Oleh: Dr. Nasaruddin Umar
SABUROmedia, Ambon – Saat kebijakan new normal tidak juga membuat pandemi covid-19 melandai Presiden Jokowi tanggal 20 Juli 2020 kembali mengeluarkan paket kebijakan baru dalam penanganan Covid-19 yakni Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease-2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Apa sebetulnya pertimbangan logis baik rasio legis maupun rasio residendi keluarnya Perpres ini dan bagaimana implikasinya di tengah masyarakat.
Ditengah kehawatiran terjadi resesi menlanda sejumlah negara seperti Singafura, Korea Seatan dikabarkan telah mengalami resesi akibat pandemi Covid-19. Detikfinance.com(23/7/2020) merilis, ekonomi Korea Selatan jatuh ke dalam resesi pada kuartal II tahun ini. al ini disebabkan adanya penurunan paling dalam selama dua dekade dari sisi ekspor. Bank of Korea mengatakan ekonomi Korsel menyusut -3,3%. Itu adalah kontraksi paling tajam sejak kaurtal pertama 1998 yang disebab pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran virus. Hal itu membuat kinerja pabrik lumpuh.
Perpres ini barangkali sebagai langkah mitigasi dibidang kesehatan dan perekonomian untuk mencegah Indonesia mengalami resesi sehingga alternatif kebijakan dilakukan untuk mendorong aktifitas perdagaangan ekpor-impor dan transformasi ekonomi nasional.
Seberapa efektif pendelegasian kekuasaan pemerintahaan dari tangan Presiden kepada sejumlah menteri melalui Komite Kebijakan dan Satgas untuk menyusun kebijakan penanganan dan pemulihan ekonomi nasional, seolah mengulirtkan bola liar kebijakan yang tidak lagi berpijak pada basis konstitusionalitas dan perundang-undangan yang jelas.
Secara umum jika ditelisik lebih jauh potret kebijakan baru ini menggambarkan adanya dua keadaan hukum baru dalam penanganan Covid-19 di Indonesia pertama perubahan nomenklatur struktur organisasi penanganan dan penanggulangan covid dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 menjadi Komite Kebijakan dan dua unit Satuan tugas (satgas) yakni Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dan Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional kedua pengabilalihan tugas dan fungsi serta pembubaran sejumlah lembaga pemerintahan oleh Komite Kebijakan dan Kementerian terkait.
Dibentuknya Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional menunjukkan kebijakan negara akan dilakukan untuk kesetimbangan bagi kesehatan rakyat dengan kesetimbangan pemulihan dan transformasi ekonomi nasional.
Sebab melihat judulnya saja perpres ini memberi kesan pertama bahwa legal policy kebijakan pemerintah Jokowi mengarah kepada paradigma penanganan dua sisi garis kebijakan dalam satu kesatuan legesi dalam menghadai corona virus, ini merupakan satu paket kebijakan dengan dua sisi atau dua aspek penanganann yang tidak terpisahkan pertama memulihkan aspek ekonomi dan menangani Corona virus itu sendiri.
Berdasarkan konsiderans menimbang huruf b Perpres 82 tahun 2020 yang berbunyi bahwa penanganan pandemi Corona Virus Disease-2019 (covid-19) tidak dapat dipisahkan dari upaya pemulihan perekonomian nasional karena dampak pandemi Virus Disease-2019 (covid-19) telah menyebabkan penurunan berbagai aktivitas ekonomi yang membahayakan perekonomian nasional. Ini memberi pesan kuat bahwa secara sosiological grondslag aksentuasi kebijakan pemerintah penekanannya pada aspek ekonomi dan virus itu sendiri. Hal ini dipertegas dalam poin c perpres ini bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, penanganan Corono Virus Disease-2019 (Covid-19) dan pemulihan perekonomian nasional harus dilakukan dalam satu kesatuan kebijakan strategis, yang terintegrasi dan tidak dapat terpisah.
Pertanyaan kemudian yang bisa muncul bagaimana nasib rakyat Indonesia dengan lahirnya Perpres ini apakah corona virus bisa segera diatasi atau justru akan semakin meningkatnya penularan virus ini, jangan sampai ini hanya ganti kebijakan namun nasibnya sama seperti kebijakan relaksasi melalui PSBB transisi dan new normal atau tatanan kehidupan baru justru menyebabkan terus meningkat angka penularan covid-19. Dan pertanyaan yang kedua bagaimana masyarakat menyikapi kebijakan Ini dan bagaimana pula implikasi hukum, sosial, ekonomi maupun dari sisi kesehatan itu sendiri.
Sebetulnya sejak awal sikap pemerintah yang tidak memilih opsi karantina wilayah namun lebih memilih opsi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) lalu muncul kebijakan New Normal serentak dikeluarkan oleh berbagai kementerian menunjukkan arah kebijakan pemerintah berusaha untuk menyelamatkan aspek kesehatan atau keselamatan jiwa dengan keselamatan ekonomi pada saat yang sama.
Membaca perpres ini nampak terang ada penyeragaman kebijakan yang bersifat sentralistik oleh Satuan Tugas atau satgas yang keputusannya berskala nasional dan mengikat semua kementerian, instansi dan pemerintah daerah.
Hal ini disebutkan dalam Pasal 10 secara tegas bahwa baik Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dan Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan yang bersifat mengikat kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan instansi pemerintah lainnya. Artinya penanganan covid-19 akan berskala nasional karena memiliki kekuatan mengikat semua instansi, kementerian maupun pemerintah daerah, sehingga ada keseragaman kebijakan dalam menghadapi covid-19. Ini tentu sangat berbeda dengan kebijakan PSBB yang sifatnya parsial hanya bagi daerah yang diizinkan, dan implementasi kebijakan, pengawasan dan pelaksanaannya pun banyak ditentukan pemerintah daerah masing-masing.
Namun jika melihak struktur komite kebijakan sebagai pengambil kebijakan tertinggi yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menunjukkan leading sektor tidak lagi di kementerian Kesehatan tetapi di perekonomian di menggambarkan aspek ekonomi nampaknya lebih diutamakan sebab menteri Kesehatan berada di posisi wakil ketua IV, demikian halnya ketua pelaksana dipegang Menteri Badan Usaha Milik Negara bukan lagi kepala BPNB, kepala BNPB sendiri dalam perpres ini memegang posisi ketua Satgas penanganan COVID-19.
Ada satu yang janggal keluarnya paket kebijakan ini tidak mencabut berlakukan status kedaruratan kesehatan dan bencana nasional non alam. Pada aspek yuridis dasar hukum yang digunakan perpres ini tidak menjalankan atau menyebutkan satupun dari 3 undang-undang organik dibidang kesehatan yang selama ini digunakan namun langsung menjalankan ketentuan Konstitusi Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yakni Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Maka boleh jadi PSBB, PSBB transisi tetap berjalan dengan suplemen kebijakan transformasi perekonomian nasional. Hal ini terlihat pada aspek pemerintahan daerah Implikasi hukumnya adalah Gubernur dan Bupati/Walikota membentuk Satgas berdasarkan pertimbangan dan rekomendasi ketua satgas penangana covid-19. Sedangkan satgas perkonomian nampaknya hanya ada di pusat. Artinya penanganan covid tetap berjalan di daerah yang ditangani langsung oleh satgas penanganan covid-19.
Ganti kebijakan dan struktur pengendalian Covid-19 semoga tidak semakin menimbulkan tumpan tindih kebijakan dan yang paling urgen adalah menjamin keselamatan rakyat. Hendaknya lebih diprioritaskan dari pada aspek perekonomian yang sesungguhnya masih dapat direcovery setelah pandemi ini selesai, sebab bagaimanapun ada banyak kelompok rentan yang sangat berdampak dari situasi ini yang lebih membutuhkan perhatian khusus dan tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah.
Tempo (19/7/2020) merilis hasil wawancara Menteri Keuangan Sri Mulayani terungkap bahwa pertumbuhan ekonomi nasional terus tergerus akibat pandemi Covid-19 diperkirakan ekonomi padakuartal kedua merosot drastis hingga minus 4,3 persen akibat berhentinya sebagian besar aktifitas masyarakat dalam tiga bulan terakhir, dengan investasi yang juga terus menurun. Apalagi DK Jakarta dan Jawa Timur dua provinsi yang menyumbang lebih 30 persen dari produk domistik bruto (PDB)
Lebih lanjut dikatakan di Indonesia sudah mencapai 80 ribu kasus positif dengan angka kematian 3.797 jiwa dengan episentrum pertama wabah di Jakarta yang konstribusi ekonomi mencapai 18 persen dari PDB, sedangkan Jawa Timur sebagai episentrum kedua menyumbang 14,9 persen terhadap PDB belum jika ditambah dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. PSBB berimbas pada kegiatan sosial-ekonomi, dampaknya cukup besar yang berakibat terjadi kemerosotan ekonomi pada kuartal pertama turun menjadi 2,97 persen. Sementara dari sisi komsumsi merupakan salah satu kontribusi yang besar dalam PDB yaitu 56,6 persen komsumsi terutama nonmakanan seperti transportasi, pakaian, perumahan, restoran dan barang elektronik merosok tajam terhadap komsumsi pengaruhnya mencapai 60 persen, jika komsumsi nonmakanan menurun komsumsi pasti mengalami kemerosotan, karena tingkat komsumsi merosost PDB juga merosot, kata Sri Mulyani ia menambahkan kalau kesehatan tidak pulih ekonominya tidak akan bisa pulih.
Karena itu kesetimbangan harus dikedepankan untuk menjaga penyelamatan ekonomi dengan tidak boleh menyampingkan aspek keselamatan jiwa manusia sebab bagaimanapun episentrum wabah masih berada di Pulau Jawa jika aktifitas ekonomi dibuka lebar bukan tidak mungkin akan berakibat terjadinya lonjakan angka positif Covid-19 di Indonesia, jika Komite Kebijakan dan Satgas salah mengambil kebijakan negara menjadi taruhannya dan rakyat pulalah yang akan menanggung beban lebih besar. Wallahuallam bissawaf. (**)