SABUROmedia, Ambon – Judul tulisan pendek ini adalah sebuah idiom atau istilah yang saya kemukakan setidaknya untuk menandai babak baru hubungan relasi politik orang Maluku. Juga dalam mengajak generasi muda Maluku agar dalam setiap aktivitas dan gerakan politik mengedepankan ‘Baku Sayang’ atau saling sayang.
Politik Baku Sayang, akan menjadi semacam ‘selimut’ yang terus menghangatkan hubungan atau relasi para aktivis politik. Dengan begitu, keakraban sosial terus menyelimuti ‘orang basudara’, betapapun ada dalam perbedaan pilihan politik.
Iya, walaupun adalah diksi yang terkesan ada dalam kutub yang berbeda, saya percaya baku sayang dalam konteks apa pun, termasuk dalam urusan politik yang kerap kental dengan konflik dan pertikaian akan menjadi lebih bermakna. Membuka ruang bagi hadirnya kesepahaman hingga terbangun sinergi dan kolaborasi.
Politik Baku Sayang menjadi relevan, setidaknya atas dua kondisi eksisting. 𝙋𝙚𝙧𝙩𝙖𝙢𝙖, Maluku pernah dilanda konflik sosial. Residunya harus diakui masih tersisa, ditandai dengan segregasi sosial, politik dan budaya yang masih mengental, meski dalam beberapa konteks sudah mulai mencair.
Dengan ‘Baku Sayang’ dalam aktivitas politik ada semacam paradigma berfikir dan bertindak untuk saling menghormati pilihan atau jalan politik yang berbada, sembari berusaha untuk tidak menyentuh aspek-aspek yang sensitif dikalangan orang basudara. Saya seriangkali menggunakan istilahkan ‘pantangan sosial’ bagi orang Maluku dalam mengindetifikasi perkara yang sensitif ini.
Contoh kongkrit pantangan sosial itu dapat ditujukan diantaranya dengan sesama orang Maluku secara sadar, tidak mengganggu atau menyerang martabat tokoh agama lain —sekalipun sang tokoh tak ada kaitannya dengan Maluku— tapi karena adalah simbol dan bisa jadi punya pengikut di Maluku. ‘Menyinggung’ tokoh agama oleh orang Maluku bisa menjadi pemicu konflik antar sesama orang Maluku.
Begitupun dengan simbol agama lainnya ‘pantang’ untuk dicederai atau sampai dihina, justru sebaliknya turut dijaga dan dihormati. Politisasi isu agama juga harus dihindari, atau menjadi pantangan bagi orang Maluku, terutama dalam pelbagai kegiatan dan aktivitas politik.
Politik Baku Sayang menghendaki tingkat kepekaan sosial yang tinggi dari aktor-aktor politik. Karena saling sayang menjadi bagian dari paradigma berpolitik, maka perasaan masing-masing pihak atau kelompok akan terus dijaga dan dirawat.
𝙆𝙚𝙙𝙪𝙖, orang Maluku ada dalam spektrum perjuangan politik yang beragam. Mulai dari kelompok yang menghendaki Maluku menjadi negara yang terpisah dari Indonesia; Kelompok yang inginkan ada perlakukan khusus semacam otonomi khusus bagi Maluku; Hingga kelompok yang setia dengan Indonesia tanpa syarat apa pun atau kelompok ‘NKRI Harga Mati’.
Betapapun perbedaan pilihan politik, yang pasti semua kelompok ada dalam satu cita-cita yang sama mulianya, yakni Maluku menjadi sejahtera, tak lagi miskin seperti hari-hari ini bisa dengan mudah disaksikan, ada dipelupuk mata. Hanya berbeda dalam cara mencapai tujuan.
Dalam konteks itu kemudian, mestinya perbedaan dapat dikelola, dengan setiap pejuang politik untuk kesejahteraan Maluku tetap bisa saling rispek, saling sayang atau baku sayang. Tak saling menegasikan, apalagi bertikai karena merasa paling benar atau paling mulia perjuangannya.
Sesama orang Maluku tak saling sikut, apalagi saling menyalahkan. Politik baku sayang punya kecenderungan melihat jauh kedepan, pada hal-hal yang bersifat strategis dan dapat menjawab kebutuhan serta kepentingan orang Maluku.
Politik Baku Sayang juga memungkinkan lahirnya sinergi atau kolaborasi diantara orang Maluku. Pihak-pihak yang ada dalam berbagai spektrum perjuangan akan mau dan mampu membangun kompromi atas pilihan-pilihan politik yang sejatinya bisa diperjuangkan bersama.
Dengan Politik Baku Sayang, komunitas Diaspora orang Maluku di luar negeri terutama di Belanda yang jumlahnya lebih dari 60 ribu orang —diantaranya menyakini satu waktu kedaulatan Maluku yang pernah diproklamasikan dapat direbut kembali—dengan komunitas orang Maluku di tanah air —diantaranya merasa sudah final menjadi Indonesia— dapat duduk bersama setidaknya saling menghormati ikhtiar politik masing-masing.
Dengan demikian, berbagai potesi besar yang dimiliki masing-masing pihak, dapat dielaborasi untuk ikut menggerakkan Maluku hingga lebih maju. Bahkan dengan Politik Baku Sayang, orang Maluku kalaupun saling ‘menyerang’ dalam politik, yang diserang adalah gagasan dan pemikiran, bukan pribadi, atau identitas personal dan kelompok (Baca: SARA).
Terkait istilah Politik Baku Sayang yang saya ketengahkan dalam satu diskusi virtual Forum Maluku Raya itu, Pdt. Hariman A. Pattianakotta sahabat virtual saya —karena secara fisik, setidaknya hingga catatan ini dibuat, kami belum pernah berjumpa— menuliskan atau mengurainya dengan lugas di dinding facebook-nya:
“𝘔𝘦𝘳𝘢𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘉𝘢𝘬𝘶 𝘚𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨”
𝘚𝘦𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘪𝘥𝘪𝘰𝘮 𝘮𝘢𝘯𝘪𝘴 𝘥𝘪𝘨𝘶𝘭𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘴𝘢𝘶𝘥𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘐𝘬𝘩𝘴𝘢𝘯 𝘛𝘶𝘢𝘭𝘦𝘬𝘢, “𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘣𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨”. 𝘐𝘥𝘪𝘰𝘮 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘳𝘢𝘴 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘱𝘪𝘳𝘪𝘵 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘴𝘶𝘥𝘢𝘳𝘢. 𝘚𝘦𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘢𝘶𝘥𝘢𝘳𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘺𝘰𝘨𝘪𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪. 𝘒𝘢𝘮𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘣𝘶𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨.
𝘒𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘥𝘪𝘴𝘢𝘯𝘥𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬, 𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘣𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘱𝘪𝘳𝘪𝘵 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘦𝘳𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬; 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘸𝘢 𝘱𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘩𝘢𝘬𝘪𝘬𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢, 𝘺𝘢𝘪𝘵𝘶 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘶𝘴𝘢𝘩𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘥𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘣𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘸𝘢𝘳𝘨𝘢 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘴. 𝘚𝘦𝘫𝘢𝘬 𝘦𝘳𝘢 𝘠𝘶𝘯𝘢𝘯𝘪 𝘬𝘶𝘯𝘰, 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘩𝘢𝘮𝘪 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘵𝘪𝘯𝘥𝘢𝘬𝘢𝘯𝘱𝘢𝘳𝘵𝘪𝘴𝘪𝘱𝘢𝘵𝘪𝘧 𝘸𝘢𝘳𝘨𝘢 𝘥𝘦𝘮𝘪 𝘮𝘦𝘸𝘶𝘫𝘶𝘥𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘢𝘥𝘪𝘭𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘷𝘪𝘳𝘵𝘶 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘬𝘦𝘣𝘢𝘫𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘪𝘥𝘦𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘱𝘦𝘳𝘫𝘶𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯.
