Oleh : Ahmad Djen Wasolo

SABUROmedia, Malteng – Membicarakan Maluku Tengah (Malteng), dari sisi struktural, yang paling pertama terfikirkan adalah wacana dinasti, yang kemudian wacana terlihat kental dan semakin seksi jika menjelang pilkada, dan hal ini seperti, telah menjadi menu pokok Maluku Tengah pada khususnya. Entahlah pertimbangan kemantangan isu dilihat dari mana, selalu saja diborong habis oleh mindsetnya watak politik sosial Maluku Tengah.

Maluku Tengah dalam wacana politik selalu saja diberikan sajian yang tidak begitu memuaskan, sehingga pada tatarannya melemahkan beberapa aspek, diantara partisipasi masyarakat dalam menyelenggarakan aspek demokrasi yang baik, tingkat kepercayaan terhadap politik semakin lemah. Sebab beberapa dasawarsa ini, kanca perpolitikan Maluku Tengah selalu saja di dominasi oleh beberapa elite politik, yang selanjutnya disebut sebagai dinasti.

Fenomena dinasti politik yang terjadi di Negeri ini memang sudah lama menjadi kasus yang tabu dan seringkali di perdebatkan. Alasannya adalah dinasti politik bukanlah sistem yang tepat untuk diterapkan di Negara kita, sebab, Negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.

Hal tersebut juga berdampak pada masyarakat yang memiliki hak demokrasi dalam memilih dan dipilih, kemudian haknya tersebut dibatasi oleh sistem monarki tersebut. Dinasti politik semestinya dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai Pilkada dan pemilu Legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau terbatasi.

Jika para penguasa dinasti di sejumlah daerah bertambah besar pertumbuhannya, maka akan kian marak juga praktek-praktek yang bisa merugikan Negeri ini, seperti pencurian sumber daya alam dan lingkungan, pencurian sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.

Dinasti adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya beberapa orang. Oleh karena itu dalam dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu. Contohnya, keluarga elite untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan disuatu negara. Kita dapat melihat beberapa bentuk politik dinasti dalam sistem politik dunia.

Mengutip pendapat Ahmad Maulani dalam artikel dikoran kompas hal. 7 sebagai berikut ; “Dari data yang dilansir Indonesia Corupption Watch (ICW), Pada pilkada serentak 2017, ada 12 calon kepala daerah di 11 daerah yang berasal dari dinasti politik, beberapa daerah tersebut antara lain ; Banten, Gorontalo, Masi Banyuasin, barito Kuala, Pringsewu, Lampung, kota batu, landak, Kalbar, Lampung barat, kota Cimahi, kabupaten Mesuji, serta Maluku Tengah.

Selain itu ada sekitar 57 kepala daerah atau wakil kepala daerah mempunyai hubungan keluarga/kerabat pejabat lain. Mereka tersebar di 15 daerah provinsi, seperti ; provinsi Lampung, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatra barat, Jawa Barat, Jawa tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, Kalimantan Tengah, Kaltim, dan Maluku.

“KETAKUTAN MISKIN VS JALAN BUNTU POLITIK MALTENG”

Salah satu alasan paling mendasar yang melatar belakangi sehingga dinasti sebagai hama demokrasi begitu kuat adalah, Dinasti sebagai wujud untuk bagaimana elit politik mempertahan kekayaan pribadinya. “Saya pernah menemukan beberapa argumen liar kenapa sampai saat ini di kota Masohi, sebagai kota kabupaten tidak ditumbuhi swalayan besar (contohnya seperti Alfamart, Indomart, Matahari store, Ramayana, dll). Ada benarnya dengan tidak memasukkan beberapa swalayan besar untuk  melindungi pedagang kecil. Namun disisi lain, elite politik ketakutan aset milik mereka tersaingi, dengan kata lain elite politik takut miskin.”

Tatkala “kekuasaan informal” melakukan penguasaan, bukan semata yang dikuasai adalah kegiatan perdagangan, tapi juga aset-aset ekonomi lain, yang melahirkan kekuatan ekonomi, misalnya penguasaan proyek pembangunan. Justru, penguasaan proyek itulah yang sangat penting artinya, karena mempengaruhi kebijakan politik. Relasi antara kekuasaan proyek dan kekuasaan politik yang terus bermesraan, tentunya melahirkan pengawetan kekuasaan.

Ada juga kebaikan berlebel, hal ini selalu muncul di akhir masa pemerintahan atau menjelang pemilu. Mereka menampilkan sesuatu yang benar-benar membuat orang terpakau bahwa mereka lah yang paling layak untuk dipertimbangkan sebagai pemimpin.

Hal-hal inilah yang selalu dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga muncullah, sesuatu yang tidak seharusnya, seperti “siapa yang memberi dia akan menerima”. Dan orang-orang yang benar-benar kompeten tidak punya peluang untuk turut serta dalam mengambil bagian dalam kanca perpolitikan, apalagi sistem politik yang tertumpuk pada rekomendasi partai, yang pada tatarannya harus memiliki modal yang lebih untuk bisa mendaoatkan rekomendasi dari tiap-tiap partai. Sehingga pada saat yang sama melemahkan nilai demokrasi, karena aspek demokratis tidak dilihat dari siapa yang layak tetapi siapa memberikan dan siapa yang punya uang.

Politik di Maluku Tengah selalu saja menyediakan jalan buntu bagi mereka yang berkeinginan memimpin serta memilih, masyarakat yang menjadi tumpuan demokrasi  tidak benar-benar di berikan ruang untuk menentukan pilihannya sendiri, menurut kepercayaan terhadap calon yang diminati nya, masyarakat sering dijadikan sebagai partisipan demokrasi semata, seperti ada yang mengungkapkan bahwa “sama saja kita yang memilih, tapi yang menentukan itu mereka sendiri.”

Hal semacam ini, persis seperti yang dikatakan Firman Noor bahwa spektrum skenario kebuntuan politik itu terbentang mulai adanya sosok presiden/pemimpin yang populer namun tidak mendapat dukungan yang cukup dalam parlemen, munculnya sosok presiden/pemimpin yang dikendalikan atau disandera secara oligarkis oleh kekuatan-kekuatan pendukung-pendukungnya, hingga kemungkinan munculnya seorang presiden yang mengabaikan sama sekali esistensi parlemen dengan alasan untuk kepentingan rakyat.

Disfungsi kekuatan formal dan informal itulah yang akan membahayakan masa depan pembangunan ekonomi Maluku Tengah. Kreativitas pemerintah tidak muncul, yang muncul hanyalah kesialan daerah, karena pemerintanya dipimpin oleh pembuat kebijakan alias kepala daerah, birokrasi dan legislatif yang miskin kreativitas, komitmen dan integritas. Tetapi kaya tipu muslihat, rakus dan koruptif. Maka, ketertinggalan menjadi kenyataan pahit yang harus ditelan. Akhirnya pembangunan bukan kesejahteraan rakyat tapi pribadi dan kelompok.

Padahal Pembangunan yang ideal dan berkelanjutan jika tidak didasarkan pada basis kekuatan dan kemampuan rakyat mustahil hasil pembangunan berefek jangka panjang. Bahkan bisa jadi akan menyeret tuannya sendiri dalam jebakan kegagalan (failed trap). Munculnya failed state, lebih disebabkan kurangnya dukungan kekuatan dan kemampuan rakyat.

Sistem demokrasi dan kebijakan politik demikian ini ke depan memang sudah seharusnya mengalami perubahan. Perubahan itu niscaya diperlukan karena adopsi atas sistem tersebut membutuhkan perbaikan-perbaikan sistemik meliputi tiga aras, yakni pemantapan civil society, perbaikan sistem pemilihan serentak, dan penyederhanaan partai politik. Sehingga wujud demokrasi yang sama-sama kita idamkan, akan terwujud dan negara demokrasi sebenarnya pada prinsipnya alergi terhadap sistem dinasti, karena nilai dari dinasti adalah melindungi/memelihara kekayaan pribadi, serta memelihara penyakit dalam kemajuan daerah.

Penulis : “Ahmad Djen Wasolo”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *