Oleh: Lenny Luthfiyah (Mahasiswa Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada)
SABUROmedia, Jakarta – Kemunculan Novel coronavirus (2019-nCoV) dan kecepatan penyebarannya menyedot perhatian dunia. Masing-masing negara meningkatkan level kewaspadaannya dalam menangani penyebaran virus ini, termasuk Indonesia. Setelah sempat diberitakan diragukan kemampuannya oleh dunia dalam pendeteksian virus ini, pada 2 Maret lalu Indonesia mengkonfirmasi dua warganya yang positif Corona.
Diumumkannya temuan tersebut meningkatkan kepanikan di antara masyarakat yang memang sejak semula sudah mengkhawatirkan penyebaran virus ini. Sebagian masyarakat diberitakan membeli bahan makanan pokok dalam jumlah besar, sebagai persediaan jika nantinya persebaran virus ini mengharuskan mereka untuk tidak beraktivitas di luar rumah. Masyarakat juga berbondong-bondong mencari masker yang kian langka, jika pun ada harganya melambung tinggi dari harga normal.
Kepanikan Berlebihan
Gaya hidup masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari internet menyumbangkan kepanikan berlebihan. Kita terbiasa untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai topik apa yang sedang dibicarakan hari ini atau bahkan pada detik ini juga untuk diketahui. Kebutuhan tersebut membawa kita berselancar di dunia maya dalam kapan pun dan di mana pun.
Internet dan sosial media menjadi salah satu penyedia informasi yang paling dekat dan paling sering kita akses. Terkait virus corona ini misalnya, kita bisa mendapatkan beragam gambar dan video. Padahal, anonimitas dalam ruang virtual memungkinkan semua orang tanpa terkecuali dapat menyebarkan berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Tanpa kita sadari melimpah ruahnya informasi terkait Corona yang kita terima dapat berpengaruh terhadap psikologis kita. Dalam dunia kesehatan dikenal cyberchondria, yakni rasa takut, kecemasan, atau sindrom yang terjadi usai mencari tahu tentang gejala suatu penyakit di internet.
Seseorang dapat dikatakan mengalami cyberchondria tentunya harus melalui serangkaian pengujian. Tetapi, dengan kasus Corona ini kita bisa belajar bahwa mengakses informasi kesehatan dari internet justru dapat membawa kita pada potensi kecenderungan mengidap penyakit lainnya.
Sebagaimana dalam wawancara yang dilakukan oleh salah satu stasiun televisi swasta pada dokter spesialis paru-paru yang mengatakan bahwa banyak masyarakat yang datang untuk meminta melakukan pengetesan, meski mereka tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan pasien 01 dan 02. Bahkan, ada yang hanya lewat di depan rumah sakit di mana sebelumnya pasien dirawat juga ikut memeriksakan diri, meski mereka dalam keadaan sehat.
Selain mengarah kepada kewaspadaan, banyaknya masyarakat yang datang untuk meminta melakukan pengecekan terhadap dirinya patut dicurigai sebagai bentuk kecemasan berlebihan akibat menyerap banyaknya informasi yang beredar tanpa menyaringnya terlebih dahulu.
Sementara, data dari WHO dan Komisi Kesehatan China menyebutkan bahwa total kasus COVID-19 per 3 Maret 2020 yang terjadi di dunia mayoritas adalah kasus ringan. Persentase kesembuhan dari 51.411 kasus yang selesai mencapai 94%. Data tersebut seharusnya dapat kita jadikan salah satu dasar untuk tidak panik berlebihan.
Di Tangan Khalayak
Pada kajian komunikasi massa dikenal teori Uses and Gratification. Teori ini banyak digunakan untuk menganalisis khalayak dan media massa. Salah satu asumsi dari Uses and Gratification adalah menghubungkan kepuasan dan pilihan pada kebutuhan terhadap media yang berada sepenuhnya di tangan khalayak. Masyarakat adalah agen yang aktif, dapat memilih media mana dan informasi seperti apa yang diinginkan dan dapat memuaskan mereka.
Otonomi tersebut dapat diterapkan dalam kondisi saat ini ketika kita membutuhkan informasi terkait Corona. Kita memiliki otoritas penuh untuk menyaring beragam informasi yang tersedia. Memilih media mana yang kita percaya dapat mempertanggungjawabkan berita yang disampaikan, serta efek apa yang ingin diperoleh dari mendapatkan informasi tersebut.
Kita bisa memilih hanya mengakses informasi dari para ahli, bukan dari akun-akun personal yang anonim. Corona bukan hanya soal kesehatan fisik semata, tetapi juga persoalan menjaga kesehatan mental untuk tetap “waras” di tengah masifnya infomasi. (detik)