𝘑𝘶𝘳𝘨𝘦𝘯 𝘏𝘢𝘣𝘦𝘳𝘮𝘢𝘴 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘰𝘯𝘵𝘦𝘬𝘴 𝘥𝘦𝘮𝘰𝘬𝘳𝘢𝘴𝘪 𝘮𝘰𝘥𝘦𝘳𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘱𝘳𝘰𝘴𝘦𝘴 𝘥𝘦𝘭𝘪𝘣𝘦𝘳𝘢𝘴𝘪. 𝘋𝘦𝘮𝘰𝘬𝘳𝘢𝘴𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘩𝘢𝘵 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶𝘪 𝘥𝘪𝘴𝘬𝘶𝘳𝘴𝘶𝘴 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘰𝘮𝘶𝘯𝘪𝘬𝘢𝘵𝘪𝘧 𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘣𝘭𝘪𝘬, 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘳𝘰𝘴𝘦𝘴 𝘬𝘰𝘮𝘶𝘯𝘪𝘬𝘢𝘵𝘪𝘧 𝘪𝘵𝘶 𝘮𝘦𝘴𝘵𝘪 𝘣𝘦𝘣𝘢𝘴 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘮𝘰𝘯𝘰𝘱𝘰𝘭𝘪 𝘬𝘦𝘬𝘶𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘦𝘬𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪. 𝘏𝘢𝘭 𝘪𝘯𝘪 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘴𝘺𝘢𝘳𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘶𝘣𝘫𝘦𝘬-𝘴𝘶𝘣𝘫𝘦𝘬 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘸𝘢𝘳𝘨𝘢 𝘯𝘦𝘨𝘢𝘳𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘤𝘦𝘳𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯.
𝘈𝘱𝘢𝘣𝘪𝘭𝘢 𝘴𝘶𝘣𝘫𝘦𝘬 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘤𝘦𝘳𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘴𝘪𝘬𝘢𝘱 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘵𝘶𝘯𝘵𝘶𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘷𝘪𝘳𝘵𝘶 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘬𝘦𝘣𝘢𝘫𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘥𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘰𝘯𝘶𝘮 𝘤𝘰𝘮𝘮𝘶𝘯𝘦 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘬𝘦𝘣𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢. 𝘚𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘵𝘶, 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘬𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘑𝘰𝘯𝘨 𝘈𝘮𝘣𝘰𝘯 𝘑𝘰𝘩𝘢𝘯𝘦𝘴 𝘓𝘦𝘪𝘮𝘦𝘯𝘢, 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘬𝘶𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘺𝘢𝘯𝘪.
𝘚𝘦𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘵𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘫𝘪𝘸𝘢𝘪 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘴𝘱𝘪𝘳𝘪𝘵 𝘣𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨. 𝘉𝘢𝘨𝘪 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘪𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘩𝘢𝘭 𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘭𝘰𝘨𝘢𝘯𝘪𝘴𝘵𝘪𝘬, 𝘶𝘵𝘰𝘱𝘪𝘴, 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘮𝘪. 𝘚𝘦𝘣𝘢𝘣, 𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘪𝘵𝘶 𝘱𝘦𝘯𝘶𝘩 𝘪𝘯𝘵𝘳𝘪𝘬, 𝘴𝘢𝘳𝘢𝘵 𝘧𝘪𝘵𝘯𝘢𝘩, 𝘥𝘪𝘸𝘢𝘳𝘯𝘢𝘪 𝘵𝘪𝘯𝘥𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘬𝘶𝘵 𝘥𝘦𝘮𝘪 𝘴𝘺𝘢𝘩𝘸𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘬𝘶𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯.
𝘙𝘦𝘢𝘭𝘪𝘵𝘢𝘴 𝘣𝘶𝘳𝘢𝘮 𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘪𝘵𝘶 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘵𝘶𝘵𝘶𝘱𝘪. 𝘈𝘥𝘢 𝘣𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘴𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘮𝘣𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪 𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘗𝘪𝘭𝘬𝘢𝘥𝘢 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘗𝘦𝘮𝘪𝘭𝘶, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘶𝘢𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘢𝘮𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢. 𝘉𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘴𝘢𝘩𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘴𝘦𝘫𝘢𝘩𝘵𝘦𝘳𝘢𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯 𝘥𝘪𝘯𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘥𝘢𝘯 𝘦𝘮𝘱𝘪𝘳𝘦 𝘦𝘬𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳𝘨𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘨𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨𝘢𝘯. 𝘋𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘴𝘵𝘳𝘶 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘳𝘦𝘢𝘭𝘪𝘵𝘢𝘴 𝘣𝘶𝘳𝘢𝘮 𝘪𝘵𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘵𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘱𝘪𝘳𝘪𝘵 𝘣𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬.
𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘣𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘶𝘵𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘩𝘢𝘥𝘢𝘱 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬𝘢𝘥𝘪𝘭𝘢𝘯. 𝘚𝘦𝘣𝘢𝘣, 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘵𝘪𝘯𝘥𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢. 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘣𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘶𝘴𝘵𝘳𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘨𝘦𝘳𝘢𝘬 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘵𝘶𝘴 𝘵𝘢𝘭𝘪-𝘵𝘦𝘮𝘢𝘭𝘪 𝘰𝘭𝘪𝘨𝘢𝘳𝘬𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘫𝘦𝘳𝘯𝘪𝘩𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘵𝘢𝘫𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯. 𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘣𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘥𝘰𝘳𝘰𝘯𝘨 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘭𝘦𝘮𝘣𝘶𝘵𝘢𝘯.
𝘗𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘣𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘮𝘢𝘬𝘴𝘶𝘥 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘴𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢𝘯, 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘩𝘦𝘯𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘶𝘯 𝘳𝘶𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘣𝘦𝘥𝘢𝘢𝘯. 𝘛𝘦𝘭𝘪𝘯𝘨𝘢 𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩-𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘥𝘪𝘱𝘢𝘬𝘢𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯. 𝘠𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨-𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘵𝘪𝘢𝘯. 𝘚𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘦𝘥𝘢, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘴𝘢𝘶𝘥𝘢𝘳𝘢, 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘣𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨. 𝘚𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪, 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘳𝘭𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘯𝘢𝘮𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘦𝘥𝘦𝘸𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯.
𝘏𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘥𝘦𝘸𝘢𝘴𝘢𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘯𝘤𝘶𝘱 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘪𝘯𝘢𝘮𝘪𝘬𝘢 𝘥𝘪𝘴𝘬𝘶𝘴𝘪 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘍𝘰𝘳𝘶𝘮 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶 𝘙𝘢𝘺𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘬𝘶𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘫𝘢𝘮 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘪, 𝘔𝘪𝘯𝘨𝘨𝘶, 9 𝘈𝘨𝘶𝘴𝘵𝘶𝘴 2020. 𝘏𝘢𝘥𝘪𝘳 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘥𝘪𝘴𝘬𝘶𝘴𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘢𝘯𝘢𝘬-𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶 𝘭𝘪𝘯𝘵𝘢𝘴 𝘨𝘦𝘯𝘦𝘳𝘢𝘴𝘪. 𝘈𝘥𝘢 𝘤𝘦𝘯𝘥𝘦𝘬𝘪𝘢𝘸𝘢𝘯, 𝘫𝘶𝘳𝘯𝘢𝘭𝘪𝘴, 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘴𝘪, 𝘮𝘢𝘯𝘵𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘫𝘢𝘣𝘢𝘵 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘮𝘢𝘩𝘢𝘴𝘪𝘸𝘢. 𝘋𝘪𝘴𝘬𝘶𝘴𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘪𝘨𝘢𝘨𝘢𝘴 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘳𝘦𝘴𝘱𝘰𝘯𝘴 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘳𝘦𝘢𝘭𝘪𝘵𝘢𝘴 𝘬𝘦𝘵𝘦𝘳𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬𝘢𝘥𝘪𝘭𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘥𝘪 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶 𝘙𝘢𝘺𝘢, 𝘗𝘳𝘰𝘱𝘪𝘯𝘴𝘪 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶 𝘜𝘵𝘢𝘳𝘢.
𝘏𝘢𝘮𝘱𝘪𝘳 75 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢, 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶 𝘵𝘢𝘬 𝘬𝘶𝘯𝘫𝘶𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘫𝘢𝘩𝘵𝘦𝘳𝘢. 𝘗𝘢𝘥𝘢𝘩𝘢𝘭, 𝘢𝘭𝘢𝘮𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘭𝘪𝘮𝘱𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘬𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯. 𝘛𝘦𝘯𝘵𝘶 𝘴𝘢𝘫𝘢, 𝘳𝘦𝘢𝘭𝘪𝘵𝘢𝘴 𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘫𝘶𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘭𝘰𝘭𝘢𝘢𝘯 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢.
𝘒𝘦𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶, 𝘥𝘢𝘯 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢. 𝘚𝘦𝘯𝘵𝘳𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮𝘦 𝘱𝘦𝘮𝘦𝘳𝘪𝘯𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘳𝘨𝘰𝘯 𝘕𝘒𝘙𝘐 𝘩𝘢𝘳𝘨𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘣𝘪𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘳𝘰𝘬𝘯𝘺𝘢. 𝘋𝘪𝘵𝘢𝘮𝘣𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘵𝘢 𝘱𝘢𝘮𝘰𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘴𝘢𝘳𝘢𝘵 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘰𝘳𝘶𝘱𝘴𝘪 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘥𝘪 𝘱𝘶𝘴𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘦𝘳𝘢𝘩, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘳𝘢𝘬𝘺𝘢𝘵 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘩𝘶𝘴𝘶𝘴𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴 𝘴𝘦𝘯𝘨𝘴𝘢𝘳𝘢.
𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘪𝘵𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘍𝘰𝘳𝘶𝘮 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶 𝘙𝘢𝘺𝘢 𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘵 𝘣𝘪𝘤𝘢𝘳𝘢. 𝘛𝘦𝘯𝘵𝘶, 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘫𝘶𝘫𝘶𝘳 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘍𝘰𝘳𝘶𝘮 𝘪𝘯𝘪 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘮𝘦𝘸𝘢𝘬𝘪𝘭𝘪 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘜𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘯𝘢𝘩 𝘢𝘪𝘳 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶. 𝘈𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢. 𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯, 𝘧𝘰𝘳𝘶𝘮 𝘥𝘪𝘴𝘬𝘶𝘳𝘴𝘪𝘧 𝘵𝘢𝘥𝘪 𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘦𝘮𝘣𝘪𝘳𝘢𝘬𝘢𝘯.
𝘉𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮-𝘫𝘢𝘮 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘣𝘪𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘨𝘪𝘭𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯. 𝘗𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘪𝘬𝘢𝘱 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮. 𝘉𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯, 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘭𝘢𝘸𝘢𝘯𝘢𝘯. 𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 ‘𝘬𝘢𝘵𝘰𝘯𝘨’ 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘱𝘪𝘳𝘪𝘵 𝘣𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘥𝘪𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘯𝘪𝘴.
𝘈𝘬𝘩𝘪𝘳 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘯𝘪𝘴 𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘢𝘸𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘨𝘦𝘮𝘣𝘪𝘳𝘢𝘬𝘢𝘯. 𝘒𝘦𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘥𝘪𝘬𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘥𝘪𝘱𝘦𝘳𝘫𝘶𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯. 𝘈𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘪𝘬𝘢𝘱 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘦𝘭𝘦𝘨𝘢𝘯. 𝘉𝘪𝘢𝘳𝘭𝘢𝘩 𝘯𝘶𝘳𝘢𝘯𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘪𝘤𝘢𝘳𝘢, 𝘴𝘶𝘱𝘢𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘢𝘱𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘶𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢𝘢𝘯. 𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘺𝘢𝘢𝘯 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘔𝘢𝘭𝘶𝘬𝘶.
Catatan pendek yang saya kutip di atas adalah bagian dari memperkuat spirit dan komiten ‘Politik Baku Sayang’ dikalangan orang muda Maluku. Berbeda padangan, afiliasi dan gerakan politik, tapi tetap baku sayang. Saling mendukungnya generasi muda Maluku melalui tulisan semacam ini juga adalah bagian dari politik baku sayang itu.
Ambon, 20 Desember 2020
Ikhsan Tualeka
#catatanputratimur