(OLEH : RIZAL, S.IP – Ketua BEM FIS Unidar Periode 2016 – 2017)
SABUROmedia, Ambon – Setelelah di tetapkannya COVID-19 oleh Wordl Health Organization (WHO) pada 30 Januari 2020 sebagai Public Health Emergency of International Concem (PHEIC) atau Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD), sikap Pemerintah terlihat seakan tidak terlalu menghiraukan bahaya penyebaran pandemic COVID-19. Padahal sebelum WHO menetapkan COVID-19 sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia, di Kota Wuhan sendiri, telah banyak korban berjatuhan dan terjangkit akibat serangan COVID-19, sebelum menyebar luas ke beberapa Negara lainnya sesuai yang di laporkan secara global pada 16 Februari 2020, sebanyak 51.857 Kasus konfirmasi di 25 negara dengan 1.669 kematian (CFR 3,2%), dengan rincian Negara dengan jumlah kasus sebagai berikut : China 51.174 kasus konfirmasi dengan 1.666 kematian, Jepang (53 kasus, 1 kematian), Thailand (34 kasus), korea Selatan (29 kasus), Nepal (1 kasus), Prancis (12 Kasus), Kamboja (1 kasus), Australia (15 kasus), Malasia (22 kasus), Filipina, (3 kasus, 1 kematian), Srilangka (1 kasus), Kanada (7 kasus) Jerman (16 Kasus), Italia (3 kasus), Rusia (2 kasus), United kindom (9 kasus), belgia (1 kasus), Finlandia (1 kasus), Spanyol (2 kasus), Swedia (1 kasus), UEA, (8 kasus), dan Mesir (1 kasus).
Indikasi terhadap pemerintah yang tidak terlalu menghiraukan ancaman dan bahaya penyebaran COVID-19 tersebut juga terlihat jelas pada langkah pemerintah Indonesia yang di umumkan pada tanggal 25 Februari 2020 (Setelah 9 hari di laporkannya secara global tentang jumlah kasus dan angka kematian akibat COVID-19 di 25 Negara, pada 16 Februari 2020) dan (26 hari setelah WHO menetapkan COVID-19 sebagai masalah kesehatan global, pada 30 januari 2020) yang lebih memilih melindungi citra ekonomi indonesia dibandingkan waspada bahaya penyebaran COVID-19.
Di kutip dari tulisan Bapak Dayanto, SH. MH (Manajemen Krisis Kesehatan dan Evaluasi Kebijakan Pemerintah) yang diungga pada halaman facebook, “pemerintah Indonesia lebih memilih untuk melindungi citra dan ekonomi dengan menginfestasikan pemasukan ekonomi Negara melalui bisnis pariwisata dengan mengundang para wisatawan asing melalui kebijakan esentif industry penerbangan (298 miliar), promosi (103 miliar), kegiatan Tourism (25 miliar), dan jasa influencer pariwisata (72 miliar)”.
Sementara Pemerintah baru menanggapi/ menangani penyebaran COVID-19 pada 2 maret 2020. Itu artinya, pemerintah telah membuang kurang lebih dua bulan waktu untuk menggerakan seluruh sumber daya Negara melalui kebijakan dan tindakan yang pro pada upaya maksimal pencegahan dan kesiapan menghadapi bahaya penyebaran COVID-19.
Yang sangat memperihatinkan dan perlu dipertanyakan, kemana peran oposisi disaat bangsa sedang berjibaku melawan pandemic COVID-19 ?
Seharusnya dengan mengingat dan memperhatikan kondisi dan instruksi global tentang bahaya serta keganasan Pandemic COVID-19 yang sedang mengguncang Dunia, peran oposisi akan memungkinkan munculnya lebih pilihan kebijakan atau alternatif penyempurnaan atas kebijakan pemerintah agar lebih memfokuskan segala sumberdaya kekuasaan yang di milikinya untuk pencagahan dan kesiapan dalam menghadapi bahaya pendemic COVID-19 saat setelah WHO menetapkan COVID-19 sebagai ancaman kesehatan global pada 30 januari 2020. Hal ini sejalan dengan kenyatan bahwa tidak ada satu pun pemerintahan yang tak luput dari kesalahan.
akibat dari lambatnya pemerintah dalam mengambil kebijakan dan hilangnya peran oposisi (penyeimbang kebijakan pemerintah dalam menghadapi awal bahaya pe nyebaran COVID-19), mengharuskan Negara membayar mahal atas semua material dan konsekuawensi yang di dapatkan.
