SABUROmedia, Jakarta – Jumlah pasangan calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 diprediksi akan meningkat. Pergelaran pilkada di tengah pandemi Covid-19 semakin memperkecil ruang interaksi sosial sehingga partai politik lebih memilih bakal calon yang sudah memiliki modal elektabilitas tinggi dan sumber daya kuat. Petahana dianggap memiliki modal tersebut.

Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Kaka Suminta saat dihubungi di Jakarta, Minggu (28/6/2020), mengatakan, pandemi mengakibatkan sumber daya yang dimiliki para pelaku politik di daerah semakin mengecil. Dengan pertimbangan modal yang minim tersebut, calon lawan lebih memilih mundur daripada berkompetisi.

Pandemi mengakibatkan sumber daya yang dimiliki para pelaku politik di daerah semakin mengecil. Dengan pertimbangan modal yang minim tersebut, calon lawan lebih memilih mundur daripada berkompetisi.

Apalagi, lanjut Kaka, pandemi semakin mempersempit ruang publik sehingga interaksi sosial juga menjadi sangat sempit. Atas dasar itu, parpol cenderung memilih petahana yang telah memiliki modal sosial dan ruang gerak yang lebih luas.

”Jadi, pandemi bisa memicu dinamika politik di daerah memunculkan calon tunggal. Dari sisi petahana sendiri, prediksi saya akan cukup banyak,” ujar Kaka.

Jumlah pasangan calon tunggal terus bertambah di tiga gelombang pilkada serentak. Tren ini dikhawatirkan akan kembali berlanjut di Pilkada 2020.

Pada Pilkada 2015 yang berlangsung serentak di 269 daerah, tiga daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal. Di Pilkada 2017, dari 101 daerah, 9 daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal. Jumlah itu meningkat di Pilkada 2018. Dari 171 daerah penyelenggara pilkada pada tahun itu, 16 daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal.

Tidak optimalnya proses verifikasi dan faktual dukungan calon perseorangan di tengah pandemi juga berdampak pada peningkatan calon tunggal.

Kaka menambahkan, tidak optimalnya proses verifikasi dan faktual dukungan calon perseorangan di tengah pandemi juga berdampak pada peningkatan calon tunggal. Selain itu, calon perseorangan juga kesulitan memobilisasi massa atau meminta orang untuk bersedia menyatakan dukungan. Akibatnya, mereka gagal maju berkontestasi di pilkada.

Adapun Komisi Pemilihan Umum mencatat adanya 96 bakal pasangan calon perseorangan atau independen yang berencana maju di Pilkada 2020. Pilkada 2020 digelar di 270 daerah.

 ”Kalau bisa 50 persen saja dari 96 yang lolos verifikasi, ini sudah bagus, ada calon alternatif. Dari 270 daerah, minimal ada 50 daerah yang ada calon perseorangan sehingga tak menjadi calon tunggal. Namun, kemungkinan ini sulit terjadi karena peluang mereka kecil akibat pandemi,” kata Kaka.

Jalur petahana

Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya menyampaikan, hampir semua partai mengandalkan pendekatan ilmiah dalam mengusung bakal pasangan calon, terlebih di tengah pandemi ini. Dia menyebut, jika hasil survei menunjukkan elektabilitas petahana rata-rata di atas 70 persen, itu sudah dipastikan menjadi calon tunggal.

”Rata-rata calon tunggal itu jalurnya petahana. Biasanya partai yang langsung datang. Melihat posisi, bukan lagi potensi. Posisi itu elektabilitas. Kita hidup dalam rezim elektoral. Kalau elektabilitas tinggi, orang juga biasanya malas melawan,” ujar Willy.

Menurut Willy, jika indeks performa petahana di atas 75 persen, itu dipastikan linier dengan elektabilitas. Yang tak sejalan dengan konsep itu hanya Basuki Tjahaja Purnama pada Pilkada DKI 2017.

”Itu satu-satunya anomali karena ada politik identitas,” ucap Willy.

Selain elektabilitas, menurut Willy, hubungan partai dengan petahana ikut memengaruhi pengusungan di pilkada selanjutnya. ”Biasanya, kalau hubungan petahana bagus dengan partai-partai, semua (kepentingan) diakomodasi, partai cenderung memilih (petahana) itu saja,” katanya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengatakan, tidak banyak kandidat yang bisa menyandang status calon tunggal. Sebab, itu artinya kandidat tersebut memiliki kinerja sangat baik di daerahnya serta elektabilitas sangat tinggi.

”Jadi, banyak calon penantang memperhitungkan untung dan rugi untuk maju sehingga memutuskan untuk tidak maju,” ucap Eddy.

 Alasan kedua, lanjut Eddy, partai politik beranggapan kandidat tersebut memiliki rekam jejak yang baik di daerahnya serta selalu kooperatif dengan parpol di daerahnya. Dengan begitu, kerja sama sudah terjalin dengan baik.

”Tak ada alasan bagi partai-partai tidak mendukung yang bersangkutan. Kalaupun ada lawan, tidak dari parpol, tetapi dari individu atau independen,” ujarnya.

Eddy pun memprediksikan jumlah calon tunggal akan meningkat di Pilkada 2020. Apalagi, sekarang beberapa kepala daerah memiliki kinerja baik, inovatif, dan diapresiasi masyarakat. Dia tak memungkiri bahwa potensi pengusungan calon tunggal dari kalangan petahana sangat besar.

”Rata-rata petahana atau keluarga dari petahana. Sebab, petahana itu sudah punya posisi yang baik, mungkin setelah itu mereka mengajukan anggota keluarganya untuk maju menggantikan petahana. Itu dijadikan langkah awal,” tutur Eddy.

Eddy berpendapat, di tengah pandemi ini, kemungkinan ada pasangan calon yang berpikiran bahwa lebih baik ”borong partai” ketimbang bertarung di pilkada. Sebab, itu akan jauh lebih praktis dan ekonomis.

Di tengah pandemi ini, kemungkinan ada pasangan calon yang berpikiran bahwa lebih baik ”borong partai” ketimbang bertarung di pilkada. Sebab, itu akan jauh lebih praktis dan ekonomis.

Namun, lanjut Eddy, sistem ”borong partai” itu juga tidak mudah karena partai tetap akan mempertimbangkan masalah rekam jejak pasangan calon tersebut.

”Jika yang bersangkutan tidak punya rekam jejak baik, tentu partai juga akan berpikir mending mengajukan orang lain. Namun, kalau orang sudah punya posisi yang betul-betul unggul dalam survei, partai pasti akan mendekat dan merupakan hal yang logis jika dia merangkul semua partai,” kata Eddy. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *