Oleh : Ben Anpian
SABUROmedia, Ambon – Mesti diakui bahwa dalam realitas kita bernegara, perlindungan terhadap hak menyampaikan pendapat di muka umum masih jau panggang dari api. Negara dengan stengah hati menyediakan ruang nyaman bagi setiap orang atau kelompok menggunakan haknya untuk berdemonstrasi, lenih-lebih menutup ruang kebebasan tersebut jika pesan dan maksud yang mau disampaikan bertolak belakang Sembilan puluh derajat dengan kehendak dan tujuan negara. Dengan paksaan dan pengabaian terhadap hak-hak sipil negara dengan sengaja membatasi kontrol publik atas setiap kebijakan yang negara buat.
Dalam catatan sejarah bangsa, penggunaan hak konstitusional warga negara dalam bentuk demonstrasi tidak pernah semulus apa yang tertuang dalam Konstitusi dan aturan turunanya. Setiap gerakan rakyat dan gerakan mahasiswa pada zamannya harus menjadi martir sebagai hadiah atas apa yang diperjuangan. Seakan-akan sudah menjadi tradisi dalam menghalau membesarnya gerakan rakyat, setiap rezim menggunakan pola yang sama dengan apa yang dipraktekan Soeharto saat Orde Baru berkuasa: Penculikan, teror, Intimidasi hingga yang lebih kejam, Membunuh!
Dalam perjalanan menentang kediktatoran Orde Baru, ada bait khusus yang dituliskan sejarah tentang berlumurnya darah orang-orang berpikiran kritis di tangan Soeharto dan militernya, bagaimana teror dan intimidasi dilancarkan terhadap gerakan rakyat dan gerakan mahasiswa, bagaimana kampus di larang kritis dan membicarakan ketidakadilan adalah barang tabu dan mahal yang harus dibayar dengan nyawa. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa kebenaran itu tunggal milik penguasa, pikiran kritis adalah barang langkah. Represifitas, teror dan intimidasi adalah upaya pembungkaman terhadap gerakan, yang akibatnya bukan hanya memar atau pecah pelipis tetapi bisa mengakibatkan mati. Yang masih segar di ingatan adalah Peristiwa Penembakan trisakti telah membawa Elang Mulia Lesmana dan ketiga kawannya pergi dan tidak akan pernah kembali. Peristiwa Semanggi telah menyayat pilu hati orang tua Wawan dan korban meninggal lainnya yang terkena tima panas (BBC News.12/05/2018), hingga Penculikan 13 Aktivis yang keberadaannya masih menjadi misteri hingga saat ini.
Setalah 22 Tahun Reformasi bergulir tindakan represifitas dan intimidasi negara melalui aparatusnya terhadap gerakan rakyat terus berulang. Baru-baru ini yang paling menyita perhatian Publik adalah membesarnya gerakan #reformasidikorupsi. Pada kurun waktu September hingga Oktober 2019 tumpahrua ribuan orang di jalan-jalan. Puluhan orang luka-luka dan memar serta ada yang meninggal terkena tima panas aparat, korbannya adalah Randi, mahasiswa Univesitas Halu Oleo kendari dan 4 orang lainnya yang memprotes negara atas semua RUU yang dianggap bermasalah.
Pada Desember 2019 lalu 4 mahasiswa UNKHAIR Ternate menggunakan hak konstitusionalnya dalam melakukan demonstrasi menuntut penyelesaian kasus HAM di Papua dan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua Barat. Padahal isian dari aksi damai tersebut adalah mengungkapkan fakta tentang intimidasi, tindakan rasial dan rangkaian pembunuhan yang terjadi di Papua Barat. Tapi pengungkapan fakta itu diperhadapkan dengan SK. D.O, yang justru telah mencederai nilai-nilai kritis yang hidup di dalam kampus.
Memang SK D.O saja belum menunjukan ke-Soeharto-an Rektor UNKHAIR, tapi tidak habis di intimidasi lewat SK. D.O, Berselang 4 hari SK. D.O diterbitakn, bersama aliansi kampus 4 orang mahasiswa ini mendapatkan represi dari preman kampung setempat dan security kampus setelah melayangkan protes ke Gedung Rektorat. Ada yang memar dan beberapa diantaranya luka hingga pelipisinya bersimbah darah.
Setelah upaya persuasif dan dialog ditempuh, sebulan lebih kampus tidak juga memberi kejelasan terkait status 4 orang mahasiswa tersebut, aksi mogok makan kembali dilakukan oleh 4 mahasiswa yang di D.O. Ke-4 mahasiswa tersebut berjemur dibawah terik matahari dengan membawa poster bertuliskan “kami ber-4 masih mau kuliah dan selesaikan Pendidikan di Unkhair”. Pada saat yang sama represi dari pihak kampus ternyata belum selesai seorang security mendatangi ke 4 mahasisa tersebut dan merapas poster mereka lalu merusaknya. (tirto.id.04/10/2020). Perjuangan ke-4 Unkhair tersebut berlanjut dengan mengajukan Gugatan terhadap Rektor UNKHAIR ke PTUN Ambon. Gugatan ke-4 Mahasiswa Unkhair di tolak. Hingga saat Tulisan ini dibuat Ke-4 mahasiswa tersebut masih berjuang mengajukan banding terhadap PTUN Ambon.
