SABUROmedia, Ambon – Sekilah terkait gerakan saparatis yang ada di Maluku bukan lagi menjadi hal yang baru. Kemunculan kelompok saparatis di Maluku sudah jauh sebelum Indonesia merdeka yang kita kenal di Maluku sebagai ” Republik Maluku Selatan atau di singkat (RMS).
Seorang mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur, Mr. Dr. Christian Robert Soumokil, memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan pada tanggal 25 April 1950.
Hal ini merupakan bentuk penolakan atas didirikannya NKRI, Soumokil tidak setuju dengan penggabungan daerah-daerah Negara Indonesia Timur ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia.
“ Dengan mendirikan Republik Maluku Selatan, Ia mencoba untuk melepas wilayah Maluku Tengah dan NIT dari Republik Indonesia Serikat,”demikian tulis Kabid Pengembangan Anggota (PA) HMI Cabang Ambon Periode 2019-2020, Jamal Arey dalam rilisnya yang dikirim ke redaksi Saburomedia.com Minggu (26/04/2020).
Arey menyebut ditengah situasi pemerintah Indonesia menyarankan setiap individu untuk menerapkan social distancing guna mengatasi pandemi COVID-19. Para pendukung RMS memanfatkan situasi untuk kembali berulah dengan mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan di berbagai titik yang lebih mengherankan hal yang sama dengan diiringi teriakan MENA MURIA di Halaman Mapolda Maluku.
Kejadian seperti aksi-aksi mendukung gerakan separatisme, seperti pengibaran bendera sering terjadi pada perayaan HUT RMS setiap 25 April. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan separatisme di Maluku serius.
“Pengibaran bendera RMS sebagai simbol perlawanan. Bagi kami telah mencoreng eksistensi budaya kultural masyarakat Maluku,” ujarnya.
Arey meminta aparat keamanan kepada pelaku pengibaran bendera RMS dan memprosesnya tegas secara hukum agar tak berulah kembali.
“Pemerintah perlu menguatkan peran intelijen di Maluku untuk mengungkap dan memutus mata rantai organisasi separatis, pemerintah melalui TNI perlu melokalisasi untuk menutup dan mempersempit ruang gerakan separatis agar lebih mudah ditangani,”tutup Arey.