Oleh: Mario Kakisina (Pemerhati Lingkungan)
SABUROmedia, Ambon- Indonesia sebagai suatu negara memang cukup luas dan itu tidak dapat dibayangkan secara logika bahwa seluruh untaian pulau besar dan kecil semuanya dapat dipersatukan sebagai suatu Negara Kepulauan yang semenjak dahulu disebut Nusantara. Semangat Nusantara dengan profil manusia maritim adalah modal sosial yang bisa merekatkan seluruh pulau itu bagaikan magnet dengan sentrum pemerintahan Jakarta di Pulau Jawa. Hal ini berarti memandang Indonesia hanya baru dari satu aspek saja yaitu geografis.
Pada aspek eco-etnografi, maka akan semakin kompleks lagi yaitu mempersatukan seluruh adat, budaya dan bahasa dalam suatu untaian perekat yakni budaya Indonesia. Walaupun dalam prakteknya yang disebut budaya Indonesia mendapat pengaruh yang besar pada sentrum pemerintahan di Pulau Jawa. Jadi kalau menyatakan diri sebagai orang Indonesia nampaknya masih pada tataran konsep yang abstrak. Alangkah lebih bangga menyatakan diri sebagai orang Sumatra, orang Jawa, orang Kalimantan, orang Sulawesi, orang Maluku atau orang Papua. Dalam kesatuan orang yang disebutkan itupun masih akan ditemui kelompok kekerabatan yang khas dan sangat beragam, misalnya diskursus orang Sumatra di dalamnya ada orang Aceh, orang Batak atau orang Padang. Diskursus orang Jawa di dalamnya ada orang Sunda, orang Jawa tulen atau orang Betawi. Begitupun dengan diskursus orang Maluku di dalamnya ada orang Ambon, orang Lease, orang Buru, orang Banda, orang Seram atau orang Kei serta orang Tenggara Jauh.
Bagaimana dengan pengungkapan identitas diri sebagai Bangsa Indonesia? Jika menyebut identitas demikian mungkin saja lebih konkrit maknanya. Berbeda misalnya dengan masyarakat Amerika atau Eropa yang menyatakan diri sebagai orang Amerika atau orang Eropa (I am American atau Je suis européen). Perhatikan orang Inggris yang kemudian bermigrasi bersatu dengan bangsa lain menjadi orang Amerika lalu menyatakan diri pribadi atau saya dengan “I” (=ai). Kata “I” ini mulai ditulis pada bagian depan, tengah dan akhir kalimat harus ditulis dengan huruf kapital. Negara Inggris adalah sebuah negara kepulauan di Eropa. Kata saya dalam bahasa Eropa lainnya tidak menganut aturan ini. Ini berarti bahwa orang pulau cenderung lebih bayak menonjolkan diri pribadi.
Dari uraian di atas jelas bahwa mengungkapkan identitas diri ada kaitannya dengan kondisi geografis. Masyarakat di wilayah kontinental adalah lebih konkrit menyatakan identitas diri dengan terminologi orang, sedangkan Indonesia sebagai wilayah kepulauan yang terdiri dari pulau besar dan lebih dominan pulau-pulau kecil, akan menyatakan identitas berdasarkan pulau sebagai habitat hidupnya. Istilah orang juga harus dibedakan dengan istilah masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu mengatakan masyarakat Indonesia sebagai Bangsa Indonesia akan lebih kuat dan lebih bermakna dari pada menyebut diri sebagai orang Indonesia. Keunikan Indonesia yang demikian akan lebih menambah bobot pandangan bangsa lain terhadap Nusantara khususnya pada aspek tata pengelolaan sosial pemerintahan yang diterapkan untuk dapat menyatukan bangsa Indonesia dari ufuk Barat hingga ufuk Timur atau dari Sabang sampai Merauke. Orang asing (bukan Orang Indonesia) akan menjadi heran dan makin tidak paham bahwa Indonesia yang besar ini bisa dipersatukan hingga pada saat ini.
Pada sudut pandang socio-economica sangatlah tidak efisien mengelola negara yang sangat luas ini. Akibatnya perkembangan kemajuan masyarakat akan sangat lambat apalagi diikuti dengan lambannya perkembangan penguasaan teknologi. Jelaslah hal itu akan memerlukan anggaran negara yang relatif tidak kecil. Jika pendapat ini dibenarkan tanpa diungkapkan dengan suatu data atau pengalaman berdasarkan riset, maka mungkin kesimpulan prematur yang diambil adalah “Indonesia Bubar”. Secara historis telah diungkapkan bahwa pengalaman bernegara kita sudah membuktikan dimana ketika itu sistem politik pemerintahan pernah berganti-ganti, hingga akhirnya tiba pada keputusan “harga mati” yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi berkumpulnya manusia tidak dapat diintepretasi dalam skala untung atau rugi. Ada sesuatu alasan yang sulit diungkapkan dan para etnolog sering katakan itu adalah bagian dari rasionalitas yang tersembunyi (hidden rationality). Masyarakat Indonesia menganut filosofi “mangan ora mangan asal ngumpul”,”yang penting mudik” dan “bakumpul orang basudara” adalah nilai identitas diri yang sangat sulit diintepretasi secara rasional. Itulah hakekat hubungan kemanusiaan yang nilainya sangat tinggi.
Apabila tinjauannya pada aspek eco-policy, maka Indonesia adalah Negara Kepulauan terbesar telah sukses melakukan agenda reformasi politik. Bayangkan saja dari negara dengan pemimpin yang “diktatorial” selama dua rezim kekuasaan (Orde Lama dan Orde Baru) ke negara yang sukses melakukan reformasi infra dan supra struktur politik menuju sistem negara demokrasi. Modal sosial lainnya yang dimiliki Indonesia adalah masyarakat yang plural, baik etnis maupun agama. Kemudian konflik sosial bisa tuntas diselesaikan dengan sangat santun dan beradab, misalnya persoalan Aceh dan Papua, serta tragedi kemanusiaan di Maluku dan Poso. Bandingkan saja dengan persoalan geopolitik lainnya yang terjadi di beberapa belahan dunia yang tidak tuntas diselesaikan hingga masih menyisakan dendam kesumat. Katakanlah persoalan di Timur Tengah dan persoalan religius di Irlandia Utara. Jadi dalam tatanan pergaulan diplomasi politik global dengan menyelesaikan reformasi politik dan konflik sosial, maka Indonesia sangat disegani karena dianggap telah melakukan loncatan politik yang berhasil. Dalam beberapa analisis dikemukakan bahwa demokrasi hanya bisa terwujud apabila pilar ekonomi negara telah kuat. Pendapat itu bisa saja benar atau salah, tetapi yang pasti bahwa penguatan pilar ekonomi negara ini hanya bisa terwujud dengan terobosan rekayasa teknologi yang ramah lingkungan untuk menjaga kelestarian pulau-pulau kecil yang sangat dominan di Nusantara.
Pertanyaan yang bisa diajukan adalah katalisator apakah yang menyatukan seluruh pulau, baik besar maupun kecil bahkan yang telah eksis memiliki nama dan yang belum ada nama, menjadi suatu kesatuan yang utuh? Pemahaman yang komprehensif tentang pulau-pulau kecil terdepan, terluar dan tertinggal (3T) yang ada di Indonesia dengan segala komponen di dalamnya merupakan suatu cara untuk bisa memahami makna keutuhan wilayah di samping pemahaman tentang etno-antropologi dari setiap wilayah.
IDENTITAS SEBAGAI ORANG MALUKU
Isu tentang konsep keutuhan wilayah merupakan dimensi pertahanan keamanan dan sesungguhnya makna identitas sering dihubungkan dengan isu dimaksud karena berkohesi dengan apresiasi diri demi menjunjung tinggi jati diri dan ciri-ciri seseorang atau masyarakat. Pertahanan keamanan terusik itu sama halnya dengan terusiknya identitas. Mengupas tema identitas, kami lebih condong menempelkannya dengan terminologi orang (man) dan masyarakat (society). Mengapa ? Orang mewakili individu dan masyarakat mewakili kelompok orang. Kami memang sengaja menghindar menggunakan terminologi suku, etnis dan pribumi atau non pribumi. Terminologi itu lebih banyak digunakan pada era kolonial dimana masyarakat belum berkembang dan masih hidup dalam sekat-sekat superior dan inferior.
Orang Maluku yang tinggal di Pulau Enu, Pulau Kisar dan Pulau Leti Moa Lakor (Lemola), yang kesemuanya adalah pulau kecil 3T di Maluku, mungkin saja sangat jauh dari konsep perubahan bernegara yang sementara terjadi di sentrum pemerintahan di Pulau Jawa, tetapi mereka tetap tahu dan sangat setia sebagai Bangsa Indonesia yang bertanah air satu dan berbahasa satu. Orang Bupolo adalah masyarakat asli Pulau Buru yang tinggal terisolir di daerah pegunungan tidak tahu bahwa siapa itu Gubernur Maluku atau Presiden RI, tetapi mereka tahu bahwa ini bumi Indonesia, dimana cerita itu diperolehnya dari orang Buton atau Bugis saat mereka melakukan transaksi dagang dengan pedagang antar pulau yang secara reguler datang di Pulau Buru. Kisah masyarakat yang hidup terisolir di Indonesia yang menempati habitat gunung atau pulau kecil masih banyak yang belum terungkap.
Cerita lama dan elok tentang kepulauan Maluku (Mollucas Archipelago) adalah kisah tentang rempah-rempah (spices): bunga cengkeh dan buah pala, serta awal sejarah kolonisasi oleh orang Eropa di Nusantara. Pesona rempah sangat luar biasa ditulis oleh Jack Turner, 2011 (Sejarah Rempah: dari Erotisme sampai Imperialisme). Kemudian tulisan lainnya yang menarik berjudul Pulau Run : Magnet Rempah-rempah Nusantara yang ditukar dengan Manhattan (Penulis : Giles Milton, 2015). Ini adalah bukti sejarah bahwa orang Maluku sudah menapaki dunia modialisasi ekonomi dan globalisasi peradaban.
Cerita terkini hanya menyisakan kesedihan seperti yang tertuang dalam buku karya de Jonge dan van Dijk (1995) berjudul Forgotten Islands of Indonesia. Cerita dan pengalaman globalisasi dan mondialisasi telah dialami oleh orang pulau di Maluku sejak zaman dahulu. Daya tarik-menarik itu hanya bersimpul pada satu persoalan klasik saja yaitu eksploitasi sumberdaya alam yang bisa mendatangkan keuntungan secara ekonomi.
Pada zaman itu, eksotik rempah-rempah bagaikan sumberdaya minyak bumi dan emas. Ditemukannya ciri khusus dalam kandungan sumberdaya alam di Kepulauan Maluku disebabkan iklim Maluku dikenal sangat spesifik dan menurut riset yang dilakukan oleh Koesmaryono (2007) bahwa iklim demikian dikategorikan iklim lokal dan sama sekali tidak terpengaruh oleh iklim muson dan ekuatorial. Karakteristik iklim lokal sangat mempengaruhi keberadaan biodiversitas flora dan fauna yang pada gilirannya sumberdaya alam tersebut hanya bisa dijumpai di Maluku. Keunikan ini bisa dilihat dari kondisi geografis Maluku yang banyak didominasi pulau-pulau kecil dan penduduk tersebar menempati pulau tersebut.
Membangun Maluku dengan ciri-ciri pulau kecil seyogyanya menggunakan jendela pandang yang spesifik. Jika selama ini kita melihat Maluku dari pulau-pulau dengan bentangan laut di sekitarnya maka ke depan lebih arif jika sudut pandang itu diubah yaitu melihat lautan yang bertatakan pulau-pulau. Dengan cara pandang demikian, laut dan darat akan menjadi satu kesatuan yang disebut konsep laut-pulau dimana dalam merumuskan konsep pembangunan di Maluku seyogyanya mengandung makna filosofi bahwa segala aktivitas di darat sekaligus untuk memuliakan lautan.
Orang Maluku yang mendiami pulau kecil 3T inilah yang sebenarnya hidup dalam Beranda NKRI. Beranda adalah ruang beratap yang terbuka dan tidak berdinding di bagian samping atau depan rumah. Pemahaman kita tentang pembagian ruang dalam suatu “rumah” dimana ada manusia sebagai penghuninya, mau menyatakan bahwa pembagian ruang telah menunjukkan strata atau pelapisan. Hal ini dapat dilihat juga di dalam masyarakat dan sering kita sebut stratifikasi sosial. Beranda merepresentasikan fungsi sosial yang penting. Jadi orang yang menempati beranda rumah sebenarnya adalah wajah dari seluruh isi rumah tersebut. Pertanyaannya adalah mengapa kita menganggap mereka yang hidup di pulau kecil terluar sebagai daerah terpencil dan terisolir serta seluruh masyarakatnya tergolong miskin dan tak berdaya?
Secara antropologi-sosiologi, orang pulau adalah bukan orang yang terisolir. Mereka senantiasa terbuka (welcome) menerima para tamu. Jika ada kapal atau perahu yang singgah di suatu pulau, maka secara spontan mereka akan menyambutnya dengan gembira bahkan semua penduduk akan berlari menuju tepi pantai untuk melihat siapakah gerangan tamu yang datang itu? Kontak sosial mereka dengan orang luar terjadi tanpa batas.
Orang Maluku senang mengungkapkan pokok pikirannya dalam lirik lagu dan mari kita telaah ide tentang Maluku dari lagu yang berjudul, ( Maluku Tanah Pusaka).