Di Universitas Kristen Indionesia (UKI) Paulus Makassar aksi mahasiswa tak luput dari kesewenang-wenangan kampus. 28 Mahasiswa di D.O dengan alasan yang sama, karena berdemonstrasi damai menolak peraturan rektor tentang Organisasi mahasiswa (ORMAWA) yang dinilai membatasi aktivitas dan kegiatan mahasiswa di dalam kampus. Sebelumnya pada Januari 2019, 4 mahasiswa IAIM Sinjai, Sulawesi selatan di D.O karena mempertanyakan anggaran yang tidak transparan dan pembayaran kartu ujian yang terlalu mahal. Yang paling baru adalah D.O terhadap mahasiswa Universitas Nasional yang melakukan aksi memprotes pengurangan biaya kuliah pada 13 Juli 2020. (Tempo. 13/06/2020)
Sebaran kasus pemecatan atau Drop Out (D.O) dari kampus sebagai perpanjangan tangan dari negara terhadap mahasiwa yang terjadi dibeberapa kampus diatas cukup memberi penjelasan bagi kita tentang buruknya institusi pendidikan di kampus. Kritik atas status qou negara bukan lagi dianggap sebagai upaya menjernihkan pikiran dan kebijakan demi berjalannya pemerintahan yang baik, sebaliknya dituduh tidak patuh hukum, mengusik keamanan bahkan dianggap memecah persatuan. . padahal tradisi dunia akademik adalah kebenaran ilmiah sebagai mahkota ilmu pengetahuan dan kebebasan untuk mengungkapkannya absah setidaknya menurut hukum. Jaminannya bisa dilacak di setiap peraturan perundang-undangan terkait, mulai dari Konstitusi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan menteri bahkan Statuta Kampus.
Salah satu bentuk dari pengaplikasian kebenaran Ilmiah adalah pengabdian terhadap masyarakat, hal itu ditegaskan dalam tridarma perguruan tinggi sebagai semboyan tiap lembaga pendidikan tinggi di republik ini. Ada macam bentuk pengabdian terhadap masyarakat, salah satunya adalah memprotes kebijakan negara dalam bentuk aksi demonstrasi
Dengan begitu bacaan kita tidak bisa mengaburkan gejala-gejala diatas dengan membuat perbandingan bahwa mahasiswa Unkhair, Mahasiswa UKI Paulus dan Mahsiswa IAIM itu tidak ditembak mati. benar bahwa hanya penganiayaan, tetapi penganiyaan itu harus dibaca sebagai gejala represi yang sama dengan motif mempertahankan Status quo yang jika dipaksakan nasibnya bisa sama seperti seperti Randi dan 4 orang lainnya. Sehingga terang bagi kita memberi penjelasan kaitanya dengan situasi objektif hari ini bahwa pola represif dan intimidasi terhadap gerakan rakyat masih dibawa bayang-bayang Orde Baru dengan rezim otoriternya, bahkan di dunia akademikpun tak luput dari represi dan intimidasi.
Memang kita telah menikmati perjuangan gerakan ’98 yang memenangkan demokrasi, sekalipun negara menyediakannya dengan setengah hati. Mesti diakui bahwa gejala negara menindas itu masih lalu lalang disekitaran kita, gejala itu ditandai dengan ketakutan akan lahirnya pikiran-pikiran kritis yang memprotes ketidakbenaran negara. Untuk menghalau kekritisan mengungkapkan kebenaran, negara menjawabannya dengan teror, intimidasi bahkan pembunuhan
Zaman berganti, 32 tahun pikiran kritis mendapati tempat yang paling gelap di era Soeharto, gerakan reformasi ‘98 menjernihkannya dengan perlawanan. Seoharto Tumbang, pikiran kritis mulai tumbuh dan berseleweran dimana-mana. Bukan hanya di kampus di gang-gang kecil tidak ada lagi bisik-bisik tentang ketidak adilan, orang berani berteriak tentang bejat dan kejamnya rezim otoriter Soeharto. Tetapi yang terlupakan adalah watak Orde Baru: Penculikan, teror, Intimidasi hingga yang lebih kejam, Membunuh! bisa hidup dibenak rezim apa saja dan menindas siapa yang tidak dia kehendaki
Atas nama sejarah dan sebagai pengingat untuk gerakan mahasiswa dan semua gerakan rakyat lainnya. Tuliskan “PERINGATAN” disetiap benak kita: Sisa-sisa Orde baru masih ada dan berlipat ganda. (**)