Majmu’ Syarah al Muhadzab, Juz. 3 h. 242).
Pendapat yang sama juga terdapat pada keterangan dalam kitab Hasyiyah alBajuri ‘ala Fath al-Qarib berikut:
(تِتِمَّةٌ) عَلَى فَاقِدِ الطَّهُوْرَيْنِ وَهُمَا الْمَاءُ وَالتّرَابُ أَنْ يُصَلّيَ الْفَرْضَ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَيُعِيْدَهُ إِذَاوَجَدَ أَحَدُهُمَا
“Bagi orang yang tidak mendapatkan dua alat bersuci, yaitu air dan debu, maka ia wajib shalat fardhu demi menghormati waktu dan wajib mengulanginya kembali jika mendapatkan salah satu dari kedua alat bersuci tersebut” (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, (Bandung: Syirkah Ma’arif, t. th.), Jilid I, h. 201).
b. Tidak perlu mengulang atau meng-qodho’. Terdapat ulama yang membolehkan shalat pada waktunya dengan semampunya dan tidak perlu mengulang atau meng-qodho’. Sebagaimana keterangan dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab berikut:
وَأَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ: فَإِذَا لَمْ يَجِدْ الْمُكَلَّفُمَاءًوَلَ تُرَابًا بِأَنْ حُبِسَ فِيْمَوْضِعٍ نَجْسٍ أَوْكَانَ فِيْ أَرْضٍ ذَاتِ وَحْلٍ وَلَمْ يَجِدْ مَاءً يُجَفّفُهُ بِهِ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ فَفِيْهِ أَرْبَعَةُ أَقْوَالٍ حَكَاهَا أَصْحَابُنَا الْخُرَاسَانِيّوْنَ…. (وَالرَّابِعُ) تَجِبُ الصَّلَةُ فِي الْحَالِ عَلَى حَسَبِ حَالِهِوَلَ تَجِبُ اْلِعَادَةُ, حَكَاهُ عَنِ الْقَدِيْمِأَيْضًا,وَسَتَأْتِيْأَدِلَّةُهَذِهِاْلَقْوَالِفِيْفَرْعِمَذَاهِبِالْعُلَمَاءِإِنْشَاءَاللهُتَعَالَى
“Sedangkan hukum permasalahannya adalah jika seorang mukallaf tidak mendapatkan air dan debu, misalnya ia dipenjara di tempat yang najis, atau berada di tanah yang berlumpur dan ia tidak mendapatkan air untuk mengeringkannya, dan kasus lain yang serupa, maka dalam hal ini ada empat pendapat seperti yang diriwayatkan Ashhab kita yang berbangsa Khurasan……Keempat, wajib shalat seketika sesuai keadaannya dan tidak wajib mengulanginya. Pendapat itu juga dari qaul qadim. Dan dalil-dalil beberapa pendapat ini akan dijelaskan pada Sub Madzahib al-Ulama, Insya’allah ta’aala. (Yahya bin Syaraf al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Juz II, h. 303-304).
Kendati demikian, menurut Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi, pendapat yang keempat yang menyatakan wajibnya shalat ketika masuk waktu sesuai dengan keadaan dan tidak wajib mengulangingya (meng-qodlo) dianggap lebih kuat dalillnya. Hal ini sebagaimana dikemukan beliau sendiri di dalam Syarhu Shahihi Muslim-nya, sebagai berikut:
والرابع يجب أن يصلي ول يجب القضاء وهذا القول اختيار المزني وهو أقوى القوال دليل
“Pendapat yang keempat ini merupakan pendapat yang dipilih Imam al-Muzani dan merupakan pendapat yang paling kuat dalilnya.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Syahru Shahihi Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Daru Ihya` at-Turats al-‘Arabi, 1392 H, juz, III, h. 103) Atas dasar pertimbangan ini maka tenaga medis yang memakai APD dapat juga memilih pendapat yang menyatakan wajibnya shalat seketika itu sesuai keadaaanya, tanpa harus mengulang atau meng-qodho’.
Demikian hasil Bahtsul Masail tentang Fiqih Shalat Dokter dan Tenaga Medis Pasien Covid-19 ini disampaikan yang ditandatangani Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH. M. Nadjib Hassan Sarmidi Husna, MA pada tanggal 24 Maret 2020
untuk menjadi pegangan para dokter dan tenaga medis pasien Covid-19 dan warga NU khususnya serta umat Islam Indonesia umumnya. Seraya berdo’a, meminta pertolongan Allah SWT, semoga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) segera bebas dari pandemi virus Corona yang mematikan tersebut.(SM)