Jumlah kasus positif dan angka kematian semakin meningkat. Bahkan daftar korban yang meninggal bukan saja berasal dari kalangan masyarakat, namun terdapat juga jejeran nama-nama kalangan TNI, POLRI, kedokteran dan tenaga medis lainnya. Padahal mereka adalah pesukan professional yang selalu berada pada garda terdepan (pagar Negara) penentu bangsa ini dalam memerangi penyebaran pandemic COVID-19.
Selain itu, akibat lambatnya pengambilan kebijakan dalam penanganan COVID-19, di sertai hilangnya peran oposisi yang dapat memungkinkan pemerintah untuk melakukan pencegahan sejak awa melalui pilihan kebijakan alternatif penyempurnaan atas kebijakan pemerintah, membuat Negara harus mengalami krisis APBN dengan anjloknya pendapatan Negara akibat Penyebaran pandemic COVID-19, dengan konsekuensi ancaman pemangkasan gaji ke-13 dan THR untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS.
Fungsi Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi.
Oposisi adalah sebuah fenomena yang terjadi dalam berbagi bidang. Oposisi dalam makna umum sering di artikan sebagai “perseberangan” atau “sesuatu yang memiliki posisi tidak sama pada suatu yang lain”. Oposisi juga diartikan sebagai lawan atau perlawanan terhadap semua (Rooney, 2001, 1020). Dalam konteks politik, sebagian kalangan mengartikan oposisi dari bentuk informal dari ketidakbersetujuan atau kontekstasi di antra lembaga-lembaga pemangku kekuasaan, sementara oposisi politik adalah bentuk kontekstasi yang terkait dan dijamin dalam konstitusi (Barnard, 1972, 1).
Oposisi dalam konteks kehidupan demokrasi menurut Dahl (1971) adalah bagian yang tidak terpisahkan dan menjadi salah satu fondasi, selain partisipasi, dari yang di sebutnya sebagai polyarchy (poliarki) atau sebentuk pemerintahan yang bernuansa demokrasi.
Dalam konteks politik, khususnya dalam kehidupan demokrasi, terdapat beberapa fungsi utama oposisi.
Pertama, sebagai penyeimbang kekuasaan. Makna penyeimbang secara subtansial dapat berarti adanya kekuatan diluar pemerintahan yang memberikan alternative pikiran atau sikap yang menyebabkan keseimbangan agar pemerintah tidak terlalu jauh dari kepentingan mayoritas rakyat. Makna utama penyeimbang ini mengingat ada kalanya pemerintah yang terpilih secara demokratis akhirnya jauh menjadi pemerintahan yang melawan kehendak rakyat.
Kedua, arti penting oposisi adalah menjaga agar alternative kebijakan dapat disuarakan. Oposisi akan memungkinkan munculnya lebih pilihan kebijakan atau alternative penyempurnaan atas kebijakan pemerintah. Hal ini sejalan dengan kenyatan bahwa tidak ada satu pun pemerintahan yang tak luput dari kesalahan.
Ketiga, arti penting oposisi lainnya adalah sebagai stimulus persaingan yang sehat di antara elit politik dan pemerintahan. Sebuah pemerintahan akan mengalami stagnasi, bahkan kemunduran, bila tidak mendapatkan tantangan dari pihak-pihak yang kompoten dan mampu menunjukan kepada masyarakat tentang adanya kebijakan-kebijakan lain yang lebih masuk akal ketimbang kebijakan pemerintah. Adanya oposisi akan membuat pemerintah yang berkuasa “terjaga” dan menyadari ada pihak lain yang bisa saja memberikan tawaran kebijakan yang lebih baik dan pada gilirannya berpotensi “mengganggu” citra positif pemerintah dimata masyrkat. Oleh karena itu, jelas bahwa sangat besar peran oposisi dalam upaya menegakan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan rakyat dan menghindari terjadinya oligarki. Oposisi bukanlah sekedar sikap anti pemerintah atau asal berbeda, melainkan sebuah eksistensi yang memberikan kritik dan tawaran alternatif kebijkan dan control atas penyelenggarn pemerintahan. Namun setelah pasca pemilu 2019 yang baru saja kita lewati satu tahun yang lalu, kubu dari pemenang pemilu seakan berjalan dengan lenggangan yang super bebas, di saat kubu oposisi hilang seakan tertelan pelantikan kabinet kerja jokowi-Ma’ruf jilid II, yang mengakibatkan rakyat semakin gelisa dengan hilangnya poros penyeimbang rakyat terhadap pemerintah dan kebijakannya.(**)