Oleh: Nardi Maruapey (Wasekum PA HMI Badko Mal-Malut)
SABUROmedia, Ambon – Hiruk pikuk pilkada serentak diseluruh Indonesia yang akan jatuh pada tanggal sudah mulai terasa. Pilkada kali ini tentu akan terasa sedikit berbeda, sebab dilaksanakan di masa pandemi dari Covid-19. Sebuah masa di mana aktivitas manusia sering dibatasi secara sosial untuk menghindari virus yang hampir seluruh umat manusia tidak tahu keberadaannya plus tidak lagi percaya dengan Covid-19.
Dimasa pandemi hampir semua tatanan kehidupan manusia berubah. Banyak aturan diterapkan, kegiatan yang mengundang keramaian tidak diperbolehkan atau paling tidak dibatasi. Sehingga proses tahapan pilkada mengalami kemacetan atau ditunda untuk sementara waktu. Hal ini tentu berimplikasi pada proses pilkada secara teknis diantaranya: 1) tertundanya waktu pelaksanaan pencalonan, pemilihan, dan perhitungan suara. 2) kampanye akbar di tempat umum dan terbuka seperti biasanya yang akan dilakukan setiap calon/kandidat dapat dipastikan tidak bisa lagi terlaksana karena mengundang keramaian. 3) pergantian kepemimpinan baru yang dinanti rakyat agak terlihat terlambat karena tertundanya waktu pilkada sebagaimana poin (1).
Semua ini akibat dari adanya pandemi corona dan aturan-aturan yang diterapkan demi menghindari virusnya. Tetapi hambatan yang dihadapi yang diakibat pandemi Covid-19 tidak akan menurunkan kualitas demokrasi bangsa kita pada momentum pilkada untuk memilih pemimpin baru dan yang tujuan-tujuan lainnya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa pilkada merupakan hajatan politik lima tahunan yang diadakan untuk memilih pemimpin baru secara langsung, bebas, dan terbuka pada setiap daerah baik itu provinsi, kabupaten maupun kota. Pilkada merupakan praktek dari konsep demokrasi yang dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya pemimpin daerah yang kemudian terpilih idealnya harus terlahir dari kehendak dan suara rakyat.
Lebih dari itu harus juga memahami betul pikiran dan kemauan rakyat atau secara langsung berasal dari rakyat, dipilih oleh rakyat bukan karena kecurangan dari suatu aturan atau karena sistem yang dikuasai, dan bekerja untuk kepentingan rakyat, tidak sebaliknya hanya mementingkan kepentingan kelompok tertentu saja.
Memang harus diakui ditengah dinamika dan sistem demokrasi di negara kita yang cenderung pragmatis dan materialis sehingga sangat sulit mencari pemimpin seperti yang diinginkan. Sebab sosok atau calon pemimpin muncul ketika momentun-momentun politik kemudian masih mengandalkan siapa yang memiliki modal materi (money), berkuasa, ketenaran, dan yang lain. Bukan karena prestasi, kapasitas, dan rekam jejak. Ini fakta tapi sekaligus kebobrokan yang masih mewarnai perjalanan berdemokrasi kita.
PEMIMPIN IDEAL
Secara alamiah telah diketahui bahwa manusia pada dasarnya adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Namun perkembangan yang terjadi kemudian sehingga menempatkan manusia sebagai makhluk yang akan selalu berinteraksi dengan sesamanya maupun dengan lingkungannya. Dalam istilah Aristoteles manusia itu “Zoon-Politicon” atau makhluk sosial. Dari situlah timbul percakapan sekaligus pendefenisian baru tentang makna seorang pemimpin yang terdiri dari pemimpin masyarakat, pemimpin kelompok, bahkan pemimpin negara.
Pemimpin merupakan keniscayaan yang tidak bisa dilepas pisahkan dari realitas, karena memimpin dan dipimpin merupakan bagian dari kehidupan. Lalu bagaimana pemimpin seharusnya? Jika pertanyaan semacam ini tertuju pada Stalin, Mussolini, Adolf Hitler, Soeharto, dan semua diktator kelas kakap, tentu mereka akan menggunakan tangan besi untuk berbicara kepada rakyatnya.
