Oleh: Dayanto, S.H.,M.H. (Pengurus Wilayah MASIKA ICMI Maluku)
SABUROmedia, Ambon – Saat ini (2/4), total kasus positif terpapar virus korona di Indonesia telah mencapai 1,790 orang, jumlah kasus yang meninggal 170 orang dan yang sembuh 112 orang. Pada hari sebelumnya, 1,677 orang dinyatakan positif, 157 orang meninggal, dan 103 orang sembuh. Bentangan statistik ini menunjukan penetrasi serangan pandemi virus korona atau Covid-19 masih dalam derajat yang intens.
Sejak dinyatakan sebagai pandemi global oleh World Health Organization (WHO), makhluk mikroskopis yang pertama kali mewabah di kota Wuhan negeri Tiongkok ini secara penetratif telah menciptakan situasi krisis global multidimensional karena tidak saja menjangkiti ratusan ribu dan merenggut nyawa puluhan ribu penduduk dunia tetapi juga pada saat yang sama telah mengguncang seluruh sektor kehidupan penduduk dunia.
Manajemen Krisis dan Evaluasi
Situasi krisis global akibat virus korona ini secara integral menunjukan adanya situasi krisis nasional yang dialami oleh negara-negara yang terpapar walaupun dengan derajat intensitas yang berbeda. Dalam konteks Indonesia, dinamika laju statistik penetrasi serangan virus korona dan dampak multidimensional yang ditimbulkan menunjukan situasi krisis nasional yang begitu akut.
Tentu saja situasi seperti ini bukan untuk diratapi ataupun ditakuti tetapi untuk dimengerti dengan baik agar pada gilirannya dapat melahirkan respon yang tepat dari semua elemen bangsa atas situasi krisis yang terjadi. Dalam konteks inilah, manajemen krisis diperlukan sebagai kerangka kerja (frame work) untuk mengelola situasi krisis yang terjadi. Sebab dalam situasi krisis yang diperlukan bukanlah manajemen regularistik tetapi manajemen krisis. Manajemen regularistik umumnya dilakukan dengan cara-cara biasa (businees us usual) dan birokratis terhadap hal-hal yang telah diprediksikan sebelumnya. Sebaliknya, situasi krisis membutuhkan daya tanggap yang cepat dan cermat terhadap kemungkinan yang penuh dengan ketidakpastian
Di dalam menghadapi situasi krisis berbasis manajemen krisis, nilai-nilai inti (core value) seperti seperti kesadaran akan adanya krisis (sence of cricis), kecepatan, keakuratan, keberpihakan, dan akuntabilitas harus senantiasa menjadi kerangka pemandu bagi segala tindakan dan keputusan otoritas pemerintahan dalam mengelola situasi krisis yang terjadi. Sence of crisis berkaitan dengan kesadaran dan kepekaan akan adanya situasi krisis yang akan ataupun sedang terjadi. Demikian pula, kecepatan dan keakuratan bertindak berkaitan dengan daya tanggap yang segera namun tetap akurat dan cermat untuk bertindak dalam merespon dan mengkalkulasi krisis yang akan atau sedang terjadi.
Adapun akuntabilitas berkaitan dengan pertanggungjawaban secara moral-etis, hukum, administratif, dan teknis terhadap seluruh kebijakan dan tindakan yang dilakukan. Akuntabilitas berfungsi agar tidak terjadi moral hazard, mal administrasi ataupun praktik koruptif yang mengapitalisasi situasi krisis menjadi keuntungan ekonomis dan politis dari pihak pemegang otoritas pemerintahan.
Menurut Institute for Public Relation (2007), setidaknya terdapat tiga fase penting dalam manajemen krisis yaitu fase pre-crisis, crisis respon, dan post cricis. Fase pre-crisis yang menitikberatkan pada pencegahan dan persiapan. Pencegahan meliputi upaya untuk mencari cara mengurangi risiko yang dapat berujung pada krisis. Sedangkan persiapan meliputi perencanaan manajemen krisis, membentuk tim manajemen krisis, serta melatih anggota tim agar dapat beradaptasi dengan terjadinya krisis.
Jika dievaluasi, sebab paling utama dari semakin kompleksnya problem penanganan pandemi korona oleh pemerintah adalah karena tidak maksimalnya penanganan pada fase pre-crisis ini. Kebijakan pemerintah yang diumumkan pada tanggal 25 Februari untuk mengintensifkan pemasukan ekonomi negara melalui bisnis pariwisata yang menyasar para wisatawan asing melalui kebijakan insentif industri penerbangan (298 M), promosi (103 M), kegiatan tourism (25 M), dan jasa influencer pariwisata (72 M). Demikian pula sikap Menteri Kesehatan dan beberapa pejabat yang negara yang cenderung meremehkan keganasan virus korona menunjukan adanya kemampuan pencegahan dan persiapan menghadapi krisis pandemi korona yang lemah. Padahal ancaman bahaya virus korona yang melanda negeri Tiongkok telah menjadi pembicaraan global sejak akhir bulan Desember.
