Oleh: Gideon Budiyanto

SABUROmedia, Jakarta – Memahami emosi manusia memang tidak mudah; terlalu banyak kompleksitas perasaan yang dibangun di dalamnya, sehingga diperlukan berbagai macam metode dan ilmu agar bisa memahami kedalaman emosi manusia. Begitu pula ketika memahami interaksi emosi manusia dengan lingkungan dan sesamanya, tidak seperti hitungan matematika yang hasilnya selalu sama, emosi manusia berfluktuasi tergantung kadar pemahamannya soal keadaan di sekelilingnya.

Masih segar di ingatan kita saat pertama kali virus corona atau Covid-19 mewabah dari daerah Wuhan, China. Awalnya dianggap sebagai virus biasa sampai akhirnya terdeteksi ternyata merupakan sejenis virus baru yang belum ada penangkalnya. Namun semua sudah terlambat; virus tersebut sudah telanjur menjangkiti banyak orang, merenggut nyawa, dan menjadi ancaman dunia.

Indonesia yang pada awalnya mengklaim nol persen kasus corona sampai akhirnya Presiden Jokowi, Senin (2/3) mengumumkan dua WNI positif terjangkit virus tersebut, sontak masyarakat menjadi geger dan timbullah rush buying di mana-mana. Masker dan hand sanitizer adalah dua benda yang paling banyak diborong, juga bahan-bahan pokok. Antrean selama berjam-jam terjadi di berbagai supermarket. Orang berbondong-bondong memborong semua yang menjadi kebutuhannya, tidak perduli yang lain tidak kebagian.

Kasus rush buying di atas mengingatkan kita akan kasus-kasus yang melibatkan rasa perikemanusiaan kita. Dari komentar netizen terhadap salah satu bintang pop Korea yang bunuh diri, penamparan seorang penumpang kereta terhadap penumpang lainnya hanya karena persoalan tempat duduk, hingga kendaraan bermotor yang menumpuk di jalur busway sehingga bus Transjakarta yang mau lewat menjadi terhalang, dan lain lain.

Semua itu membuat kita berpikir, sudah sedemikian parahkah perilaku dan sikap masyarakat kita?

Zaman yang Berubah

Zaman yang berubah cepat serta arus teknologi dan era internet yang semakin canggih membuat banyak kemudahan buat manusia. Hal-hal yang dahulu sudah terbiasa seperti berbelanja di pusat perbelanjaan, berkumpul, dan bersenda gurau di ruang publik, bermain-main di tanah lapang dengan tema- teman sebaya, dan aktivitas sosial lainnya pelan-pelan diganti dengan sistem online. Belanja online, berkumpul secara online, dan main game online.

Sisi lainnya, jalanan di kota Jakarta, khususnya, semakin lama terasa semakin macet. Belum lagi ditambah pengemudi yang ugal-ugalan serta kendaraan umum yang berhenti seenaknya membuat orang semakin lama semakin malas keluar rumah. Sehingga salah satu solusi yang membuat manusia bisa berinteraksi dengan manusia lain ialah lewat sistem online itu tadi.

Orang masa kini tidak perlu jauh-jauh berkumpul dengan kelompoknya, cukup melalui grup chatting online. Tidak perlu lagi mengantre makanan favorit, cukup pesan secara online dan makanan segera tersedia di depan mata. Kemudahan memang terasa di setiap aspek kehidupan manusia. Mungkin di masa depan, akan ada banyak lagi teknologi yang ditemukan yang akan semakin memudahkan hidup manusia.

Teknologi itu memang ada keuntungan dan kerugiannya. Salah satu keuntungannya adalah hidup manusia akan semakin nyaman dan terbantu, namun ada juga kerugian yang ditimbulkan, salah satunya adalah ego manusia akan semakin tinggi dan harus segera dipuaskan, karena teknologi mengajarkan manusia tidak perlu berurusan dengan orang lain untuk dapat mencapai keinginannya, cukup tekan sana-sini dan semua beres.

Kalau tidak puas dengan salah satu pelayanan online tersebut, cukup tekan tombol, complain, dan nanti orang lain yang akan menanggung akibatnya.

Memang tidak semua manusia seperti itu; masih ada banyak manusia yang masih memiliki tingkat kemanusiaan yang beradab. Namun, seperti kita lihat contoh-contoh di atas, prosentasenya kalah dibanding manusia-manusia yang “kurang beradab” sehingga “tidak terlihat”, menimbulkan asumsi liar di masyarakat bahwa perilaku yang “tidak beradab'”itulah yang sebenarnya diperlukan untuk bertahan di era digitalisme ini.

Asumsi seperti inilah yang seharusnya dipatahkan oleh para kaum cendekiawan di negeri ini. Bukan malah ribut dengan isu SARA yang tidak ada habisnya atau melontarkan pendapat-pendapat yang tidak logis untuk menjawab isu tertentu. Sudah seharusnya kita menggunakan teknologi yang ada saat ini untuk membuat masyarakat semakin pintar dan beradab.

Mulai dari mimbar agama sampai layar kaca, pola pikir yang salah dalam masyarakat dapat diubah dengan memberikan ilmu dan pengetahuan yang benar. Ingat kata pepatah bahwa masyarakat yang kuat melambangkan negara yang kuat. Kuat bukan dalam hal fisik dan kemampuan saja, tapi juga kuat dalam ilmu dan pengetahuan sehingga tidak gampang tergoda untuk berbuat hal hal yang merugikan.

Cermin yang Terlihat

Ketika rush buying melanda sebagian masyarakat Indonesia karena virus corona, cerminan yang terlihat adalah kita gagal dalam melihat titik kritis orang lain. Ego dan kenyamanan kita tidak boleh diganggu dengan orang lain. Demikian juga halnya dengan peristiwa di kereta api atau di jalur busway. Manusia bukan lagi menganut siapa yang kuat dia yang menang, tapi apa yang buat saya nyaman tidak boleh dirusak, tidak perduli kenyamanan orang lain yang rusak karena saya. Sangat egosentris.

Sejak awal manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Jika manusia tidak bisa melihat titik kritis orang lain, maka menodai statusnya sendiri sebagai manusia. Titik kritis itu sendiri adalah kemampuan manusia sebagai makhluk sosial melihat kebutuhan manusia lainnya. Kalau itu sudah hilang, apakah manusia masih dapat disebut mempunyai kemanusiaan?

Mungkin Tuhan memang mengizinkan virus corona mampir ke bumi kita ini supaya kita bisa kembali belajar menjadi manusia. Zaman akan semakin canggih nantinya. Teknologi akan semakin berkembang. Tapi, kalau manusia sudah kehilangan kemanusiaannya, akan jadi seperti apakah dunia ini akhirnya? (detik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *