Oleh : Abdul Karim Tawaulu
SABUROmedia – Bicara Muhammadiyah orang langsung menjudge “organisasi Islam yang menolak tradisi Nusantara”. Padahal justeru sebaliknya. Muhammadiyah bukan sekadar institusi keagamaan formal tapi suatu gerakan purifik yang menekankan pada kemurnian Islam dengan tetap welcome pada ideologi, mazhab, aliran, pemikiran, dan budaya yang tidak bertentangan dengan syariat. Artinya Muhammadiyah menerima adat, tradisi atau kebudayaan sebagai bentuk penghargaan pada ke-sunnahan Allah SWT. Budaya adalah kreasi manusia sebagai zoon politicoon, makhluk berpikir dan berperadaban yang diberikan Tuhan. Basirohnya (biologis) manusia ini yang mendorong ia terus berkreasi dalam hidupnya, termasuk di dalamnya kehidupan keagamaan.
Gerakan dakwah kultural yang dicetuskan para mubaligh Muhammadiyah untuk mengafirmasi bahwa organisasi besutan Allah yarham KH. Ahmad Dahlan inimengakomodasi berbagai praktek kebudayaan, sekali lagi selama tidak bertentangan dengan Islam. Model dakwah ini dipandang perlu diterapkan. Motifnya cukup sederhana, yakni pribumisasi ajaran Muhammadiyah yang modernis di tengah pergumulan sosial.
Selama ini Muhammadiyah asing di telinga masyarakat muslim pedesaan. Bahkan ada yang menyebutkan aliran, sekte atau bahkan agama. Kekeliruan ini dimafhumi, sebab kurangnya gerakan pribumisasi. Usungan gerakan dakwah kulutural dimaksudkan untuk memperteguhkan kedudukan Muhammadiyah dalam konteks kebudayaan lokal masyarakat. Bahwa kenusantaraan Islam sebuah keniscayaan. Jangan juga dipahami bahwa resultantenya adalah “Islam Nusantara”. Tapi afirmatif atas metode “al Islam shalibun likulli zaman wamakan” kontekstualitas Islam di aras kebudayaan-sosial masyarakat.
Fatwa-fatwa majelis tarjih dan tajdid memberikan pandangan baru bahwa praktikum keislaman yang bersendikan budaya adalah kebolehan. Boleh diikuti, boleh juga tidak. Sebab Muhammadiyah meyakini ada alas hukumnya. Sumbernya pun dari ulama-ulama muktabar yang punya otoritas.
Metode dakwah al-urf ini juga meneguhkan posisi atas sentimen ahistori yang selama ini dialamatkan ke Muhammadiyah. Bahwa Muhammadiyah anti budaya, adat, dan tradisi. Penolakan “bid’ah” yang jadi motor gerak pun sesungguhnya dalam tafsiran lebih egaliter. Tafsir “bid’atun dholalah” terbuka dan senyawa dengan tafsir-tafsir inklusif dan kontemporer. Muhammadiyah memandang tafsir ulama-ulama Nusantara dapat dipakai sebagai istinbath. Dalam posisi fuzion of horizons; konsepsi tafsir mesti selaras dengan keberadaan para mufassirnya, sebab mereka yang lebih tahu dan mengerti kondisi sosial, alam, politik dan kebudayaan masyarakatnya.
Dinamikan masyarakat yang makin kompleks ini membuat Muhammadiyah lebih progres menemukan relasi-agama-budaya. Walau bahasan relasi agama-budaya ini sudah final puluhan tahun lalu. Metode ini kemudian direkonstruksi lagi menjadi manhaj dakwah dalam putusan tanwir di Denpasar-Bali tahun 2002, agar benar-benar menjadi khittoh yang mengikat para mubaligh-mubalighah Muhammadiyah.
Tafsir atas ayat “rasuulin illa billisani qaumihi” – Rasul di utus dengan bahasa kaumnya inklusif dan historitatif. Filosofi konsideran “lisani qaumihi” bukan sekadar lisan, bahasa atau perkataan. Tapi konteks sosio-kultural masyarakat di mana Islam itu tumbuh (qaumihi).
Islam mengakomodir bahasa masyarakat Nusantara dengan segala kebudayaan dan kreatifitas hidupnya. Islam mesti mengerti gestur Minang, Jawa, Sunda, Ambon, Sulawesi, dll., dan Islam memang demikian. Saat turun di tengah kaum Quraisy pun gestur mereka dipahami benar oleh Islam. Itulah makanya rahmatan lil alaminnya tetap selaras sepanjang masa.
Muhammadiyah memandang Islam bukan sekadar agama, tapi ia adalah millah-etika kolektivias sosial. Islam sebagai ideologi sosial yang rumus bakunya adalah kognitif religius, yakni pendampingan atas kesejahteraan banyak orang. Maka Muhammadiyah tetap mendayung dalam kebersamaan, keselarasan dan kolektivitas sosial sebagai bagian dari maqosid syariah (prinsip Islam).
UNIMMA Sebagai Basis Dakwah
Salah satu tafsir faktual dari seluruh rangkaian ayat mengenai kewajiban “akrmakum inddallah atqaakum” adalah pendirian lembaga pendidikan. Ini yang kemudian memotivasi pimpinan wilayah dan seluruh angkatan muda Muhammadiyah Maluku berkeinginan menghadirkan PTM di Maluku untuk menjawab tuntutan penggalan ayat di atas.
Universitas Muhammadiyah Maluku yang diakronimkan dengan UNIMMA memuat cita-cita besar yakni menjadikannya sebagai basis dakwah kemuhammdiyaan dengan tetap berada pada asas “al-islamu likulli zamani wa makan”. Hari ini harapan itu terjawab.
Mentari dalam hukum penciptaan terbit dari timur dan kemudian tenggelam di ufuk barat. Makna filosofisnya, cahaya peradaban dan ilmu pengetahuan mestinya terbit dari negeri paling timur Indonesia dan akan membawanya menuju ke bagian barat negeri ini. Ini tersirat pada lambang matahari dalam logo Muhammadiyah.
UNIMMA insya Allah akan menjadi gerbang peradaban timur itu.
*** Penulis adalah Sekretaris PDM Ambon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *