Oleh: Muis Pikahulan, SH, MH (Akademisi IAKN Ambon)
SABUROmedia, Ambon – Beberapa hari yang lalu, viral di media sosial aksi pemukulan dengan menggunakan rotan terhadap warga yang enggan mengenakan masker di kota Ambon. Sebenarnya apa yg dilakukan oknum kepolisian merotani masyarakat yang bepergian tidak menggunakan masker adalah cara yang keliru untuk mencapai tujuan yang baik. Dalam hukum acara pidana Indonesia, setiap tujuan yang baik harus disesuaikan dengan cara (prosedur) yang oleh dan berdasarkan hukum. Hal ini tidak bisa dihindari sebab konstitusi kita menekankan “Negara Indonesia Adalah Negara Hukum” (Rechstaat,, Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945). Dengan demikian segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan hukum harus berkesesuaian dengan prosedur yang disediakan hukum pula (Asas Dou Process Of Low). Begitulah cara kerja sistem hukum acara di Republik ini.
Penulis tidak tidak sependapat dengan cara-cara yang dilakukan tanpa adanya sebuah peraturan hukum seperti itu. Masyarakat adalah subjek hukum yg hak individualnya harus dihormati (Asas Individual). Benar bahwa semua demi untuk menertibkan masyarakat agar mengikuti anjuran pemerintah, namun sekali lagi pendekatan yg dilakukan harus tetap humanis dan persuasif.
Dalam teori ketaatan hukum ada dua jenis ketaatan “obey” (ta’at / sadar) dan “disobey” (tidak taat/ tidak sadar). Taat hukum karena kesadaran (concousnes) adalah bentuk dari kepahaman yang lahir dari pribadi subjek hukum, artinya orang yang taat hukum karena memang sadar bahwa dengan menaati peraturan tersebut akan ada ketertiban (order) bagi lingkungannya dan memberi manfaat atau kebahagiaan bagi dirinya dan orang banyak (legal happiness). Berbeda dengan orang yang tidak taat hukum karena tidak adanya kesadaran hukum. Orang yang tidak taat hukum akan menaati hukum hanya karna takut akan sanksi sekaligus tindakan hukum itu sendiri. Lawrence Mier Fredman menyebut istilah ini dengan sebutan “Perilaku Hukum” (Legal Behavior).
Olehnya itu kepolisian yg bertugas mengawal ketertiban masyarakat harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai humanis agar terciptanya masyarakat yg taat hukum karena kesadaran. Penulis juga mengapresiasi kepolisian yang tidak lelah menjaga segenap warga negara agar terhindar dari covid-19, untuk itu harus dikeluarkan PERKAP (Peraturan Kapolri) mengenai penanganan masyarakat yang membandel dan tidak mengikuti anjuran pemerintah di tengah pandemi dalam hal memutus mata rantai covid-19. Dengan demikian ada dasar hukum, ada wibawa hukum dan ada efektifitas hukum bagi kepolisian dalam mengambil tindakan hukum bagi masyarakat yg tidak menggunakan masker apabila bepergian diluar rumah.
Menurut hemat penulis, tidak ada suatu pelanggaran HAM yang dilakukan oknum kepolisian kepada masyarakat yang tidak menggunakan masker dalam bepergian di kota Ambon. Penulis yakin cawan yg dipakai untuk menertibkan masyarakat tersebut hanya digunakan sebagai simbolisasi untuk memberi efek jera bagi masyarakat yang membandel. Sebagai masyarakat, kiranya mendukung setiap tugas yg diembani oleh para aparatur negara dengan cara mengenakan masker yang juga sebagai pelindung diri dari covid-19.
Dalam konteks tugas penertiban masyarakat, pihak kepolisian pun harus tetap menggunakan pendekatan humanistik bagi masyarakat yg membandel. Namun apabila upaya humanis dan persuasif itu tidak diindahkan maka kepolisian berhak beralih ke upaya represif untuk menjamin ketertiban dan untuk memutus mata rantai pendemi cofid-19 tetapi sekali lagi, bahwa setiap upaya hukum yang diambil baik prefentif humanis maupun represif harus berkesesuaian dengan peraturan hukum yg berlaku sebagaimana asas hukum klasik “Ketidaktahuan akan fakta – fakta dapat dimaafkan namun tidak demikian halnya dengan ketidaktahuan akan hukum” ( Ignorantia ekscusator non juris sed facty). Semoga masyarakat semakin sadar akan pentingnya kerjasama memutus mata rantai covid-19 di Ambon, Maluku dan Indonesia. (**)