Oleh : Yusmianto Wally (Ketum DPW APN Propinsi Maluku/Angkatan Muda Muhammadiyah Maluku)
SABUROmedia, Ambon – Secara hakiki Qurban itu mengandung dua unsur yakni unsur Ukhrai dan unsure Humanisme. Berangkat dari kata qurban itu sendiri berarti telah menjadi legitimasi secara syariah kepada ummat islam untuk menjalankan perintah Allah SWT dengan keikhlasan dan penuh dengan taqwa. Allah SWT telah mewajibkan nabi Muhammad SAW untuk berqurban, yang mana nabi Muhammad SAW merupakan Representasi bagi ummat islam. Allah perintahkan dalam QS AL- Kautsar Ayat 1-2. Yang artinya:
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah
Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini mengandung suatu makna sebagai printah mutlak kepada nabi Muhammad SAW agar menjadi legitimasi bagi ummat islam dalam menjalankan ibadah-ibadah ritualnya harus kembali kepada ibadah-ibada yang sifatnya muamalah. Sebagian ulama juga berpendapat bahwa setelah kita menjalan sholat maka harus dibarengi dengan pengorbanan kita sebagai hamba Allah karena disini membutuhkan keikhlasan kita dan pengorbanan kepada Allah SWT atas apa yang telag Allah titahkan kepada kita. Bisa kita lihat dewasa ini banyak dari kita yang mengerjakan sholat dan ibadah-ibadah yang bersifat ritualistik tapi masih banyak diatara kita yang tidak ikhlas untuk menjalankan apa yang diperintahkan selain perintah sholat pada kosekuensi logisnya bagi seorang hamba Allah selain menjalankan sholat maka ia juga harus berqurban, baik itu pengorbanannya secara fisik maupun nonfisik.
Dalam konteks sejarah, berkurban berarti refleksi atas ketulusan dan loyalitas Nabi Ibrahim terhadap perintah-perintah Allah SWT. Dalam konteks ini, mimpi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Ismail, merupakan sebuah ujian Tuhan, sekaligus perjuangan maha berat seorang Nabi Ibrahim yang diperintah oleh Tuhannya melalui malaikat Jibril untuk mengurbankan anaknya. Peristiwa itu harus dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang menunjukkan ketakwaan, keikhlasan, dan kepasrahan seorang Ibrahim pada titah sang pencipta.
Intelektual Muslim asal Iran, Ali Syariati, dalam bukunya ‘Hajj’, ibadah ritual Kurban bukan sekadar memiliki makna bagaimana manusia mendekatkan diri kepada Allah SWT tetapi juga mendekatkan diri kepada sesama manusia, terutama mereka yang tergolong sebagai kaum dhuafa dan marginal. Ali Syariati memaknainya sebagai sebuah perumpamaan atas kemusnahan dan kematian ego. Berkurban berarti menahan diri dari, dan berjuang melawan godaan ego. Qurban atau penyembelihan hewan sebenarnya adalah lambang dari penyembelihan hewan (nafsu hewani) dalam diri manusia. Ibadah Qurban juga memiliki pesan bahwa umat Islam diharuskan lebih mendekatkan diri dengan kaum dhuafa (kaum miskin) dan lebih mengutamakan nilai-nilai persaudaraan dan kesetiakawanan social.
Esensi Berqurban ditengah pandemic COVID-19
Esensi berqurban ditengah situasi yang tidak ada kepastian seperti ini dimana manusia ditimpa suatu musibah non alam dan manusia tidak bisa lari dari kenyataan ini bahwa manusia ketika dia masi mengikrarkan diri untuk hidup dipermukaan bumi maka kosekuensi dari kehidupannya itu ialah dia dicoba, dalam Al-Quran Allah menyatakan “ apakah kamu beriman kepada Allah sebelum kamu itu dicoba”. Jadi keimanan seseorang itu dapat bernilai disisi Allah SWT ketika ia dicoba dan hanya orang-orang pilihanlah yang lulus akan cobaan ini dan mendapatkan peridakat taqwa disisi Allah SWT. Qurban hari ini mengajarkan kita untuk menghibahkan diri kita kepada Allah dan menghibahkan diri kita untuk bermanfaat kepada orang lain. Dalam kondisi yang serba tidak pasti ini membutuhkan kita untuk dapat ber-qurban baik itu dengan materi maupun non materi yang sesuai dengan kemampuan kita masing-masing dengan ikhlas dari segi batinia kita sehingga kita bisa menajdi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Ditengah kondisi seperti ini Allah sedang menguji keiman kita dan sejauh mana kita bisa bermanfaat bagi orang lain sehingga Qurban tidak semata-mata hanya menyembelih hewan Qurban dan membagi daging Qurban, karena darah dan daging tidak sampai kepada Allah tetapi yang sampai kepada Allah ialah Takwa kita karna qurban itu selalu dekat dengan takwa, Qurban itu selalu dekat dengan keimanan berarti yang menjadi jembatan antara Qurban dan takwa ialah Keikhlasan. Dalam hal ini majelis tarjih dan tajdid Muhammadiyah memandang bahwa esensi berqurban itu bukan semata-mata menyembelih hewan Qurban tetapi esensinya ialah keikhlasan kita untuk ber Qurban Terhadap agama, bangsa dan Negara dengan kemapuan kita masing-masing.
Hari Raya Idul Qurban menjadi inspirasi kita bahwa kita harus semuanya bekerja keras, bekerja keras untuk negara, bekerja keras untuk warga, bekerja keras untuk kotanya, bekerja keras untuk kabupatennya, bekerja keras untuk lingkungannya. Bagi seorang aparatur pemerintah, spirit berqurban bisa dijadikan sebagai prinsip hidup dalam memberikan pelayanan publik terbaik dan menuju yang paling terbaik untuk masyarakat. Bagi seorang akademisi, pelajar dan mahasiswa, spirit berkurban bisa menjadi landasan dalam belajar, mengajar dan melakukan penelitian yang menghasilkan ilmu bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Momentum Qurban kali ini menuntut kita untuk benar-benar berkurban (berkorban). Artinya, berkurban bukan sekadar memenuhi panggilan syari’at (menyembelih hewan), melainkan juga karena kondisi riil bangsa kita yang masih sangat memperihatinkan. Betapa tidak. Beberapa tahun terakhir ini, kita bisa menyaksikan berbagai tindak kekerasan politik, radikalisme sosial, dan pelanggaran HAM, yang mengakibatkan ketakutan masyarakat, disintegrasi social dan sekarang yang kita hadapi bersama ialah bencana non alam (covid-19). Selain itu, penyelenggaraan manajemen hukum (proses peradilan), politik, dan ekonomi, juga amat dekaden terhadap kredibilitas publik. Kasus suap dan korupsi yang melibatkan pejabat negara adalah contoh konkrit betapa mereka yang bergaji tinggi masih doyan dan tega menyabet uang rakyat, sementara nan jauh di sana sebagian anak negeri ini menggelepar kelaparan akibat kemiskinan.
Masalahnya kini, apakah proses ritual-formal Idul Kurban, termasuk penyembelihan hewan benar-benar membuka kesadaran eksistensial umat? Atau, hanya sekadar membagi daging, lalu pasca pembagian, maknanya lenyap bergitu sirnanya kegiatan itu, sehingga tidak ada yang tersimpan dalam jiwa manusia terhadap nilai berharga dari kurban itu?
Kalaupun jawabannya yang kedua, maka rutinitas ibadah tahunan itu jelas tidak dapat dijadikan parameter dan patokan dalam pengaplikasian solidaritas sosial demi terwujudnya keadilan. Apalagi memperjuangkan terciptanya demokrasi ekonomi-politik di masa kini dan mendatang. Dari sini, dipandang amat mendesak menata dan mengkaji ulang pemahaman kita mengenai hakikat kurban.
Bila makna Qurban dibidik melalui kajian dialektika dan holistik (horizontal-vertikal), sejatinya bisa digunakan untuk pemberdayaan ekonomi kerakyatan, yang dalam konstelasi politik-ekonomi Indonesia belum beruntung. Misalnya, dengan mengelola hewan kurban yang telah diserahkan masyarakat untuk membentuk koperasi yang bisa membantu kredit tanpa bunga bagi wong cilik, atau memanfaatkan segala potensi masyarakat dan Negara untuk bersatu padu dalam memerangi COVID-19 di indonoseia secara massif. Qurban semacam ini tentu akan lebih bermakna kontekstual dan secara fungsional lebih bersifat konstan daripada sekadar makan daging hewan kurban 1-2 hari belaka.
Lebih dari itu, bagi kalangan elite ekonomi, harus bersedia mengorbankan ambisinya untuk tidak terus menerus memonopoli aset-aset ekonomi. Mereka harus bersedia berbagi rasa dengan para pengusaha menengah dan kecil, serta dengan orang-orang yang tidak memiliki aset dan akses ekonomi sama sekali. Tanpa pengorbanan seperti itu, tampaknya sulit diharapkan terjadinya keharmonisan sosial. Sebab, kesenjangan kaya-miskin akan kian melebar, dan pada gilirannya dapat menimbulkan disintegrasi sosial, bahkan disintegrasi nasional. Dalam kehidupan politik, para elite politik kita (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) hendaknya mau mengorbankan ambisi politik dan vested of interest untuk tidak menggunakan instrumen konstitusi sebagai legitimator gerakan politik kepentingan atau menggunakan kekuatan massa konstituen untuk dijadikan bemper politik demi ambisi pribadinya.
Para pejabat negara dan anggota dewan mestinya tidak mengorbankan hati nuraninya dengan mengubah lembaga tinggi negara itu menjadi semacam lembaga profesi, bisnis, ajang merebut kekuasaan, dan lembaga yang dianggap ‘aman’ untuk melakukan korupsi, suap, dan praktek haram lainnya.
Demikian juga para penegak hukum, termasuk KPK, mestinya harus berani mengorbankan dirinya untuk secara evolutif dan konsisten menegakkan the rule of law dan law enforcement terhadap pelaku extra-ordinary crime seperti korupsi dan suap, tidak tebang pilih. Walhasil, dalam konteks kekinian, pemaknaan kurban akan lebih relevan dan applicable bila bertopang pada unsur-unsur utama kemanusiaan, ketertindasan, keterbelakangan, ketidakadilan struktur sosial-ekonomis, dan kebiadaban rezim-rezim peradaban serta politik yang zalim. Inilah makna sejati ibadah kurban yang kontekstual yang harus dikedepankan dan diaktualisasikan dalam kehidupan kebangsaan kita dewasa ini dan masa datang.
Peran Media Dalam Berqurban di tengah Pandemi Covid-19 Pada kondisi seperti ini peran media sangatlah dibutuhkan dalam menyapaikan informasi yang actual dan terpercaya agar menghasilkan informasi yang berimbang kepada masyarakat dalam rangka menjaga psikologi masyarakat. Dalam hal ini, baik itu media masa maupun media social lainnya harus mampu mengkundisfkan kehidupan masyarakat lewat pemberitaan-pemberitaan yang relevan bukan terbalik menjadi sarana horror bagi masyarakat, karena ketika media menjadi sarana Horor bagi masyarakat yang terjadi adalah gangguan psikologis yang mendalam bagi masyarakat dan itu berpengaruh pada naik dan turunya sistim imun tubuh manusia. Senada dengan ini Allah Menyebutkan dalam Al-Quran “Hai Orang-Orang Yang Berimann Apabila datang kepadamu berita dari orang-orang fasik maka bertabayunlah”. dari firman Allah ini maka sangat penting bagi teman media untuk bertabayun atau mengkroscek kebenaran itu.
Kalau kita tarik dalam pengertian Qurban maka teman-teman media harus berani berqurban untuk menyajikan informasi yang berimbang kepada masyarakat demi menjaga stabilitas psikologi masyarakat, sebab yang paling sulit selain wabah covid-19 ini adalah mengobati psikologis masyarakat. (SM)