SABUROmedia, Jakarta – DPR menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Didalam Naskah Akademik disebutkan bahwa tujuan utama penyusunan untuk pembangunan karakter bangsa melalui penemuan kembali nilai-nilai dan pembumian Pancasila dalam pembangunan bangsa (hal. 97). Tujuan tersebut dapat dipahami karena selama ini ada jurang lebar antara idealitas dan realitas Pancasila. Pembudayaan Pancasila dalam multidimensi senantiasa menjadi tantangan. Pancasila memang perlu didorong menjadi way of life.
Bagi Majelis Nasional KAHMI, persoalannya RUU HIP secara substansi mengandung problematika. Didalamnya memuat berbagai penafsiran, asumsi, dan cara memahami Pancasila yang dapat mengoyak sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terdapat kesalahan fundamental dalam memahami dan menempatkan Pancasila dalam struktur RUU. Perlu jiwa kenegarawanan menyikapi RUU tersebut. Jika tidak, bangsa dan negara kita dapat mundur ke belakang memulai dari awal kembali.
Tantangan Legislasi
Filsafat dan Norma Fundamental Negara
Pancasila merupakan dasar filsafat negara (philosopische grondslag) dan norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm). Sebagai filsafat negara, Pancasila menjadi bintang penuntun pandangan hidup berbangsa dan bernegara (weltanschauung). Sementara itu, Pancasila sebagai norma fundamental negara, kedudukannya menjadi sumber dari segala sumber hukum negara atas konstitusi (staatsgrundgesetz), undang- undang (formell gesetz) dan regulasi lainnya.
Perumusan Pancasila dalam norma hukum, seperti yang dilakukan melalui RUU HIP menurunkan kedudukan Pancasila tersebut. RUU HIP mendegradasi kedudukan Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan norma fundamental negara. Pancasila kemudian menjadi bersifat instrumentatif dan objek pengujian yudisial (judicial review) di Mahkamah Konstitusi. Pancasila seharusnya menjadi batu uji, bukan objek yang diuji.
Tafsir Pancasila
Tafsir Pancasila harus mencerminkan keseluruhan sila Pancasila yang lima sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD 1945. Tafsir Pancasila tidak dapat direduksi sedemikian rupa dalam sila-sila tersendiri tanpa mengkaitkannya dengan sila yang lain. Pancasila juga tidak dapat diperas sedemikian rupa dalam sejumlah sila. Hubungan sila dalam Pancasila merupakan “satu tarikan nafas” yang saling terkait. Penafsiran Pancasila ada di dalam konstitusi.
Dalam RUU HIP, Pancasila diperas sedemikian rupa menjadi Trisila (sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan) dan Ekasila (gotong royong). Perasan sila Pancasila tersebut tidak hanya menyimpang dari maksud Pancasila dalam Pidato Sukarno pada 1 Juni 1945, lebih jauh lagi mengubah secara fundamental konsensus nasional Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945. Elaborasi penafsiran Pancasila yang memperkenalkan sendi pokok keadilan sosial dan ciri pokok trisila dan eka sila dalam RUU HIP juga mengubah Pancasila dari dasar filsafat negara dan norma fundamental negara menjadi kaidah politik. Berdasarkan pengalaman perjalanan kenegaraan kita, Pancasila kemudian menjadi alat kekuasaan yang digunakan secara semena-mena. Pancasila menjadi ideologi tertutup dan ditafsir secara monopolistik.
Konsensus Nasional
Pancasila yang mengikat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan Pancasila sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945. Mengubah Pancasila sebagaimana disebut dalam Pembukaan UUD 1945 sama dengan membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila merupakan titik temu kebangsaan (kalimatun sawa) dan kesepakatan luhur para pendiri bangsa. Sejak pertama kali dirumuskan, ide tentang Pancasila terus mengalami penyempurnaan dan penguatan. Adapun fase – fase penting rumusan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 adalah fase Kelahiran (1 Juli 1945), Perumusan (22 Juli 1945), Pengesahan (18 Agustus 1945), dan Penegasan (Pembukaan UUD RIS, Pembukaan UUDS, Dekrit Presiden 5 Juli 1959). Keseluruhan proses itu meneguhkan aspek penting dari Pancasila, yaitu merupakan karya kolektif bangsa dan konsensus nasional.
RUU HIP terlihat melahirkan Pancasila bentuk baru, padanan lain, menambah-nambah atau mengurangi Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mengenal keadilan sosial sebagai semata-mata sendi pokok Pancasila, tidak mengenal trisila atau ekasila sebagai ciri pokok Pancasila, dan sebagainya.
Kohesivitas Sosial
RUU HIP menghidupkan diskursus publik yang relatif baik. Publik setidaknya berdebat tentang ide bernegara yang dianut Indonesia, menggeser isu ruang publik yang selama ini penuh dengan narasi material, kebencian atas posisi politik atau pembagian kekuasaan, dan sebagainya. RUU HIP juga meningkatkan kepedulian dan tingginya komitmen berbagai elemen bangsa kepada Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Nalar publik menjadi sehat dan hidup. Aspek ini perlu dijaga dalam hal nilai intelektualitasnya.
Di sisi lain, RUU HIP menghidupkan kembali trauma masa lalu dan mengandaikan bahwa seolah-olah Negara Nasional Republik Indonesia belum selesai. Sejumlah elemen masyarakat kemudian melakukan penolakan dan aksi massa dengan menarik jarum jam sejarah pengalaman masa lalu untuk disiapkan menghadapi sesuatunya dengan sesama anak bangsa. Tidak dicantumkannya TAP MPRS No. XXV/MPRS/1996 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme, dalam pertimbangan RUU HIP telah mengeskalasi kemarahan yang seolah-olah ajaran/ideologi tersebut diizinkan hidup di bumi Pancasila. Dalam situasi tersebut, energi bangsa dipastikan terkuras dan proses kehidupan berbangsa akan menjadi tidak produktif. Kohesivitas sosial berpotensi menjadi retak yang jika tidak dikelola dengan baik dapat membahayakan negara.
REKOMENDASI
Majelis Nasional KAHMI berpandangan, demi menjaga keutuhan NKRI dan soliditas sosial serta menciptakan stabilitas negara yang sedang mengalami bencana pandemi Covid-19, berpandangan:
Pancasila sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945 adalah Final
Seluruh penyelenggara negara dan rakyat Indonesia untuk tetap teguh berpegang pada Pancasila dengan tata urutan dan kalimat sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai satu tarikan nafas, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Tidak ada Pancasila dalam versi lain, tidak ada perasan sila Pancasila, tidak ada satu sila lebih utama/menjadi inti dibandingkan sila lainnya. Pengabaian atas hal tersebut mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Membatalkan dan Mengeluarkan RUU HIP dari Prolegnas
Substansi RUU HIP mendegradasi Pancasila sebagai filsafat dan nilai fundamental negara, tafsir sepihak, merusak konsensus nasional, potensi kohesivitas sosial retak. Pembahasan lebih lanjut RUU HIP tanpa pemahaman yang baik tentang Pancasila sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945 dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, pimpinan DPR dan seluruh fraksi-fraksi partai DPR RI untuk mencabut, membatalkan, tidak melanjutkan pembahasan dan mengeluarkan RUU HIP dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
DPR RI dan fraksi-fraksi partai DPR RI hendaknya menyusun Prolegnas berdasarkan kepentingan prioritas bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara sehingga salah satu fungsi lembaga legislatif sebagai badan pembuat undang-undang dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
Menjaga Pancasila
Semua pihak untuk secara bersama-sama menjaga Pancasila. Menjaga Pancasila dari penafsiran sepihak. Menjaga pancasila dari penyimpangan. Menjaga nilai-nilai pancasila tetap murni dan konsekwen. Menjaga Pancasila sebagai konsensus nasional sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.
Tetap Damai dan Menjaga Persatuan
Menghadapi situasi genting dibutuhkan sikap tetap damai, menahan diri, bersabar dan selalu membuka silaturahim untuk menjaga persatuan, kebersamaan dan persaudaraan antar segenap komponen bangsa. Perjuangan founding fathers dan para pahlawan untuk mendirikan dan mempertahankan Negara Nasional, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilanjutkan meskipun bukan jalan yang mudah.
Demikian policy brief ini sebagai sikap Majelis Nasional KAHMI, kami sampaikan atas perhatiannya terima kasih. Jakarta, 24 Syawal 1441 H 16 juni 2020 M, Majelis Nasional KAHMI ditandatangani Koordinator Presidium Manimbang Kahariady. (SM)