Oleh: Hamdan Juhannis (Orangtua dari Anak Didik)
SABUROmedia, – Bagian terakhir dari seri catatan ini adalah untuk guru anak-anak kita di sekolah. Masa wabah ini adalah kesempatan terbaik bagi guru untuk merenung mengapa tanggung jawab kecerdasan anak selalu ditimpakan ke pundak mereka. Mungkin kita tidak terlalu peduli asal dan makna kata dari guru, karena memang bukan dari bahasa kita, tapi hadirnya kata ini menunjukkan posisi kesucian atau kemahardikaan. Kata ini memang sejak dulu lebih dilihat sebagai nilai dibanding profesi atau sebagai derajat dibanding pekerjaan.
Dengan posisi itu, guru selalu dipandang sebagai bukan jalan untuk mengumpulkan materi, tapi untuk menebar nilai keluhuran. Atas dasar pandangan itu, saya selalu memandang semua sikap dan prilaku guru pada dua anak saya dalam koridor demi kebaikan. Saya tidak pernah bertanya kepada mereka saat pulang sekolah, ‘apakah gurunya bersikap baik di sekolah? Apakah gurunya tidak membentak? Apakah gurunya tidak membeda-bedakan? Karena bagi saya ketika seseorang sudah memutuskan menjadi guru, dia sudah pasti berada dalam janji keluhuran.
Ketika kita sering mendengar peristilahan negatif tentang guru, misalnya: ‘killer’, itu hanya varian lain dari sosok guru yang mungkin murid belum pahami, karena guru itu memang sejatinya cahaya dan ‘penghancur’ kegelapan. Derap langkah saya selalu dibayang- bayangi para guru hebat yang selalu saya temukan pada berbagai level sekolah yang saya masuki. Sampai detik ini, terbayang ketakjuban kepada mereka; kepiawaian menerangkan pelajaran, kemampuan menyederhanakan kerumitan, dan kehebatan memecahkan persoalan.
Mungkin dunia tidak menemukan profesi sekaliber itu yang bisa memberi efek dahsyat bagi orang lain. Kuncinya dari mana? Dari Keluhuran jiwa yang dipancarkan dari predikat guru itu. Dari pertautan yang selalu hidup di ruang kelas. Guru itu interaksinya selalu hidup. Guru itu selalu belajar, mereka selalu berefleksi. Tatapannya adalah renungan.
Namun, sebagai orangtua anak, saya tidak mungkin memaksakan semua guru persis dalam imaginasi saya di atas. Guru juga manusia dan gurupun memiliki keterbatasan. Untuk sampai pada imaginasi itu membutuhkan tekad yang kuat dan keteperpautan hati yang dalam. Itulah mungkin ada yang disebut guru hebat, guru teladan, atau guru inovatif. Dalam situasi pandemi seperti ini, seharusnya menjadi proses terbaik bagi guru untuk sampai pada level kemahardikaan. Pandemi memberi ruang banyak pada para guru untuk lebih berbenah.
Pertama, guru perlu semakin menyadari bahwa situasi seperti ini adalah hukum alam tentang perubahan zaman yang membuat standar nilai berubah. Guru pasti tahu, karena nilai bergeser cita dunia pendidikan pun harus bergeser. Guru diharapkan lebih sadar bahwa saat yang penuh keterbatasan sekarang, harmoni kehidupan anak didik lebih penting dari nilai rapor. Guru pastinya akan menekankan pembelajaran yang menenteramkan jiwa dibanding pembelajaran yang menuntut eksploitasi pikiran.
Kedua, guru juga sejatinya lebih memaksimalkan fungsi utamanya sebagai pemindah nilai moral di atas segalanya. Dalam situasi seperti ini, guru hanya akan menjadikan mata pelajaran sebagai basis penguatan moral anak didik. Kita perlu mendengar, ‘pakai pengetahuan matematika kamu untuk membagi waktu kegiatan di rumah supaya hidupmu tidak sekadar berada di layar kecil Hpmu, dan masih banyak bagian kehidupanmu yang lebih menyenangkan.’ Guru sejatinya tidak usah terseret untuk menjawab pertanyaan, ‘yang mana lebih baik: murid pintar tapi suka bohong, atau murid bodoh tapi jujur? Guru seharusnya lebih berani berfikir apa artinya kepintaran kalau tidak berdampak, dan apa mulianya kejujuran kalau tidak berpengaruh.
Ketiga, guru sejatinya selalu meringankan, memberi jalan keluar, dan menunjukkan masa depan. Dalam masa pandemi seperti ini, saatnya guru lebih menyikapi murid dengan cara berbeda. DI saat kehidupan berjarak seperti ini, guru pasti merindukan siswanya, pasti merasa kehilangan keributan anak-anaknya. Guru juga tahu betapa tugas-tugas beratnya di kelas banyak beralih ke orangtua muridnya. Guru tahu begitu banyak orangtua yang tidak memiliki pendidikan guru seperti mereka. Gurupun tahu bagaimana susahnya menghubungkan pelajaran dengam situasi kehidupan nyata. Guru akan lebih sering mengingatkan bahwa belajar hidup susah sama pentingnya dengan belajar hidup senang. Guru perlu juga memperkuat bahwa belajar untuk dipimpin sama pentingnya belajar menjadi pemimpin.
Dalam situasi sulit seperti ini, guru tidak akan selalu menagih tugas muridnya karena yang lebih penting adalah apakah muridnya belajar lebih mandiri mengerjakan tugasnya. Guru tidak akan membebani tugas-tugas di luar kesanggupan muridnya, karena yang lebih penting murid-muridnya tetap gembira dalam suasana kepakuman.
Bagi siapa saja, apakah pemerintah atau penyelenggara pendidikan swasta, mohon jangan kurangi gaji guru, apalagi kalau sekadar alasan kesulitan pandemi. Karena saya tidak rela, guru semakin bersedih. Anda tahu, di saat keterbatasan hidup seperti ini, satu modal penting untuk membangun semangat bertahan sebuah bangsa, apakah para gurunya masih bersemangat!
Akhirnya, buat sekolah, orangtua, maupun guru, mari menguatkan format yang meringankan dalam mengarungi jalan pendidikan kita di saat hidup serba susah. Kemudahan itu harus diupayakan bersama dan jangan pernah ragu untuk memperjuangkannya. Yakinlah, Tuhan pun mengulangi dua kali dalam ayat sucinya untuk memastikannya bahwa setelah kesusahan muncul kemudahan. (**)