Tetapi, jika pertanyaan itu dilontarkan kepada sorang Mahatma Gandhi, maka ia akan menjawab, “I suppose leadership at one time mean muscles, but today it means getting alone with people.” (pada suatu saat, kepemimpinan berarti otot. Namun, pada hari ini, maka kepemimpinan adalah berbaur dengan semua orang). Itu kata Gandhi ketika sesaat setelah ia mengonsolidasikan rakyat India untuk menentang penjajahan Inggris, yang kemudian dikenal dengan Gerakan Swadesi.
Pada diskursus politik dan demokrasi pemimpin atau kepemimpiman sering diartikan sebagai teknik, cara, gaya, dan strategi seorang pemimpin dalam mempengaruhi orang lain dalam proses pencapaian tujuan. Pemimpin dalam ruang politik dan demokrasi akan terlahir dari sistem pemilu/pilkada untuk dipilih dengan jalan yang demokratis. Secara subjektif setiap orang mempunyai kriteria yang diinginkan untuk memimpin daerah yang ditempatinya. Sehingga ada baiknya dan dengan tidak menganggap apa yang dinarasikan ini benar, namun hanya perlu untuk kita saling berbagi dan mengingatkan tentang bagaimana pemimpin ideal itu harus muncul dalam setiap hajatan politik pilkada.
Dalam hal ini pemimpin ideal yang dimaksud adalah: Pertama, seorang pemimpin–apalagi sekelas calon pemimpin daerah harus punya isi kepala–lebih menarik lagi memiliki gagasan dan konsep dalam mengembangkan daerahnya untuk dipublikasikan ke masyarakat luas. Kecerdasan pemimpin harus ada dari parameter gagasan yang bisa diukur bersama. Kedua, mampu berpikir rasional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimipin. Sehingga dengan begitu berbagai tindakan yang diambil akan bermanfaat dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Ketiga, bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sebagai bagian dari rejam jejak pemimpin masa depan. Tidak boleh pribari dengan karakter korup–lebih mementingkan kelompok dari pada kepentingan bersama dijadikan pemimpin sebuah daerah. Sebab itu adalah malapetaka bagi rakyat dan daerah itu. Keempat, pemimpin kebal kritik yang akan selalu datang sebagai bagian dari dinamika dan dialektika demokrasi. Pemimpin harus yakin sungguh bahwa kritik merupakan sesuatu yang membangun.
Kelima, punya visi berupa program-program pembangunan untuk membangun daerah baik secara fisik (infrastruktur) maupun non fisik (suprastruktur)–yang terpenting adalah punya visi untuk membangun sumber daya manusia. Keenam, dan yang terpenting tidak membentuk tirani dan dinasti dalam sistem demokrasi ketika terpilih menjadi pemimpin di daerah.
MEMBUNGKAM HEGEMONI
Satu lagi yang menjadi harapan bersama kita sebagai rakyat yang punya andil besar dalam suksesi agenda demokrasi pemilu berdasarkan konstitusi (kekuasaan berada ditangan rakyat) adalah bagaimana bisa muncul pemimpin yang punya ambisi untuk membungkam hegemoni para pemodal yang selalu berperan untuk memberikan ongkos politik ketika proses pemilu/pilkada berlangsung di Indonesia.
Biasanya dan bukan menjadi sesuatu yang tabuh lagi bahwa kalau dalam setiap agenda pemilu/pilkada akan ada banyak terselip agenda-agenda siluman mengatas-namakan para cukong; oligarki; pemburu rente. Biasanya agendanya hanya seputaran bagaimana mendapatkan imbalan dari seberapa banyak biaya yang dikeluarkan ketika membayar ongkos kampanye. Ini mainan para pemodal yang hanya memanfaatkan demokrasi demi memenuhi kemauan jahat mereke.
Itu artinya para calon pemimpin atau kita sebut kandidat mesti membangun tembok pemisah dan berkompetisi secara mandiri dalam pertarungan pilkada. Ruang gerak kelompok tersebut mesti dihilangkan. Sedangkan satu-satunya tugas rakyat adalah memenangkan demokrasi lewat hak suara yang diberikan buat pemimpin yang benar dan tepat. (**)