SABUROmedia, Ambon – Buah reformasi ialah otonomi daerah. Daerah otonom diawali dengan kecemasan akan melahirkan ‘raja-raja’ kecil. Suatu daerah, publik tidak merasakan bahagia utuh walaupun cara peralihan kekuasaan dilalui dengan demokrasi langsung (pilkada-pilkada serentak) dan lain sebagainya. Ketidak sadaran kita membuka tabir demokrasi lokal. Kekuasaan sistem Orde Baru mengimpor orang kuat lokal di daerah.

Bos lokal, ‘orang kuat lokal’ dan ‘predatoris’ menjadi fenomena yang mewabah di era reformasi. Padahal ini bukan prodak reformasi. Bos lokal melakukan berbagai strategi dapat bertahan hidup memperluas dan mempertahankan kekuasaan dengan aliansi segitiga akomodasi, aparat birokrasi negara dan politisi di tingkat lokal juga penegak hukum, Surplus memimpin.  

Indikator sosok orang kuat lokal Maluku Tengah, mudah diamati, memegang tampuk kepemimpinan Maluku Tengah selama ‘Setengah Abad’ lamanya (50 tahun) akumulasi 50 tahun anak, suami istri, kakak, adik, ponaan membangun sistem. Kontras penyematan dinasti-oligarki telah didedah melalui pisau analisis akademik (lihat tesis) demikian kondisi objektif. Simpulan publik setengah abad menghasilkan ‘orang kuat lokal – oligarki- rezim lokal juga dinasti pantas disematkan. 

Nadi Gerak Aktivis Maluku Tengah 

Kekuasaan dalam rentang setengah abad atau terlalu lama berpotensi semena-mena. Sudah dikupas habis oleh Selznik. Aliansi segitiga akomodasi penggunaan kekuasaan dalam pembentukan hukum pada sebuah negara bisa melahirkan dua karakter yang bertolak belakang, satu sisi karakter hukum yang menindas dilain sisi karakter hukum yang otonom. (lihat dasar politik hukum). Apa yang rakyat kecil harapkan bila, modal, pasar dan penegak hukum bersatu. 

Wajar menjadi civil society dalam negara demokrasi merupakan barang berkualitas.  Civil society di atas gelanggang demokrasi orang kuat lokal sangat alergi. Metode pembungkaman itu strateginya. Semakin berkembangnya sistem demokrasi justru makin membuat oligarki merajalela. Bukan karena sistemnya yang salah, melainkan penegakan hukum yang lemah. Telah ditulis oleh Jeffrey Winters, penegakan hukum di Indonesia ditegakkan ketika yang dihadapi rakyat lemah. Namun ketika yang dihadapi kaum oligarki, penegakan hukum seolah tak berfungsi.

Begitulah yang dilami aktivis Maluku Tengah. Mengeluarkan pendapat, mengkritisi pemerintahan  (demokratis) selama setengah abad bukan barang haram, kiranya halal hukumnya. Di kritisi batang tubuh kebijakan, pikaran pemerintahan, kesalahan dalam etik untuk diatur ulang sesuai moral publik serta muatan aturan.

Artinya pemahaman hasil dari demokrasi Jack Snyder demokrasi yang masi setengah-setengah, elit sering memanfaatkan kedudukan mereka dalam pemerintahan, perekonomian atau media masa untuk megorbankan nasionalisme dan menentukan wacana umum.

Padahal bangunan civil society sebuah visi gerakan sadar. Kita diharapkan berpartisipasi dalam pemerintahan menjadi bagian. Manusia makhluk politik bahwa kita harus responshif dan bertanggung jawab terhadap upaya kolektif kebangsaan secara keseluruhan.  

Penegakan Hukum Korupsi Maluku Tengah Tidak ada Kejutan 

Pertumbuhan korupsi selama ini berlangsung dan meningkat tanpa terkendali secara ‘built-in’ dalam jaringan birokrasi tanpa kecuali dibarengi oleh pengaruh lingkungan para penegak hukum (tahulah siapa para penegak hukum di Maluku Tengah). Lengkaplah sudah terbentuk suasana dan situasi dimana kehidupan negara dan masyarakat luas tidak lagi sesuai dengan suasana kebatinan dan amanah pendiri negara. 

Substansi reformasi hukum belum tercapai salah satunya adalah rasa keadilan masyarakat. Berbagai tontonan sandiwara hukum akhirnya mudah ditebak itu tak pelak menguatkan apatisme publik hingga tahap tertentu.

Selain dinilai belum adil dan independen dari kepentingan di luar hukum. Keputusan hukum di Indonesia (pusat hingga daerah) pun dinilai masih lekat dengan ‘logika uang’. Publik pun kian percaya, keputusan hukum bisa di beli dengan uang. Demikian jajak pendapat Adnan Buyung Nasution. Lebih parah lagi by order penegakan hukum kata Saldi Isra rasanya hambar. (lihat hukum yang diabaikan)    

Celakanya dalam praktik, substansi hukum yang lemah dengan komitmen sebagai penegak yang tidak memihak kepada agenda penegakan hukum. Tidak cukup disitu, substansi hukum yang bermasalah tidak hanya memudahkan melakukan segala bentuk penyimpangan, tetapi juga memberi kesempatan luas kepada penegak hukum untuk ‘menggorengnya’ sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Kalaupun orang kuat lokal terjerat dan putusan inracht itu kejutan rakyat, kejutan publik.  Setengah abad (50 Tahun) dinasti Maluku Tengah. Rotasi pucuk pimpinan institusi penegak hukum di Maluku Tengah terus bergantian. Selama ini tidak ada yang menggembirakan dalam  mengungkap dan putusan hukum korupsi.

Rentetan peristiwa  hukum korupsi tidak tersentuh. Public harus menyuplai vitamin, penegak hukum berhadapan dengan orang kuat lokal terasa ‘loyo’. Lain cerita dengan aktivis / civil society.   

Pengungkapan pengadaan kapal fiber Glass, dugaan korupsi APBD, Dana Akreditasi Puskesmas, Biaya Makan Minum, APBD 17 Miliyar dalil  salah pengetikan, Sarana Proyek Olahraga, Alkes. Semua peristiwa hukum  sampai saat ini gelap gulita. (diolah dari berbagai sumber). Penegakan hukum demikan jadinya masyarakat akan menaruh harapan kepada siapa? Justru aktivis dibungkam cara ini tentu akan menjadi ‘bom sosial’.

Semua peristiwa hukum ditiup oleh hembusan napas aktivis. Ironi justru aktivis dibungkam dengan kriminalisasi. Bukan cara baru untuk memutus nadi aktivis. Lebih baik stop berdemokrasi bila penegak hukum senyawa dengan oligarki. Isi kepala publik harusnya tersedia untuk menopang bangunan perjuangan. Objek sosial oligarki – penegak hukum senyawa. Ada aktivis hadir pada panggung sosoial menjadi ‘muazin bangsa’ selalu meneriakan kebaikan untuk publik. 

Lockean menyuarakan, harapan negara hadir hanya sebuah isme, fungsi utama negara menyediakan jasa (pelayanan publik) negara gagal apabila tidak kapabel dalam penegakan hukum, melindungi masyarakat, menjamin hak warga negara dan partisipasi politik, menjamin keamanan, memenuhi kebutuhan masyarakat dan fungsi sosial.

Sudalah, aktivis berwatak benar tahu cara pergi dan tahu caranya kembali. Saat ini kita tidak lagi diskusi di meja kopi. Tetapi harus mengumpulkan orang waras duduk bersila ‘bertahalil’ membaca doa politik, doa demokrasi, doa penegekan hukum di Maluku Tengah.(**)

By, Syawal (Direktur Utama INDEPENDENT PUBLIC WATCH (IPW)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *