SABUROmedia, Ambon – Apa yang terjadi di masa lalu kita bisa menerima dan mengambilnya sebagai bahan renungan, setiap bangsa di dunia memiliki sejarah yang berbeda-beda, hal ini dikarenakan setiap Negara memiliki pola interaski dan desain perjuangan yang terjadi pada masa pengembangan negaranya. Bahkan setiap Negara di dalamnya memiliki cerita rakyat yang begitu hebat, setiap wilayah yang berada dalam satu Negara sudah tentu memiliki cerita rakyat masing-masing. Sebagai langkah melestarikan kejadian bersejarah ini, setiap orang memiliki cara berbeda-beda dalam melestarikan, biasanya melalui cerita turun-temurun dan ada yang memilih melestarikan dalam pembukuan agar tetap terjaga. Indonesia dengan corak masyarakat yang majemuk sudah pasti menyimpan beragam cerita rakyat yang kadang dianggap jejaknya perlu dihormati karena diyakini bagian dari tokoh heroik, menjadi sesuatu hal yang lumrah, kadang di beberapa wilayah Indonesia menjadikan tempat pertemuan publik atau taman-taman dibangun patung dengan aksara yang menceritakan tentang kejadian masa lalu.
Setiap sejarah menyimpan tokoh heroik yang dianggap memiliki jasa besar terhadap wilayah tersebut, kadang ketika kita mengunjungi suatu tempat, kita akan sering bertanya “siapa” orang disegani pada masa lalu dan dianggap sebagai pahlawan. Hal ini menjadi pertanyaan utama bagi mereka yang begitu mencintai nilai sejarah dan kebudayaan. Misalnya kita melihat pada wilayah Provinsi Maluku, sudah tentu tokoh heroik yang dihormati dan dianggap pahlawan oleh masyarakat setempat, yakni Said Perintah, Thomas Matulessy alias Pattimura, Christina Martha Tiahahu, dll. Mereka yang dianggap sebagai pahlawan ini memiliki jasa yang begitu besar, mereka rela mengorbankan jiwa raganya demi tercapainya suatu kemerdekaan bagi generasinya.
Thomas matulessy alias Pattimura, merupakan sosok yang begitu perkasa dalam cerita perang pattimura pada tahun 1817, ia bersama rekan-rekannya dengan gagah berani mengorbankan seluruh jiwa raganya demi kemerdekaan masyarakat Maluku. Cerita perjuangannya telah menjadi landasan bahwa ia berhak menyandang gelar sebagai pahlawan di bumi pertiwi, keberaniannya membawa masyarakat Maluku terlepas dari arogansi kekuasaan kaum kolonial. Sudah 202 tahun kita mengenangnya sebagai sosok heroik di Bumi Para Raja, kemampuan dan keberaniannya menjadikan ia sebagai tokoh sentral dalam perang pattimura. Namun, tak semua orang bisa menerima dengan begitu saja sosok Thomas Matulessy atau pattimura ini sebagai panglima perang, beberapa Negeri di Maluku menolaknya dan beranggapan ia bukan bagian dari tokoh sentral yang mengendalikan masyarakat Maluku berjuang mengusir kaum kolonial. Hal ini mengundang polemik di kalangan generasi muda Maluku yang sering berjumpa dalam forum diskusi dan ingin menelusuri kembali siapa sosok sebenarnya pattimura.
Orang-orang yang enggan menerimanya beranggapan bahwa gelar pattimura bukanlah gelar personal, melainkan gelar kolektif, hal ini dikarenakan semua kapitan yang datang di Saparua bagian dari pattimura, dikarenakan Pattimura merupakan organisasi atau perkumpulan para pejuang pada saat itu. Mata pena sejarawan telah mencatat pada 15 mei 1817 telah menjadi moment yang cukup penting, kejadian yang berdarah-darah dan semarak perjuangan mereka mengusir kaum kolonial telah menjadi moment yang akan dikenang setiap generasi. Namun Thomas mattulessy yang dianggap sebagai tokoh heroik, kini mulai diragukan di beberapa kalangan dan menimbulkan pertanyaan siapa dibalik tokoh sentral perang pattimura. Jika kebenarannya gelar pattimura bukan gelar personal dan diyakini bagian dari gelar kolektif, maka setiap orang memiliki hak penuh untuk mencari siapa sebenarnya tokoh sentral di balik perang pattimura.
Pada tahun 1817 seluruh kapitan atau pahlawan lokal berkumpul di Pulau Saparua atas dasar mereka datang ingin berperang mengusir kaum Kolonial, para kapitan ini datang dari seluruh penjuru Maluku, seperti pulau Ambon, Haruku, Nusalaut, Seram, dll. Maksud kedatangannya untuk sama-sama menggabungkan kekuatan demi mengusir kaum kolonial. Arogansi kekuasaan kaum kolonial yang dianggap tidak manusiawi menjadi dasar utama atau alasan berkecamuk perang pattimura. Kebiadapan kaum kolonial selama menduduki nusantara khususnya Maluku, dianggap bagian dari petaka kemanusiaan, pembunuhan, penabangan hutan cengkeh dan pala, melakukan kerja paksa terhadap masyarakat Maluku, sudah jelas menyimpan dendam yang begitu besar. Dengan semangat perjuang para kapitan, akhirnya kaum Belanda harus menerima kenyataan pahit, yakni banyak serdadu Belanda yang dibunuh dan berhasil diusir dari Maluku.
