Oleh:
Samual Patra Ritiauw

SABUROmedia — “Bendera… Beta buka gudang benderanya hilang.” Sepenggal kalimat sederhana dari film animasi Merah Putih: One For All telah menjadi viral di jagat media sosial. Bagi sebagian orang, itu hanya guyonan. Bagi sebagian lain, itu adalah satire getir yang menggambarkan wajah Maluku hari ini.

Dalam film itu, narasi menggunakan bahasa khas Maluku, tetapi dengan logat Jawa. Bagi banyak orang Maluku, ini terasa janggal, bahkan menyakitkan. Seolah identitas budaya diambil alih, dipoles, lalu dipertontonkan tanpa rasa hormat.

Ironinya, representasi yang salah itu justru menyuarakan realitas yang lebih dalam yaitu sebuah kehilangan. Kehilangan suara, kehilangan hak, kehilangan posisi dalam bingkai kebangsaan yang sudah berusia delapan dekade.

Tahun ini, Indonesia berusia 80 tahun merdeka. Namun, apakah Maluku sungguh-sungguh sudah merdeka? Apakah rakyat di pulau-pulau kecil merasakan kemerdekaan yang sama dengan rakyat di pusat kekuasaan? Pertanyaan ini wajib kita ajukan tanpa tedeng aling-aling.

Jika kita jujur, maka jawabannya pahit yakni Maluku masih tertinggal, bahkan sering dipinggirkan. Kemerdekaan di sini belum genap terasa. Kita seperti punya bendera, tetapi bendera itu hilang ketika hendak dikibarkan.

Mari kita bicara data. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Maret 2025, persentase penduduk miskin di Maluku masih 15,38%, jauh di atas rata-rata nasional yang hanya sekitar 9,36%. Artinya, hampir 3 dari 20 orang Maluku masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Jumlah orang miskin di Maluku kini sekitar 287,76 ribu jiwa. Angka ini memang turun tipis dari tahun lalu, tetapi tetap menegaskan bahwa Maluku masih berada di jajaran tiga provinsi termiskin di Indonesia.

Di perkotaan, tingkat kemiskinan 4,36%. Tetapi di pedesaan, angkanya melonjak drastis hingga 24,61%. Ini bukan sekadar angka, melainkan wajah nyata rakyat di pulau-pulau kecil yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.

Kemiskinan ini kontras dengan kekayaan alam Maluku. Laut kita kaya ikan. Tanah kita kaya rempah dan mineral. Tetapi kekayaan itu mengalir keluar, sementara rakyat di sini tetap hidup susah.

Inilah bentuk nyata penjajahan gaya baru, dijajah oleh bangsa sendiri. Kekayaan Maluku dipanen, dibawa ke pusat, diolah di sana, lalu dijual kembali ke kita dengan harga mahal.

Mari kita lihat masalah lain yaitu pengangguran. Pada Agustus 2024, tingkat pengangguran terbuka Maluku berada di angka 6,11%. Artinya, dari 100 angkatan kerja, ada 6 orang yang tidak punya pekerjaan.

Angka ini lebih tinggi dari rata-rata nasional yang hanya 5,32%. Yang lebih menyedihkan, pengangguran terbesar justru terjadi pada lulusan SMA dan SMK, anak-anak muda yang mestinya produktif.

Tingkat pengangguran di perkotaan mencapai 8,01%, jauh lebih tinggi dibandingkan pedesaan yang 4,89%. Ini menunjukkan bahwa urbanisasi tanpa perencanaan hanya menciptakan pengangguran baru di kota.

Pemerintah memang gencar menggelar job fair, pelatihan, dan program padat karya. Tetapi hasilnya minim. Yang diperlukan bukan sekadar pelatihan, melainkan penciptaan lapangan kerja riil yang sesuai dengan potensi Maluku.

Kita perlu bertanya keras mengapa di provinsi yang kaya laut ini, industri pengolahan ikan justru terkonsentrasi di Jawa? Mengapa nelayan Maluku tetap miskin padahal laut kita memberi makan bangsa?

Masalah berikutnya adalah kesehatan. Angka stunting di Maluku masih tinggi, terutama di Kepulauan Aru, Maluku Tenggara, dan Kota Tual. Anak-anak kita gagal tumbuh bukan karena malas, tetapi karena negara gagal hadir dengan gizi yang cukup.

Penyakit menular seperti TBC, diare, dan pneumonia masih merajalela. Padahal, kita sudah 80 tahun merdeka. Mengapa akses kesehatan dasar masih jadi kemewahan di pulau-pulau kecil?

Distribusi tenaga kesehatan timpang. Dokter spesialis menumpuk di Ambon, sementara pulau-pulau lain hanya mengandalkan perawat atau bidan. Rumah sakit besar hanya ada di ibu kota provinsi.

Banyak pasien di pulau kecil harus menunggu kapal berhari-hari untuk bisa dirujuk. Dalam banyak kasus, mereka meninggal di perjalanan. Apakah ini yang disebut merdeka?

Jika kesehatan adalah hak dasar, maka Maluku telah lama diperlakukan tidak adil. Hak itu dipotong, ditunda, bahkan diabaikan.

Dalam pendidikan, masalahnya sama. Banyak sekolah rusak, tanpa laboratorium, tanpa perpustakaan, tanpa akses internet. Anak-anak kita belajar dalam keterbatasan yang seharusnya tidak lagi terjadi di usia 80 tahun republik.

Distribusi guru timpang. Guru berkualitas menumpuk di kota, sementara pulau-pulau kecil kekurangan tenaga pengajar. Mata pelajaran sains dan matematika sering diajarkan seadanya.

Banyak siswa harus berjalan kaki berjam-jam atau menyeberangi laut hanya untuk bersekolah. Ironi kemerdekaan, anak bangsa harus mempertaruhkan nyawa untuk menuntut ilmu.

Lebih ironis lagi, kurikulum kita sering tidak relevan dengan kebutuhan lokal. Anak-anak Maluku belajar materi yang seragam dengan anak di Jawa, tetapi tidak dibekali keterampilan praktis yang sesuai dengan potensi kelautan dan kepulauan.

Hasilnya? Lulusan sekolah menengah tidak siap kerja, sementara lulusan perguruan tinggi menganggur. Pendidikan tidak berfungsi sebagai jalan keluar, tetapi justru menambah daftar pengangguran terdidik.

Masalah konektivitas antar wilayah juga menjadi luka lama. Maluku adalah provinsi kepulauan. Tetapi transportasi laut yang vital justru minim perhatian.

Banyak pelabuhan rusak, dermaga sempit, dan armada kapal terbatas. Di banyak pulau, kapal Pelni tidak singgah secara rutin. Akibatnya, harga kebutuhan pokok melambung tinggi.

Masyarakat di Buru, Aru, Seram, dan Maluku Barat Daya kerap mengeluh karena keterisolasian. Mereka bagian dari Indonesia, tetapi akses transportasi membuat mereka seperti warga dunia lain.

Akibat buruk dari konektivitas yang minim adalah mahalnya biaya hidup. Data BPS menunjukkan, indeks harga konsumen di Maluku kerap lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional.

Inilah mengapa beras, gula, semen, dan BBM di Maluku jauh lebih mahal. Masyarakat dipaksa membayar harga lebih tinggi hanya karena negara gagal menyediakan konektivitas yang adil.

Jalan dan jembatan di Maluku pun bermasalah. Gubernur Maluku sendiri mengakui, meski 95% jalan nasional dalam kondisi baik, tetapi jalan provinsi dan kabupaten masih banyak yang rusak.

Korupsi, pengerjaan asal-asalan, dan keterbatasan anggaran menjadi biang kerok. Jalan baru dibangun, tetapi sudah rusak dalam hitungan bulan.

