Oleh : Syaefudin Simon

 

SABUROmedia – Bedu Amang adalah panggilan akrab Abdurrahman untuk Suku Bugis di tahun 1965-an mengukir kisah heroik. Sebagai aktivis HMI, yang juga pernah menjadi Ketua HMI Cabang Yogya sebelum dr. Sigiat, Beddu menjadi motor penggerak anti-PKI di Yogya saat itu.

Ingat! Melawan PKI tahun 1965 – 1967 di Yogya bukan perkara mudah. PKI saat itu menguasai hampir seluruh wilayah DIY.

Semua DPRD Yogya, dikuasai PKI. Di Yogya, hanya ada 8 kantong Islam, yaitu Kauman, Notoprajan, Suronatan, Karangkajen Kadipaten Kulon, Pakualaman, dan Nitikan yang aman dari “kerumunan” PKI. Itu pun hampir tiap malam, 8 kantong Islam itu diteror kader Partai Palu Arit. Kader-kader PKI yang menguasai Yogya sering melakukan razia dan meneror orang yang shalat.

Orang tak berani keluar rumah. Karena di jalan utama, arak-arakan kader PKI dengan yel-yel ” Bubarkan HMI, Bunuh Penghisap Darah Rakyat, dan Habisi Tuan Tanah ” terus menggema. Yang dimaksud penghisap darah rakyat versi PKI adalah Pengusaha muslim, dan Tuan tanah adalah Kyai dan Haji yang mengelola Yayasan Amal yang mempunyai tanah luas untuk Sekolah Islam dan Pesantren.

Mahasiswa UGM, terutama anggota HMI, yang tinggal di Bulaksumur, Terban dan Pingit, jika malam mengungsi ke salah satu kampung Islam tadi. Pak Dochak Latief bercerita, ia kos di perumahan dosen UGM, Bulaksumur. Tapi kalau malam mengungsi ke Kauman. Orang CGMI, Pemuda Rakyat, Gerwani tiap malam, kata Dochak melakukan razia di pinggir jalan. Kalau tahu mahasiswa itu aktivis HMI, bisa dibawa ke Posko Pemuda Rakyat. Jika sudah demikian, keselamatannya terancam.

Begitu berkuasanya PKI di Yogya sehingga orang militer tertinggi, Kol. Katamso dan Letak Sugiono, masing-masing Komandan Resort Militer Pamungkas dan Wakilnya diculik dan dibunuh. Saat itu, awal awal Oktober, Yogya sudah dikuasai militer Dewan Revolusi bentukan Kol. Untung. RRI Yogya sudah mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi dengan Ketua Mayor Mulyono, Kepala Staf Administrasi di Korem Pamungkas. Mulyono ini pula yang memerintahkan penculikan terhadap Katamso dan Sugiono, yang notabene atasannya sebelum Kol. Untung membentuk Dewan Revolusi.

Dalam kondisi itulah tokoh-tokoh HMI Yogya seperti Beddu Amang, Sugiyat, Tawang Alun, dan Amidhan mencari strategi untuk menyelamatkan ummat. HMI Cabang Yogyakarta, misalnya, mengutus Amidhan Shaberah menemui Sulastomo, Ketua PB HMI di Jakarta untuk melaporkan kondisi keamanan Yogyakarta yang gawat dan dikuasai Dewan Revolusi.

Sulastomo dikenal dekat dengan Jenderal Soeharto, Pangkostrad, yang mendapat mandat khusus dari Bung Karno untuk mengamankan Indonesia paska penculikan para Jenderal. Dengan melaporkan peristiwa penculikan Katamso dan Sugiyono, harapannya Jenderal Soeharto segera mengamankan Yogyakarta. Apalagi Sugiyono yang diculik PKI itu, pernah jadi asistennya Soeharto waktu peristiwa Serangan 1 Maret 1949 di Yogyakarta.

Perkiraan aktivis HMI Yogyakarta benar. Mendapat laporan suasana Yogya yang mencekam, Soeharto nengirimkan pasukan RPKAD ke Yogyakarta. Begitu pasukan baret merah datang ke Yogya dengan peralatan militer lengkap, Beddu Amang ikut menyambutnya. HMI Yogyakarta pun merapat ke pasukan pimpinan Sarwo Edhie Wibowo itu.

Beddu Amang, saat itu Sekjen Front Pancasila, organisasi bentukan Dahlan Ranuwihardjo, sesepuh HMI yang dekat Bung Karno, menginisiasi Rapat Akbar di Alun-alun Utara Yogyakarta, depan Masjid Kauman, 21 Oktober 1965. Bersama Saibani sebagai Ketua Front Pancasila, Beddu Amang membacakan Deklarasi pembubaran PKI di Yogyakarta saat itu.

Gempar! Karena Jakarta belum membubarkan PKI, tapi Front Pancasila Yogyakarta sudah membubarkannya. Akibat deklarasi itu, kader-kader PKI marah kepada ummat Islam. Delapan kantong Islam seperti disebutkan di atas, tiap malam dijaga pasukan RPKAD. Kedatangan pasukan baret merah tersebut, terutama kehadirannya di kantong-kantong Islam Yogya, menjadikan perlawanan ummat terhadap CGMI, Pemuda Rakyat, dan Gerwani semakin berani.

Baru setelah Jenderal Soeharto mendapat Supersemar dari Bung Karno, sehari kemudian, 12 Maret PKI resmi dibubarkan. Yogyakarta pun berangsur pulih, sampai akhirnya benar-benar aman.

Itulah salah satu momen penting perjuangan Beddu Amang di Yogyakarta untuk menyelamatkan bangsa Indonesia. Abdurrahman atau Beddu Amang, pejuang anti PKI, Menteri Negara Urusan Pangan/Kepala Bulog 1995-1998, Alumnus Fakultas Pertanian UGM itu wafat Sabtu sore dalam usia 85 tahun Sabtu Pukul 17.00 WIB di RS Pondok Indah Jakarta.

Semoga amal ibadah beliau diterima Allah SWT dan di sana mendapat tempat terbaik di Sisi-NYA. Aamiin YRA. Al- Fatihah..

 

*** Penulis adalah Aktivis HMI Yogyakarta Komisariat FMIPA UGM