Oleh: Hariqo
SABUROmedia, Jakarta – Saya banyak tidak setuju dengan HRS, saya juga bukan alumni 411, 212, namun saya harus adil, berikut beberapa fakta kepatuhan HRS.
Pertama, 15 Nov 2020, HRS patuh membayar denda 50 juta rupiah karena melanggar protokol kesehatan dengan membuat kerumunan saat akad nikah anaknya sekaligus peringatan maulid Nabi Muhammad SAW di Petamburan. Ia Sportif dan sadar sebagai warga biasa.
Ini tercatat sebagai denda terbesar dalam sejarah NKRI terkait pelanggaran protokol kesehatan. Apakah pembuat kerumunan di banyak tempat lain membayar denda?
Kedua, pada 2 Desember 2020, HRS mengadakan reuni secara online sesuai anjuran pemerintah.
Lalu karena khawatir kerumunan, HRS juga membatalkan rencana keliling Indonesia untuk menyampaikan revolusi akhlak. Nah ini yang menarik, HRS juga secara terbuka meminta maaf karena telah membuat kerumunan. Semoga pembuat kerumunan di banyak tempat lain juga melakukan hal yang sama.
Ketiga, pada 9 Desember 2020, HRS meminta pendukungnya bersabar menghadapi tragedi kemanusiaan meninggalnya enam anggota laskar FPI.
Sebagai manusia ia pasti marah, sedih dengan apa yang disebut oleh banyak pakar sebagai pembunuhan di luar putusan pengadilan itu (extra-judicial killing). Namun HRS menegaskan akan mengikuti prosedur hukum yang berlaku.
Saya mengikuti seluruh pemberitaan dan mengamati pembicaraan di media sosial tanpa henti selama tiga hari terakhir.
Pembenci HRS berkurang karena bersimpati dan hormat pada korban dan keluarganya, sedangkan kelompok yang netral bersimpati pada HRS dan keluarga korban, ini soal kemanusiaan. Secara umum warga mencintai institusi POLRI dengan menginginkan evaluasi atau perbaikan.
Saya juga menonton banyak video terkait meninggalnya enam anak muda penjaga HRS. Di dalam video2 itu tergambar keyakinan yang sangat kuat pada sila pertama Pancasila, “Tuhan melihat semuanya”.
Saya terharu, di dalam video2 itu selalu ada ajakan menahan diri dan menyerahkan penyelidikan pada tim independen yang jujur.
Terakhir saya melihat video seorang Ibu, sambil menangis sedih karena meninggalnya enam pemuda pengawal HRS, ibu itu mengatakan “Islam tidak pernah mengenal dendam, Islam tidak pernah mengenal balas dendam, Islam adalah yang senantiasa rahmatan lil alamiin.
Mari kita doakan enam pemuda yang meninggal dunia tersebut husnul khatimah, ditempatkan di surga Allah SWT, kemudian keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan selalu dalam lindungan Allah SWT.
Bapak, Ibu, kita boleh tak sepaham dengan FPI dan HRS, tapi kita harus adil. HRS itu warga biasa, ia juga pernah dipenjara sampai dua kali (2003, 2008) tentu bukan karena kasus korupsi.
Yang belum pernah dipenjara justru para penghina HRS, walaupun hinaannya sudah sangat melampaui batas. Kalau HRS bilang siap mati itu artinya dia siap dikubur, siap menerima resiko perjuangannya, bukan berarti dia siap membunuh orang.
Dari silsilah jelas HRS memang keturunan Nabi Muhammad (Nusron Wahid, Mantan Ketum GP Ansor). Tapi HRS tidak merasa derajatnya di atas kita, sama sekali, salah ya HRS bayar denda. Apa ada HRS teriak “saya keturunan Nabi, masak Maulid Nabi di denda?”.
Teman-teman, musuh kita bukan FPI, POLRI, TNI, musuh kita kesenjangan sosial, kok satu persen orang di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional?, korupsi, kolusi, nepotisme, radikalisme, separatisme, kebakaran hutan, perusakan alam. Bangsa ini sudah pernah dirampok selama 350 tahun, dan sekarang masih dirampok, saat FPI dan POLRI ribut terus, maka para perampok itu terkekeh girang.
Bapak, Ibu, korupsi lobster bikin semua sedih, dan tolong bantu saya menjawab ini, dari semua negara yang terdampak COVID-19 di bumi ini, apakah ada yang meng-korupsi dana bansos untuk rakyatnya?. Mengapa HRS yang sudah membayar denda, meminta maaf secara terbuka masih dikejar seperti koruptor atau teroris?.
HRS hanya jadi penyambung lidah dari organisasi mahasiswa dan kelompok intelektual yang lama bungkam. Jujur saja, saya melihat selama tiga hari kemarin, hilang kampanye anti politik uang di pilkada, sementara 931 korporasi berafiliasi dengan kandidat di pilkada (Data Tempo dan Auriga Nusantara). Ngeri ini bung, kalau pengusaha jahat terus mengontrol kepala daerah, oligarki menang terus.
Bapak, ibu yang merasa paling Pancasila, kita semua sudah paham NKRI dan Pancasila sudah final, negara ini untuk semua suku, agama, dll. Jangan mengajarkan Pancasila kepada orang yang sudah mengamalkan bahwa kepentingan nasional di atas kepentingan dirinya.
Marilah fokus pada masalah penting saat ini, yaitu penanganan covid, pemulihan ekonomi. Penggunaan buzzer untuk menyerang FPI justru menurunkan kredibilitas, gunakan dong buzzer2 itu untuk diplomacy (social media diplomacy); pertahanan negara, melawan buzzer para koruptor. Gunakan akun-akun buzzer itu untuk pariwisata yang kalah terus sama Thailand, Singapura, Malaysia, dll.
Saya setuju dengan ide dialog dari Emha Ainun Nadjib, mengapa? Kontribusi Cak Nun banyak sejak muda, ia juga tokoh reformasi yang ikut meminta Presiden Soeharto lengser, dan setelah itu Cak Nun menghilang, semua jabatan yang digaji APBN ditolaknya, Cak Nun tak ada kepentingannya. Listrik dan air di rumahnya dari uang pribadi.
Bayangkan situasi terburuk jika terjadi konflik horizontal. Tidak ada yang diuntungkan. Kita semua akan rugi, dan butuh waktu lama untuk pemulihan psikis. Ayolah para pemimpin, baik pemimpin yang dibayar oleh uang rakyat maupun pemimpin yang dihormati umat, tolonglah salinglah berkomunikasi. Bukan pelucutan senjata yang menyebabkan perdamaian, tapi pelucutan kebencian dari hati kita semua.
Mari cek hati kita, apakah sudah adil atau belum, sebelum kita menuduh hati orang lain penuh kebencian?. Alfatihah untuk enam pemuda, terima kasih untuk para aktivis yang tidak dibayar, terima kasih untuk Bang Ari Yusuf Amir, terima kasih untuk untuk Bang Fadli Zon dan sedikit anggota DPR, DPRD yang mengawal demokrasi kita.
Untuk mereka yang dipilih dan digaji karena demokrasi, mengapa diam ketika demokrasi terancam.
Terima kasih.