Oleh: Mujib Abdurrahman (Ketua KAMMI Daerah Buru)
SABUROmedia, Buru – Tahun ke 17 hijriah dikenang sebagai tahun kelaparan, duet maut antara kemarau panjang nan mencekik, tanah yang mengering, dan angin yang berhembus kencang menciptakan ancaman berupa badai pasir panas yang membunuh ternak serta meyesakan pernapasan; mengancam manusia.
Sampai-sampai Utsman dan Abdurrahman bin Auf menafkakan seluruh perbendahraan yang dimiliki untuk membantu ketahanan pangan di Madinah.
“Aku,” kata Ibn Affan, “telah pasrahkan sisa-sisa ternak yang kumiliki kepada Allah. Ambillah beri makan orang-orang itu,”
“Ya Amirul Mukminin, begitu pula dengan apa yang kumiliki,” Abdurrahman Ibn Auf menimpali,
“jika kau temukan dari kami sesuatu yang bisa dimanfaatkan maka ambillah sesukamu,”
Mereka para sahabat begitu mempesona dengan akhlak dan kepribadian yang luhur, seia sekata senasib sepenanggungan.
Dalam malam-malamnya atas cobaan yang Allah berikan, Khalifah Umar ibn Khattab berdoa memohon petunjuk, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau jatuhkan takdir kaum muslimin di hadapanku,” serunya lirih,”Aku memohon kepadaMu agar Engkau hentikan musibah ini dari kami,” begitulah penutup doanya yang penuh harap pada sang Rabb.
Umar sang Khalifah ke-dua umat ini benar-benar menjadi teladan dimasanya, tegas, lugas, dan penyayang bagi umat Rasulullah. Dia merasai apa yang diderita rakyatnya bahkan bersumpah,” Sungguh!, aku tak akan makan daging atau lemak sampai rakyatku selamat”
“Aku adalah pemimpin yang buruk,” kata Umar pada sang pelayan pribadi ketika memberinya makanan dari daging Unta, “jika makan makanan enak sementara rakyatku memakan makanan yang tidak enak,”sambungnya dengan nada dan mimic wajah tegas.
“Demi Allah,” gumam Utsman dikesempatan yang lain ketika mendeskripsikan pribadi Umar, “ benarlah Dia dan Rasulnya, Engkau memang bagai Musa. Seseorang yang kuat lagi terpercaya”.
Sejatinya Musibah menghadirkan dua wajahnya pada kita, satu sisi ia memberikan kita rasa perih akan luka dan di sisi berbeda ia menghadiahkan hikmah berlimpah atas apa yang menimpah.
Dalam beberapa kesempatan mungkin kita baru akan belajar serta menyadari sesuatu ketika hal-hal buruk datang menyapa. Dengan musibah inilah biasanya manusia tersadar bahwa diatasnya masih ada kuasa yang lebih berkuasa lalu kesadaran itu membuat wajah angkuh kita tertunduk sujud mensejajarkan kepala dengan telapak tangan dan kaki di tanah, seraya berdoa kepada-Nya atas ketidak mampuan dan lemahnya daya.
Sungguh atas apa yang menimpa Madinah pada saat itu kita sebut sebagai Cobaan, ia adalah Ujian. Sebab Musibah adalah buah dari ketidaktaatan, ketidaksabaran, dan ketidakteguhan. Sedang para sahabat pada waktu itu tidak diragukan lagi sabar dan kulitas keteguhan iman mereka. Kalaupun Khalifah Umar menyebut itu sebuah musibah, sejatinya itu wujud kerendahan hati.
Allah Azza wa jalla mungkin hendak menguji kaum muslimin pada waktu itu, apakah dengan kawasan yang telah luas membentang serta corak yang beragam, masih adakah kepedulian pada sesama yang menderita?. Masihkah terbersit bahwa muslim itu bersaudara dan satu tubuh?
Dan hasilnya takjub, kesadaran itu masih ada seiring bantuan yang datang dari berbagai penjuru. Abu Ubaidah yang pertama datang membawa empat ribu unta penuh makanan dan pakaian lalu Mu’awiyah dengan tiga ribu unta selanjutnya Amr bin Al-Ash diikuti dengan yang lainnya.
Badai pasti berlalu seiring waktu akan tetapi hikmah yang ditinggalkan menjadi abadi sebagai pelajaran. Apa yang kita pikir buruk sejatinya menyimpan banyak rahmat dan nikmat, maka sudah sepantasnya kita meyakini dalam-dalam bahwa segala hal yang dialami in Shaa Allah membawa kebaikan yang banyak.
و عسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وهُوَ خَيْرٌ لكَمْ وَعَسى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئا وهو شرٌّ لكم واللهُ يعلمُ وأَنْتُمْ لا تَعْلمُوْنَ
“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 216)
Pasca paceklik dan kelaparan yang menimpa madinah muncul benih-benih kebaikan, disebuah majelis Ali bin Abi Thalib bersaksi,
“Kita telah melewati ujian yang berat dari situasi yang kita hadapi akhir-akhir ini, jika kita perhatikan itu juga membawa banyak kebaikan,”
“Dulu dijaman jahiliyah,” kenang Ali, “ketika mereka dilanda kemarau dan keadaan yang sulit, mereka saling menyerang dan menjarah satu sama lain, akan tetapi sekarang umat telah bersatu padu dan saling tolong menolong dalam mencapai kepentingan bersama”.
“Kesulitan yang dibawa Ujian itu telah pergi, tapi kebaikannya tidak,” tutup ‘Ali.
Hendaklah kita mengingat bahwasanya di antara kelembutan Allah terhadap hamba-hambaNya adalah “Bahwasanya,” tutur As-Sa’di dalam karyanya Tafsir Asma’ul Husna, “Dia menakdirkan bagi mereka berbagai macam musibah, ujian, dan cobaan dengan perintah dan larangan yang berat adalah karena kasih sayang dan kelembutanNya kepada mereka, dan sebagai tangga untuk menuju kesempurnaan dan kesenangan mereka.”.
Dua wajah musibah memang membawa keperihan dan duka di satu sisi, akan tetapi untuk orang yang memiliki iman, ia hanya memandang dari sisi yang baik, yaitu sisi hikmah dan kebaikan yang ditinggalkan.
Oleh karena itulah, hendaknya kita selalu bertawakkal kepada Allah, mengerahkan segenap kemampuan untuk menempuh sebab-sebab yang disyariatkan, dan jika terjadi sesuatu yang tidak kita sukai, jendaklah kita selalu mengingat firman Allah Ta’ala,
و عسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وهُوَ خَيْرٌ لكَمْ وَعَسى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئا وهو شرٌّ لكم واللهُ يعلمُ وأَنْتُمْ لا تَعْلمُوْنَ
“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)
Semoga yang sedikit ini bisa menjadi nasihat untuk diri pribadi dan bagi orang-orang yang membacanya, karena barangkali kita sering lupa bahwa apapun yang telah Allah Ta’ala takdirkan untuk kita adalah yang terbaik untuk kita, karena Dia-lah Dzat Yang Maha Mengetahui kebaikan-kebaikan bagi para hambaNya. (SM)