Fase crisis respone merupakan tindakan langsung untuk merespon situasi krisis yang sedang terjadi. Fase ini berkaitan dengan apa tindakan yang dilakukan terhadap krisis yang terjadi dan bagaimana mengkomunikasikan situasi dan tindakan yang telah dilakukan tersebut. Berkaitan dengan ini, sikap resmi Pemerintah yang menunjukan adanya respon terhadap bahaya virus korona ditandai dengan menerbitkan Keputusan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 13.A Tahun 2020 tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia sampai dengan tanggal 29 Mei 2020 yang diikuti dengan diterbitkannya Perppu No. 1/2020, PP No. 21/2020, dan Kepres No. 1/2020.
Terhadap fase ini beberapa evaluasi yang relevan diajukan antara lain, Pertama, berbagai kebijakan tersebut diputuskan dalam tempo yang relatif terlambat jika ditakar dari kecepatan yang dibutuhkan dalam menanggulangi krisis yang terjadi karena ribuan penduduk telah positif terpapar virus korona dan ratusan jiwa dari berbagai kalangan telah kehilangan nyawa.
Kedua, paket kebijakan hukum yang diterbitkan tersebut menunjukan kegagapan Pemerintah untuk memilih pendekatan kebijakan yang tepat dalam menghadapi situasi krisis nasional akibat virus korona. Kegagapan yang dimaksud adalah intensi pemerintah yang lebih memilih pendekatan ekonomi dibandingkan pendekatan kesehatan dalam menanggulangi situasi krisis yang terjadi. Hal ini ditandai dengan tidak digunakannya secara maksimal UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan untuk mengendalikan dan menghentikan mewabahnya virus korona dan tanggungjawab hukum negara (pemerintah) dalam upaya pengendalian dan penghentian itu. Pemerintah justeru memilih langkah setengah-setengah atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (vide PP No. 21/2020) yang secara naratif dikombinasi dengan opsi darurat sipil berbasis Perppu No. 23/1959. Padahal problem primer dari pandemi korona adalah darurat kesehatan nasional sehingga secara lex specialis UU No. 6/2018 mestinya digunakan semaksimal mungkin.
Ketiga, kegagapan ini juga menjadi kompleks akibat lemahnya kapasitas komunikasi Pemerintah yang seringkali berubah-ubah dan reduksionis serta cenderung menunjukan intensi pemerintah yang lebih fokus pada upaya untuk mempertahankan citra kepentingan ekonomi dan status quo pihak-pihak lingkaran pemerintah yang diuntungkan dengan diterbitkannya paket kebijakan itu. Sehingga isyarat adanya sence of crisis dari Pemerintah terhadap masalah kesehatan dan keselamatan jiwa penduduk Indonesia akibat serangan pandemi korona ini tidak terelaborasi secara kuat. Selain itu, resonansi kebijakan yang saling kontradiktif antara Pemerintah (pusat) dengan pemerintah daerah ikut menambah kompleksitas kegagapan ini.
Keempat, rumusan ketentuan Pasal 27 ayat (3) Perppu No.1/2020 yang menyatakan “segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara” mengandung problem akuntabilitas hukum karena kontradiktif dengan core value manajemen krisis yang mengisyaratkan adanya prinsip akuntabilitas baik moral, hukum, administratif, maupun teknis yang mana seperti yang telah diuraikan di atas akuntabilitas sebagai core value manajemen krisis berfungsi agar moral hazard, mal administrasi ataupun praktik koruptif dalam situasi krisis dapat dicegah dan ditindak seefektif mungkin. Ketentuan tersebut justeru melahirkan imunitas administrasi dari pemerintah yang dapat menjadi celah bagi praktik-praktik mal administrasi dan korupsi kebijakan pada situasi krisis.
Postscript
Paket kebijakan hukum telah diputuskan oleh pemerintah, sence of crisis terhadap situasi krisis pandemi korona ini harus tumbuh dalam gelombang yang sama di semua orang dan semua tempat di tanah air. Pemerintah pada semua tingkatan dan wilayah diharapkan untuk fokus menangani krisis yang terjadi, mengaktifkan sence of crisis, terbuka menerima masukan dan dengan cepat dapat melakukan adabtasi kebijakan, menunjukan kecepatan dan kecermatan teknis untuk melakukan penanggulangan serta aksi-aksi keberpihakan yang konkrit kepada kalangan masyarakat dan profesi yang paling rentan menjadi subjek yang terdampak, serta komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai akuntabilitas. Demikian pula masyarakat sipil dan para opinion leader diharapkan dapat terus memberikan kontrol konstruktif terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah.
Sebagai bangsa, kita semua berharap agar dapat tiba pada fase post cricis karena telah melewati situasi krisis nasional akibat pandemi korona ini serta mampu menjadikan peristiwa krisis yang terjadi sebagai salah satu ujian dialektis agar kita tumbuh menjadi bangsa yang lebih besar dan lebih kuat. Semoga.
***