Bencana alam seperti banjir dan longsor memperparah kondisi. Di Seram dan Maluku Tengah, jalan terputus berbulan-bulan. Desa-desa terisolasi, distribusi pangan terhenti.

Masyarakat seakan dibiarkan hidup dengan jalan berlubang, jembatan rapuh, dan risiko kecelakaan setiap hari. Padahal, jalan dan jembatan adalah urat nadi pembangunan.

Infrastruktur yang buruk berarti akses ke sekolah terhambat, pasien sulit dirujuk, harga barang melambung. Semua sektor mati karena jalan mati.

Hak-hak ulayat masyarakat adat di Maluku yang telah dimiliki sejak zaman nenek moyang semestinya diakui dan dilindungi. Alih-alih itu, negara kerap menetapkan status hutan lindung secara sepihak tanpa persetujuan masyarakat adat. Misalnya, penetapan Pulau Teon, Nila, dan Serua sebagai kawasan hutan lindung lewat SK Menteri Kehutanan No. 854/Menhut-II/2014 pada 29 September 2014 membawa efek nyata perampasan hak ulayat tanpa pemberitahuan kepada masyarakat Teon Nila Sarua (TNS) yang baru mengetahuinya pada 2024.

Lebih lanjut, pada Juni 2025, penetapan kawasan hutan lindung Air Louw oleh KLHK tanpa sosialisasi, dasar hukum yang jelas, atau keterlibatan masyarakat Negeri Nusaniwe memicu penolakan keras. Warga bahkan mencabut patok yang ditanam aparat, menyatakan status itu melanggar hak konstitusional atas ulayat dan melukai rasa keadilan.

Ini bukan hanya soal lahan, ini adalah persoalan identitas dan eksistensi. Bila masyarakat adat kehilangan hak atas tanah leluhur karena dalih “hutan lindung”, maka sesungguhnya mereka dalam proses kehilangan kemerdekaan, dilanggar oleh negara sendiri.

Konstitusi mengakui hak masyarakat hukum adat (Pasal 18B ayat 2 UUD 1945), seharusnya pemerintah daerah menerjemahkannya ke dalam Peraturan Daerah (Perda) sebagai pelindung. Namun DPRD Maluku menyebut belum ada perda semacam itu, meski sudah diusulkan Kemendagri.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga dinilai abai terhadap pengakuan ulayat. Dari 1.208 negeri adat di Maluku, hanya 12% yang telah memperoleh sertifikat hak ulayat. Sementara 65% sengketa lahan di Maluku melibatkan klaim hak ulayat yang belum diakui secara formal.

Masalah berikutnya adalah janji-janji pemerintah pusat. Dari tahun ke tahun, Maluku selalu dijanjikan akan menjadi lumbung ikan nasional. Tetapi kenyataannya, janji itu hanya slogan tanpa realisasi nyata.

Kita masih menunggu pelabuhan perikanan terpadu yang dijanjikan. Kita masih menunggu kawasan industri yang katanya akan menyerap ribuan tenaga kerja.

Janji yang tak kunjung ditepati itu melukai kepercayaan rakyat. Maluku selalu diberi harapan palsu, lalu dilupakan.

Sementara itu, pemerintah daerah pun tidak berdaya. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, sebagian elit daerah justru sibuk memperkaya diri.

Hasilnya, rakyat Maluku semakin merasa ditinggalkan. Mereka mulai bertanya, apa arti kemerdekaan jika nasib kami tak pernah berubah?

Lihatlah nasib ribuan masyarakat yang menggantungkan hidup dari produksi sopi. Mereka adalah rakyat kecil yang berjuang di tengah keterbatasan.

Namun, alih-alih diberdayakan dengan regulasi yang adil, mereka justru dihantam oleh kebijakan represif. Produksi sopi dilarang, tanpa solusi ekonomi pengganti.

Ini bukan sekadar soal minuman, tetapi soal mata pencaharian. Ribuan keluarga kehilangan sumber nafkah karena pemerintah gagal merancang regulasi yang berpihak.

Jika negara ingin menertibkan produksi sopi, maka sediakan alternatif. Bangun industri lokal. Ciptakan lapangan kerja. Jangan sekadar melarang tanpa solusi.

Larangan tanpa regulasi sama dengan menghancurkan ekonomi rakyat kecil. Dan ini adalah bentuk ketidakadilan paling nyata.

Saudara-saudaraku, semua masalah ini bukanlah cerita baru. Dari kemiskinan, pengangguran, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, hingga janji palsu pemerintah semuanya sudah kita rasakan puluhan tahun.

Maka wajar jika sebagian orang Maluku merasa kemerdekaan belum sepenuhnya hadir di sini. Kita merdeka secara formal, tetapi secara substansial kita masih dijajah oleh bangsa sendiri.

Apakah pantas kita berteriak merdeka jika anak-anak kita stunting, nelayan kita miskin, guru kita terbatas, dan jalan kita rusak? Apakah pantas kita merayakan kemerdekaan jika rakyat Maluku hanya menjadi penonton dalam pesta republik?

Pertanyaan yang lebih tajam, apakah perjuangan kita berbeda dengan GAM atau OPM? Mereka berteriak karena merasa ditinggalkan. Kita pun punya alasan yang sama. Tetapi kita memilih untuk tetap setia pada republik ini, meski luka kita diabaikan.

Kesetiaan ini jangan diuji terlalu lama. Negara harus hadir. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja nyata. Jika tidak, maka yang hilang bukan hanya bendera, tetapi juga rasa percaya rakyat.

Refleksi di usia 80 tahun kemerdekaan ini harus menjadi momentum koreksi total. Maluku tidak butuh janji baru. Maluku butuh bukti.

Kita butuh industri pengolahan ikan di Maluku, bukan di Jawa. Kita butuh rumah sakit rujukan di tiap kabupaten, bukan hanya di Ambon. Kita butuh jalan dan jembatan yang menghubungkan desa-desa, bukan proyek asal-asalan yang cepat rusak.

Kita butuh guru berkualitas di pulau kecil, bukan hanya di kota. Kita butuh kurikulum yang relevan dengan potensi lokal. Kita butuh tenaga kerja diserap di Maluku, bukan dipaksa merantau ke Jawa.

Dan yang paling penting, kita butuh pemerintah daerah yang berani bersuara lantang, bukan hanya menjadi kaki tangan pusat.

Kemerdekaan sejati bukanlah seremonial setiap 17 Agustus. Kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat kecil merasakan hidup layak, ketika anak-anak bisa tumbuh sehat, ketika nelayan bisa sejahtera, ketika guru dihargai, dan ketika pulau-pulau kecil tidak lagi terisolasi.

“Bendera hilang” dalam film animasi itu adalah cermin dari kita. Cermin bahwa kemerdekaan Maluku pun sedang hilang. Kita punya bendera merah putih, tetapi warnanya mulai pudar di mata rakyat kecil yang lapar dan miskin.

Tugas kita adalah menemukan kembali bendera itu. Mengibarkannya dengan martabat. Memastikan bahwa merah putih di Maluku bukan sekadar kain, tetapi simbol hidup yang nyata.

Kita tidak butuh belas kasihan. Kita butuh keadilan. Kita tidak butuh janji, kita butuh realisasi. Kita tidak butuh slogan, kita butuh kerja nyata.

Jika negara gagal menjawab tantangan ini, maka 80 tahun kemerdekaan hanyalah angka. Ia hanya pesta kosong yang tidak berarti apa-apa bagi rakyat Maluku.

Mari kita bersuara. Mari kita menagih hak kita. Karena Maluku bukan daerah pinggiran. Maluku adalah jantung republik ini. Dan tanpa Maluku, Indonesia tidak akan pernah lengkap.

*** Penulis adalah Ketua DPD GAMKI Maluku dan Akademisi Unpatti