Namun sejatinya hal yang paling penting harus kita ketahui dan menelusuri kembali jejak sejarah perang pattimura adalah siapa sebenarnya tokoh sentral yang mengendalikan perang pattimura. Mengapa demikian hal ini harus dilakukan, sejatinya seorang ilmuan memiliki hak penuh terhadap mencari suatu kebenaran yang dirasa masi tersimpan. Kita tidak serta merta menerima sejarah yang ditulis dan dianggap tidak memiliki standar di atas kontruksi ilmiah, jika mereka yang menulis dan mau menerima sejarah yang tidak berdasarkan fakta atau standar ilmiah, maka sudah tentu itu bagian dari dogmatis
Bagaimana bisa kita menerima tinta pena sejarawan yang menulis Thomas matulessy sebagai pahlawan dengan standar kelayakan yang tidak ilmiah dan ambigu. Sejarawan yang meyakini Thomas matulessy sebagai tokoh sentral dalam perang pattimura, mereka meyakini proklamasi Haria yang dihadiri 21 orang Raja dan Patih dari beberapa negeri memberikan legalitas kepada Thomas matulessy sebagai panglima perang pattimura. Sejatinya kita perlu membaca kembali teks proklamasi Haria dan mencermatinya sebaik mungkin. Benarkah proklamasi Haria menjadi tolak ukur legalitas Thomas matulessy sebagai tokoh sentral yang mengendalikan masyarakat Maluku untuk mengusir kaum kolonial ? apakah proklamasi Haria menjadi salah satu tolak ukur yang menjadikan statusnya sebagai pahlawan. Lantas seperti apa kedudukan musyawarah “Aihata” yang terjadi di negeri Itawaka yang di mana semua para kipatan melakukan ritual adat untuk mencari siapa yang pantas menjadi panglima perang pattimura. Musyawarah “Aihata” yang terjadi di negeri Itawaka, kenapa tidak pernah dibahas dalam pena sejarawan, musyawarah “Aihata”merupakan proses menuju pertempuran besar saat itu, dalam proses musyawarah para kapitan memilih siapa yang paling tangguh dan mampu memipin pertempuran dan memimpin masyarakat Maluku dalam mengusir kaum kolonial.
Mestinya kita menyadari, sebagai generasi muda Maluku kita memiliki hak untuk mengetahui lebih jauh dan dalam siapa tokoh heroik yang mengendalikan perang pattimura, setiap orang memiliki hak untuk menulis tokoh pattimura berdasarkan fakta ilimiah dan bukti-bukti yang selama tidak dianggap tabuh.
Sebagai generasi muda Maluku, kita mestinya membedakan antara proklamasi Haria dan musyawarah “Aihata” sebagai dua peristiwa yang menjadi perkara dalam pena sejarawan. Sejatinya sejarawan yang menulis tentang proklamasi Haria memiliki presepsi yang berbeda dan meragukan para pembaca. Misalnya beberapa sejarawan Maluku memiliki persi yang berbeda, beberapa sejarawan di Maluku banyak memiliki perbedaan dalam menulis dengan tanggal yang berbeda, bahkan dalam pandangan sejarawan atau akademisi yang lain, saat proklamasi Haria Thomas matulessy sedang melakukan perjalanan ke pulau Banda dan tidak hadir dalam proklamasi tersebut. Bagaimana bisa kita meyakini dan menerima hal ini, bahkan Thomas matulessy juga tidak tahu dia adalah bagian dari pattimura.
Sebagai anak muda Maluku, kita merasa ragu terhadap beberapa sejarawan yang menulis terkait peristiwa besar pada perang pattimura. Hal ini menunjukan ada sesuatu yang disembunyikan oleh beberapa pihak terhadap perang pattimura, kita tidak menudu sejarawan yang menulis fakta sejarah perjuangan dikarenakan hasrat ekonomi dan kekuasaan. Namun jika hal ini sampai terjadi, maka saya meminjam istilah Piotr Sztompka yakni “memikul dosa warisan” yang dibuat oleh sejarawan yang berhasrat pada kekuasaan semata. Jika ini bagian dari dosa sosial, maka sejatinya siapapun berhak untuk membuka kembali fakta yang sedang terjadi di balik semua ini.
Kembali pada pokok persoalan yakni, antara proklamasi Haria yang mengangkat Thomas matulessy sebagai panglima sebenarnya menuai kontroversi dan menciptakan pemahaman yang kabur. Jika benar proklamasi Haria sebagai salah satu tolak ukur atau legalitas Thomas matulessy sebagai panglima perang yang menaungi kapitan-kapitan dari pulau Seram, Ambon, Haruku, Nusalaut, maka jelas ini bagian dari skenario besar yang menutupi ketokohan pejuang-pejuang yang lain yang telah mengorbankan jiwa raganya demi kemerdekaan orang Maluku. Beberapa sejarawan menulis terkait proklamasi Haria yang berbeda presepsi, ini menunjukan sesuatu yang absurd dan mengandung unsur kebohongan, kenapa demikian hal ini bisa terjadi ?
Dalam proses proklamasi Haria yang diwakili oleh 21 Raja dan Patih, sejatinya masi bisa diperdebatkan. Hal ini dikarenakan saat proklamasi Haria Thomas matulessy yang dianggap sebagai tokoh heroik sedang melakukan perjalanan ke pulau Banda, lantas jika ini benar siapa yang dianggap sebagai panglima perang untuk memimpin semua kapitan pada saat itu. Lantas seperti apa musyawarah “Aihata” yang terjadi di negeri Itawaka saat itu sebagai tahap awal melihat siapa yang pantas menjadi panglima. Jika legalitas musyawarah “Aihata”di atas legalitas proklamasi Haria, maka sudah tentu apa yang selama ini diaamiinkan oleh generasi muda Maluku merupakan bagian dari melestarikan dosa sosial yang selama ini diwarisi oleh pendahulu kita.
Penulis
Ikbal kaplale (Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Institut agama islam negeria Ambon)