Oleh:
Jamaludin Mahulette

Banda dan Momentum Baru Peradaban Rempah

SABUROmedia — Kepulauan Banda telah menjadi halaman tak terpisahkan dari narasi sejarah global. Pada masa perdagangan rempah abad ke-17, kepulauan kecil ini pernah menentukan arah dunia. Namun di tengah laju pembangunan nasional, Banda seakan tertinggal dan belum sepenuhnya mampu menjadikan sejarahnya sebagai motor peradaban baru.

Ketika Banda Heritage Festival 2025 dirancang sebagai agenda budaya tahunan, banyak pihak melihatnya sebagai perayaan tradisi. Padahal dari kacamata perencanaan wilayah, festival semacam ini adalah instrumen rekayasa ruang, identitas, dan ekonomi.

Festival tersebut hadir pada momentum strategis. Kabupaten Maluku Tengah kini memasuki periode RPJPD 2025–2045 yang menempatkan warisan budaya, ekonomi kreatif, dan revitalisasi kawasan heritage sebagai fondasi pembangunan. Dengan demikian, festival bukan sekadar acara, tetapi titik tolak untuk mengarahkan kembali Banda menjadi pusat budaya, ruang belajar sejarah, dan laboratorium hidup pembangunan berbasis heritage.

Festival Sebagai Alat Penataan Ruang
Penyelenggaraan Banda Heritage Festival memaksa terjadinya reorganisasi ruang. Ruang publik yang selama ini tidak terkelola, kawasan bersejarah yang belum tertata, dan jalur pedestrian yang terputus-putus kini menjadi bagian integral dari rancangan festival. Proses ini bukan hanya memperbaiki estetika, tetapi memperkuat fungsi ruang yang sebelumnya tidak optimal.

Penataan tersebut memberi Banda struktur ruang baru. Jalur yang menghubungkan pelabuhan, Benteng Belgica, Benteng Nassau, museum, dan rumah kolonial akan membentuk koridor wisata sejarah yang dapat dinikmati sepanjang tahun. Kawasan pasar rempah, pusat informasi dan plaza budaya menjadi simpul aktivitas baru. Ini bukan sekadar penataan estetika, tetapi transformasi fungsi ruang yang menghidupkan kembali Banda sebagai living heritage city.
Sinkronisasi ini selaras dengan RTRW Kabupaten Maluku Tengah yang menempatkan Banda sebagai Kawasan Strategis Pariwisata. Penyelenggaraan festival membantu menguji implementasi RTRW secara langsung, terutama dalam hal penegasan zonasi kawasan heritage dan penguatan konektivitas ruang antarpulau dalam wilayah kepulauan.

Ruang Publik Sebagai Panggung Identitas
Ruang publik Banda selama ini memiliki nilai sejarah tinggi, tetapi belum menjadi ruang ekspresi budaya yang optimal. Melalui festival, ruang publik kembali menjadi panggung identitas kolektif. Pertunjukan musik tradisional, pameran sejarah kolonial, demonstrasi pengolahan rempah, hingga parade budaya memanfaatkan alun-alun, dermaga, dan halaman benteng sebagai ruang ekspresi yang menghidupkan kembali memori publik.

Lebih dari itu, ruang publik yang aktif memperkuat koneksi sosial masyarakat Banda. Ruang yang dulu pasif dan terfragmentasi kini menjadi arena interaksi lintas generasi. Festival melahirkan sense of belonging yang kuat: warga merasa menjadi bagian dari proses kreatif dan perencanaan ruang. Ini memperkuat modal sosial yang diperlukan untuk pembangunan jangka panjang.

Konsep creative placemaking juga muncul secara alami. Masyarakat mulai memaknai ruang bukan hanya sebagai lokasi kegiatan, tetapi sebagai identitas budaya yang harus mereka jaga. Inilah elemen penting pembangunan berbasis komunitas.

Identitas Budaya sebagai Motor Pembangunan
Warisan budaya Banda mencakup tradisi maritim, pengetahuan lokal tentang rempah, seni musik dan tari, hingga kisah kolonial yang masih hidup dalam tuturan masyarakat. Festival ini bukan sekadar ruang perayaan, tetapi wahana dokumentasi dan revitalisasi.

Generasi muda Banda yang selama ini mengenal sejarah hanya dari cerita kini dapat mengalami langsung narasi tersebut melalui panggung festival. Mereka terlibat dalam pengelolaan acara, menjadi pemandu sejarah, pelaku seni, atau penggerak UMKM. Keterlibatan ini membentuk keterikatan emosional sekaligus memperkuat regenerasi pelestari budaya.

Bagi wisatawan, identitas ini adalah daya tarik utama. Dunia kini mengarahkan pariwisata pada tema edukasi, sejarah, dan keaslian. Banda tidak perlu menciptakan ikon buatan; ia hanya perlu memperkuat warisannya. Festival menjadi medium yang menjembatani Banda dengan pasar budaya global.

Ekonomi Kreatif sebagai Masa Depan Banda
Dampak paling terasa dari festival adalah geliat ekonomi lokal. Selama festival, UMKM akan mengalami peningkatan permintaan yang signifikan. Namun dampaknya tidak berhenti di situ. Festival menjadi motor bagi berkembangnya ekonomi kreatif berbasis rempah dan heritage.

Rempah pala dan fuli yang menjadi identitas Banda berpeluang diolah menjadi produk bernilai tinggi: minyak esensial aroma, produk wellness organik, cokelat rempah, hingga kerajinan berbahan pala. Penataan festival membuka pasar baru, memperluas jaringan UMKM, dan menciptakan permintaan berkelanjutan.

Peningkatan kapasitas masyarakat dalam bidang fotografi, desain produk, pelayanan wisata, dan manajemen event akan melahirkan ekosistem ekonomi kreatif yang berjalan sepanjang tahun. Festival menjadi “Inkubator Budaya” yang membentuk struktur ekonomi baru yang lebih kreatif, inovatif, dan berbasis pada kekuatan lokal.

Tantangan Serius yang Tidak Boleh Diabaikan
Meskipun penuh potensi, Banda menghadapi kendala yang memerlukan penyelesaian strategis. Akses transportasi sering menjadi hambatan utama. Keterbatasan jadwal kapal, bandara dengan kapasitas terbatas, dan biaya mobilitas yang tinggi menghambat arus wisatawan. Kondisi geografis kepulauan memperparah ketidakpastian transportasi.

Di sisi lain, akomodasi masih terbatas. Dengan meningkatnya kunjungan wisatawan saat festival, Banda berisiko mengalami kekurangan tempat menginap. Tanpa pengembangan homestay berkualitas, lodge berbasis kolonial, atau penginapan ramah lingkungan, festival sulit mencapai standar layanan yang diharapkan wisatawan nasional maupun mancanegara.

Kapasitas manajemen festival juga menjadi persoalan penting. Penyelenggaraan festival berskala besar membutuhkan sumber daya profesional. Tanpa pendampingan teknis, risikonya adalah festival akan berjalan tanpa standar kurasi, estetika, dan manajemen kerumunan yang memadai. Ini dapat mengurangi kualitas pengalaman pengunjung sekaligus merusak citra Banda.

Terakhir, ada tantangan keberlanjutan. Banyak festival budaya yang berjalan meriah di awal, namun kehilangan dampak setelah acara berakhir. Banda harus belajar dari pengalaman itu. Festival harus diorganisasi bukan sebagai proyek tahunan, tetapi sebagai ekosistem pembangunan yang berkelanjutan.

Peluang Strategis Banda dalam Lanskap Global
Dengan kekayaan sejarah dan keaslian situs kolonial yang terjaga, Banda memiliki peluang besar untuk masuk ke dalam daftar Warisan Dunia UNESCO. Narasi rempah dan jaringan kolonialnya adalah kekayaan yang diakui oleh komunitas heritage internasional.

Festival dapat menjadi jendela diplomasi budaya yang memperkenalkan keunikan Banda kepada dunia. Selain itu, tren global menunjukkan bahwa pariwisata berbasis heritage semakin diminati. Wisatawan tidak lagi mencari destinasi modern semata, melainkan pengalaman yang memiliki kedalaman historis, nilai budaya, dan otentisitas. Banda berada tepat di jalur ini.

Peluang lainnya adalah ekonomi digital. Festival dapat memanfaatkan platform digital untuk promosi internasional, pemasaran UMKM, hingga penyelenggaraan tur virtual yang memungkinkan jangkauan global. Dengan manajemen digital yang tepat, Banda dapat dikenal luas tanpa harus menunggu kunjungan fisik meningkat drastis.

Catatan Rekomendasi untuk Menjamin Masa Depan Banda
Agar festival tidak berhenti pada euforia sesaat, Banda membutuhkan strategi pembangunan yang konsisten. Rekomendasi penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan adalah memperlakukan festival sebagai program jangka panjang, bukan sebagai proyek. Ini berarti festival harus memiliki institusi pengelola yang permanen, yang bekerja tidak hanya menjelang acara tetapi sepanjang tahun mengawal persiapan, kurasi, promosi, hingga evaluasi. Badan pengelola ini harus terbentuk melalui kolaborasi lintas sektor pemerintah, akademisi, komunitas budaya, pelaku UMKM, dan sector privat agar keputusan yang diambil bersifat inklusif dan representatif.

Selain itu, perbaikan akses transportasi harus direncanakan secara strategis. Tidak cukup hanya menambah jadwal kapal atau membuka rute pesawat; Banda membutuhkan kebijakan transportasi terintegrasi yang melibatkan pemerintah provinsi dan pusat. Stabilitas akses akan menjadi fondasi utama bagi peningkatan jumlah wisatawan. Pada saat yang sama, pengembangan akomodasi berbasis komunitas seperti homestay dan rumah kolonial yang direstorasi perlu didorong dengan regulasi dan pembinaan yang tepat, sehingga kualitas layanan wisata meningkat tanpa mengorbankan keaslian kawasan.

Dalam hal pelestarian warisan, pemerintah daerah harus menyiapkan kerangka perlindungan yang jelas. Penetapan zona konservasi, panduan restorasi bangunan kolonial, serta pemeliharaan situs sejarah harus menjadi kebijakan formal yang diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan wilayah. Pelestarian ini penting bukan hanya untuk menjaga identitas, tetapi juga sebagai syarat menuju pengajuan status Warisan Dunia UNESCO.

Di bidang ekonomi, festival perlu diarahkan untuk menciptakan ekosistem ekonomi kreatif yang berjalan sepanjang tahun. Pengembangan sentra kerajinan rempah, inkubator kreatif, pelatihan desain produk, hingga digitalisasi pemasaran UMKM akan memperkuat fondasi ekonomi baru yang tidak hanya bergantung pada festival. Upaya ini perlu didukung dengan skema pendanaan yang berkelanjutan melalui kolaborasi pemerintah, sektor privat, dan lembaga donor.

Rekomendasi terakhir berkaitan dengan promosi dan positioning Banda dalam lanskap global. Festival harus memiliki strategi komunikasi yang kuat untuk memperkenalkan Banda sebagai “Pusat Budaya Rempah Dunia.” Kolaborasi dengan media nasional dan internasional, pembuatan dokumenter sejarah, serta promosi digital yang konsisten akan membantu Banda mencapai reputasi global yang layak ia miliki.

Catatan-catatan rekomendasi ini penting untuk menjamin bahwa Banda Heritage Festival 2025 bukan hanya panggung selebrasi, tetapi pijakan menuju masa depan pembangunan wilayah yang lebih terarah, berkelanjutan, dan berbasis pada kekuatan warisan budaya Banda sendiri.

*** Penulis adalah Praktisi Perencanaan Wilayah dan Kota, Alumni Fakultas Teknik Univ Bosowa Makassar