by; Rusdi Abidin
SABUROmedia, Ambon – Ironi, dengan semangat melontarkan seruan & simpulan untuk memajukan daerah (ungkapan keinginan maju, sejahtera, daya saing & segala macam tetek bengek istilah) yang sebenarnya tanpa sadar sangat spekulatif. Ironi karena hal itu tidak menemukan kondisi objektifnya. Atau ketiadaan syarat untuk sampai pada seruan & simpulan itu. Kondisi objektif dimaksud adalah apakah ada gambaran fakta tentang kesadaran politik kewargaan.
Jika tidak ada maka tidak logis ada pencapaian hasil politik demokrasi & simpulan akan ada pencapaian kemajuan. Akan berbeda bila “kesadaran politik kewargaan” tersedia. Maka sangat realistis ada proyeksi kemajuan. Sedapat mungkin pendapat, simpulan tidak dibangun berdasarkan persepsi & asumsi semata. Sebab sistem politik demokrasi merupakan sistem yg kompleks & rumit. Sistem yg tidak sekedar bicara soal electoral pada hubungan struktural. Tetapi hubungan kultural, tradisi, mental-watak, pikiran-pemikiran & budaya. Kerumitan tersebut terletak pada kesadaran politik. Itulah sebabnya pentingnya mengomentari demokrasi subtansial. Karenanya menyangkut bentuk kesadaran politik & hal itu tidak bisa bergantung pada demokrasi prosedural.
Tidak ada pilihan lain untuk menyatakan kemajuan tanpa ada upaya serius kaum dominator kekuasaan politik menerima dengan lapang dada apa yg disebut dengan demokratisasi. Atau juga bisa menerima tawaran standar Jurgen Habermas “demokrasi deliberatif”. Bila tidak ada upaya itu maka jangankan capaian kemajuan, jalan untuk menuju kemajuan itu sesungguhnya tidak ada alias lorong gelap yg buntu.
Ungkapan ke-maju-an merupakan ungkapan kerja bersifat progresif. Ungkapan yg menujuk pada gerak (langkah) mental pikiran. Jadi tidak dimaksudkan “gerak langkah dari titik awal ke titik berikutnya. Tidak seperti itu. Melainkan gerak (langkah) mental pikiran kedalam titik dimana kita berada. Atau gerak memahami mental pikiran ke-diri-an. Gerak memahami fakta sosial politik dalam relasi struktural yg melekat dalam alam sadar kita sendiri.
Dimensi tersebut membeberkan bahwa masyarakat yg menganggap tindakannya rasionalis belum dapat dipastikan memiliki suatu kesadaran politik yg utuh (nilai kebenaran & kebaikan). Mengapa demikian?. Karena kesadaran politik sangat dipengaruhi oleh relasi struktural (sistem kekuasaan politik). Pengaruh tersebut diakibatkan pada cara kerja sistem yaitu dominasi & hegemonik. Menguasai & mempengaruhi. Kedua cara itu melahirkan paksaan & keterpaksaan serta kepasrahan.
Dari itu umumnya melahirkan masyarakat kesadaran politik rendah atau apatis. Sehingga terbentuk kesadaran politik palsu. Kesadaran palsu menunjukan sikap meniru, mempertahankan, bergantung, pasrah. Bahkan cenderung menjadi masyarakat tertutup & sulit menerima nilai atau hal baru. Mereka pasrah menerima diperlakukan minor walau mereka menyadari ada penyimpangan, penyelewengan & ketidakadilan.
Dalam keadaan kesadaran masyarakat seperti itu sangat tidak logis menyematkan keinginan kemajuan. Katakanlah kita menginginkan capaian pelayanan & kesejahteraan yg maksimal di masyarakat (daerah). Walaupun itu dapat dilakukan karena ada kekuasaan politik & anggaran, tetapi pada akhirnya dapat juga dipalsukan, baik oleh mereka yg memiliki otoritas kekuasaan politik maupun masyarakat itu sendiri.
Sejatinya kemajuan disertai adanya standar “kesadaran politik”. Standar tersebut karena sistem politik demokrasi tidak saja bertujuan untuk pencapaian kemajuan pembangun ekonomi seperti di rezim orde baru, melainkan bertujuan lebih luas yaitu adanya “perubahan sosial”. Namun penting dikritisi bahwa kesadaran itu bukan ucapan tetapi watak-perilaku yg menjelaskan kerja mental yg melekat dgn pikiran manusia – masyarakat. Karenanya tidak mudah untuk mendapatkan suatu bentuk yg pasti dari kesadaran itu.
Kenapa demikian ?. Karena kesadaran terbentuk melalui proses yg panjang atau proses historis. Proses historis tersebut bekerja dalam dua relasi sistem. Relasi kultural & relasi struktural. Para pakar menyebutnya kesadaran historis. Suatu kesadaran yg memahami proses sejarah pembentukan masyarakat tidak secara absolut. Atau tidak mengklaim final sejarahnya tanpa interpretasi & kritik. Sebab pembentukan kesadaran politik tanpa menakar sejarah secara objektif maka memiliki dampak pada pembentukan “kesadaran palsu” yg mentradisi. Kesadaran yg selalu berada dalam situasi seperti itu oleh Paulo Freire melahirkan budaya bisu.
Paulo Freire memetakan kesadaran masyarakat dalam tiga bentuk yaitu kesadaran magis, naif & kritis. Kesadaran terbaik adalah kesadaran kritis. Suatu kesadaran masyarakat mampu memandang kritis lingkungannya, memisahkan dirinya dengan keadaan sekitar yang menindas-bergantung, kemudian bertindak untuk membebaskan dirinya.
Sebaliknya kesadaran yg paling rendah adalah kesadaran magis, yaitu kesadaran yg paling rendah. Yakni kesadaran menjalankan ritual-ritual yg diyakini asli (sinkretik) & perlahan beralih jadi tradisi. Kesadaran tersebut mudah dimanfaatkan oleh kekuasaan politik lewat proses dominasi atau mendominasi baik lewat otoritas maupun instrumen material. Di tengahnya ada kesadaran naif. Kesadaran ini muncul ketika ada penindasan fisik atau kekerasan sehingga orang merasa tersakiti & bersegera diri untuk reflektif.
Karena itu kalau kita bicara kemajuan sementara faktanya kesadaran masyarakat umumnya ada pada kesadaran magis atau naif maka sesungguhnya kita sedang berkamuflase. Hasilnya spekulatif & manipulatif. Jika itu terjadi berulang-ulang maka potensi mundur lebih besar dari potensi maju. Sebaliknya kemajuan yg diperbincangkan dalam standar kesadaran kritis maka potensi maju yg tercipta lebih besar dari mundur. Jadi pada akhirnya point yg mau ditegaskan adalah berhentilah bicara ke-maju-an di rezim demokrasi kalau kita belum memahami sesungguhnya kesadaran politik itu. Berikutnya apa pun bentuk kampanye atau debat publik dalam rangka pilkada sedapat mungkin dapat dipastikan bersih dari bentuk penjajahan pencitraan politik. (**)