Oleh: Roikan (Asisten peneliti di Center For Security and Welfare Studies (CSWS) FISIP Unair)

SABUROmedia, Jakarta -Tubuh merupakan bagian fisik manusiawi yang tidak hanya identik dengan organ semata. Tubuh dapat menjadi wacana yang luas dalam berbagai perspektif. Posting-an artis Tara Basro menuai kritik dari pihak Kemkominfo yang memberi label pornografi. Posting-an itu menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Dari yang mendukung dan menyatakan kesadarannya atas body positivily hingga menganggap sebagai tindakan mengumbar aurat.

Berduyun-duyun netizen mengekspresikan diri sebagai individu yang unik kepada khalayak. Posting-an Tara menjadi awal kesadaran bagaimana tubuh yang juga dibentuk secara sosial dengan berbagai pranata yang berlaku dapat menjadi sarana ekspresi. Standar kecantikan yang dipopulerkan oleh media menjadi hampa ketika masing-masing individu telah memiliki kesadaran pada tubuh yang ideal ala generasi milenial.

Hari ini internet menjadi bagian keseharian manusia. Perkembangan teknologi informasi internet menghadirkan tubuh-tubuh virtual. Setiap saat dapat hadir di ruang privat kita, identitas kita juga dapat menjadi identitas yang virtual. Dalam dunia maya kita mengalami virtualitas atas tubuh dengan keberadaan avatar. Ada pula yang melakukan pemangkiran tubuh dan identitasnya dengan membuat akun abal-abal di media sosial, sebagaimana dapat kita lihat pada komentar yang menyoroti berbagai isu dan fenomena terkini di negeri ini.

Jika kita melihat Youtube, tidak sedikit video dari youtuber yang lebih mengedepankan pengambilan gambar dengan fokus pada tubuh. Melalui dunia maya sudah lebur antara batas ruang dan waktu. Termasuk leburnya makna estetika, eksotis, dan erotis atas tubuh. Justu pada posting-an yang membahas tubuh mendapat viewer yang tidak sedikit. Jika agama punya sentimen keagamaan, tubuh terbukti terindikasi mempersatukan melalui sentimen kebertubuhan. Hingga muncul ungkapan-ungkapan seperti “konten pemersatu umat” hingga pesan vulgar yang secara tersirat mengatakan “ada yang tegak tapi bukan keadilan” dan “ada yang bulat tapi bukan bumi”.

Politik Tubuh

Politik tubuh menjadi dasar dalam melakukan pembahasan mendalam akan praktik rasis yang didasari oleh dominasi dan intersubjektivitas atas tubuh. Politik dan penaklukan atas tubuh menurut Michael Foucault (1995) telah terjadi sejak abad ke-17 dan 18, era ketika sistem dominasi berhak secara sistematis untuk menundukkan, menggunakan, mengubah, dan mempergunakan tubuh.

Tubuh memberikan banyak makna dan penilaian kepada kita. Aksi yang dipicu karena rasis dan kontroversi perundungan atas tubuh menjadi fenomena yang memberi gambaran kepada kita bagaimana tubuh tidak hanya tempelan dalam diri hasil ciptaan Tuhan. Body shaming menjadi bukti bahwa sensitivitas masyarakat timbul ketika membahas tubuh dari sisi tak manusiawi. Menganggap fisik sebagai olok-olokan; maksud hati ingin bercanda, tapi tidak semua orang menerima candaan atas dasar kebertubuhan.

Mengapa yang menjadi sasaran dan ekspoitasi selalu tubuh perempuan? Patriarki yang menjadikan laki-laki lebih dominan turut berpengaruh dalam wacana tubuh. Aspek ideal juga ditentukan oleh budaya yang menjunjung tinggi maskulinitas. Perlakuan tubuh juga bersifat relatif dan subjektif. Tubuh merupakan identitas. Identitas tidak hanya nama yang kita sandang. Tubuh dapat menjadi bagian identitas yang tidak terpisahkan dari seseorang bahkan kelompok.

Konstruksi sosial membangun pandangan tentang sesuatu yang bersifat ideal –tubuh yang normal belum tentu ideal. Ada kolaborasi antara tubuh dengan benda lain yang digunakan sebagai penciptaan citra khusus dan pemasaran. Seperti iklan mobil yang selalu identik dengan sales promotion girl (SPG) standar model yang berbeda dengan SPG rokok. Susan Bordo menyebut sebagai istilah empire of images’ Perempuan masih dianggap memiliki segala daya tarik untuk kepentingan pasar.

Demikian pula di Youtube, kanal yang dengan sengaja menjadikan pengambilan gambar pada bagian tubuh tertentu khususnya pada perempuan mendatangkan banyak penonton dan subscriber. Lembaga negara semacam KPAI dan Kemkominfo memberi beragam cara untuk mencegah dampak kebebasan penyebaran melalui media daring dari pemanggilan sampai pemblokiran. Tapi semua tidak terasa dampaknya. Pertumbuhan pengguna dan kreator Youtube telah menggantikan televisi yang serasa semakin sunyi.

Di sinilah pentingnya peran semua pihak untuk memperhatikan dan melindungi hak-hak perempuan dalam bersuara di dunia maya. Selama ini perempuan kerap menjadi sasaran dalam body shaming. Tubuh dan wajah yang tidak dianggap standar, pelabelan hingga pemanggilan nama yang menjadi representasi dari ciri fisik masih menjadi praktik yang marak.

Media sosial justru menjadi sarana perundungan dengan isu body shaming. Hari ini netizen dianggap penilai dan penggagas standar moral dalam dunia tanpa batas ruang dan waktu. Dari cibiran negatif, perundungan, sampai hanya “sekadar mengingatkan”. Semestinya ada penghargaan yang terbentuk dari kesadaran bahwa tubuh yang di-posting di media sosial adalah semata untuk eksplorasi dan ekspresi diri selama tidak melanggar nilai dan norma yang berlaku.

Tubuh terbentuk tidak hanya secara biologis, namun secara sosio-kultural. Tubuh dimaknai tidak hanya sebagai organ fisik, namun merepresentasikan berbagai hal. Pentingnya membangun nilai inklusif atas tubuh dapat menjadikan kita pribadi yang menghormati segala perbedaan ciri fisik. Cintai tubuhmu, dan hargai tubuh sesama! (detik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *