Oleh: Nurlia Dian Paramita (Ketua Bidang Organisasi PP Nasyiatul Aisyiah 2016-2020, anggota Muhammadiyah)
SABUROmedia, Jakarta – Peringatan tahunan International Women’s Day setiap tanggal 8 Maret merupakan momentum untuk meninjau kembali posisi perempuan di ranah publik. Di tengah gelombang era disruptif yang serba cepat, perempuan dituntut untuk mampu berselaras dengan laju zaman. Kesenjangan digital, kesenjangan ekonomi hingga buruknya pemberian upah kerja untuk perempuan menjadi hal yang sejauh ini harus dicermati seksama.
Teknologi Artificial Intelligence (AI) dan robotika tentu akan mempengaruhi daya ruang lapangan tempat perempuan berkarya. Untuk itu, mampu berpacu dengan piranti digitalisasi dengan memahami segala kekurangan dan kelebihan adalah sebuah keniscayaan. Apalagi perempuan banyak menghidupi sektor pekerjaan sebagai nelayan, buruh tani, dan pekerja pabrik yang saat ini juga mulai bersentuhan dengan ranah digital.
Saat ini gerakan kesetaraan perempuan juga mengalami tantangan terkait RUU Cipta Kerja yang hendak merevisi hak cuti perempuan dan munculnya RUU Ketahanan Keluarga yang mencoba mengembalikan peran perempuan ke lingkup domestik sebagai pengasuh utama anak. Konstelasi tersebut merupakan sebuah gelombang yang tanpa sadar terus mempengaruhi pola gerak perempuan untuk senantiasa meningkatkan kapasitas diri sekaligus tetap mampu memosisikan dirinya sebagai pencari nafkah keluarga guna berpartisipasi aktif dalam mengentaskan rantai kemiskinan.
Kekerasan
Berdasarkan Catatan Tahunan 2020 yang dirilis oleh Komnas Perempuan, sepanjang 2019 terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya 406.178. Artinya bahwa perempuan masih mengalami kehidupan yang tidak aman dan terperdaya oleh konstruksi budaya patriarki. Kasus dalam ranah rumah tangga mencapai 6.555 kasus (59%), disusul kekerasan terhadap anak perempuan sebesar 2.341 kasus (21%).
Perempuan terutama ibu rumah tangga masih ditempatkan dalam posisi tawar rendah karena ketergantungan ekonomi serta minim akses. Termasuk menghadapi segala macam infiltrasi yang masih menempatkan kooptasi beban ganda khususnya terkait wewenang pengasuhan anak. Tafsir terhadap dogma agama tidak jarang masih menempatkan perempuan sebagai ujung tombak tanggung jawab dalam mengelola kondisi domestik keluarga.
Data BPS 2018 mengungkapkan bahwa perkawinan anak masih terjadi pada 20 provinsi di Indonesia dengan kisaran 11,2 persen, yang artinya perempuan menikah pada usia anak (di bawah 18 tahun). Perempuan pada usia produktif masih terhambat laju pendidikannya akibat sudah terbebani dengan urusan pengasuhan anak. Konsekuensinya, suami adalah pencari nafkah yang utama.
Dengan kondisi perkawinan di usia yang masih muda, begitu banyak problem terkait ketahanan keluarga, baik pertumbuhan anak (balita) yang dikhawatirkan mengalami tumbuh pendek (stunting), pendapatan ekonomi yang terbatas, dan kekerasan verbal ataupun fisik yang dialami perempuan. Keluarga batih muda sebagai cikal bakal tunas pembangunan perlu dikuatkan relasi kesetaraannya agar mempunyai daya tahan yang kuat.
Literasi Gizi
Perempuan harus memperbaiki pemahaman mengenai literasi gizi. Yakni menyangkut pemenuhan zat gizi mikro yang terdiri atas zink (Zn), besi (Fe), yodium (I), folat, dan vitamin A yang harus dipahami oleh para ibu muda. Ini sangat vital karena menyangkut kualitas hidup anak ke depan.
Pemerintah melalui Kemensos telah berupaya mengintervensi gizi spesifik melalui Program Bantuan Pangan Nontunai (BNPT) menjadi Program Sembako. Dari semula Rp 110 ribu menjadi Rp 150 ribu per Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang ditujukan bagi pengguna Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Tambahan Rp 40 ribu digunakan untuk memperkuat konsumsi gizi keluarga dengan membeli daging, ikan, ayam dan kacang-kacangan.
Hal ini sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk menurunkan angka balita tumbuh pendek. Pendataan akurat terhadap jumlah warga miskin menjadi penting agar penerima manfaat tersebut tepat sasaran dan tidak keliru kepada warga yang mampu. Perempuan harus menerima akses ini secara tepat.
Peka Data
Perempuan sebagai individu penggemar medsos yang akrab dengan dunia daring platform digital harus peka dengan intervensi terkait data pribadi. Jika menilik dengan pergerakan kecepatan teknologi, muncul terminologi mahadata atau big data sebagai sebuah kanal pendataan dalam jumlah besar untuk keperluan bisnis. Data ini menyimpan informasi pribadi seseorang yang rawan disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Perempuan harus paham dengan entitas data pribadi yang berpotensi menjadi data massal yang akan dengan mudah dikonsumsi publik, apalagi diklaim guna kepentingan politik tertentu. Di sisi lain, Bonus Demografi 2030 yang akan kita tuai sebaiknya sudah tersaji dengan data terpilah yang berisikan klasifikasi latar belakang individu yang rigid dan terukur. Dengan demikian akan mudah untuk menyiapkan peta jejaring dan keahlian, utamanya perempuan harus berkiprah di semua ruang publik dengan rutin meregenerasi kepemimpinan.
Selain itu menciptakan generasi Indonesia unggul yang adil dan setara hendaknya menjadi trickle down effect atau menetas ke bawah yang harus disiapkan secara merata di seluruh provinsi mulai dari sekarang. Dengan bersikap kritis terhadap masalah yang dihadapi perempuan, mempersiapkan generasi tumbuh anak yang tidak terjebak pada prevalensi kekurangan gizi ,serta paham terhadap rasionalisasi (maha) data publik kiranya perempuan akan mampu mengakselerasi dan melindungi kepentingan publiknya guna lebih produktif dalam menjaga ketahanan bangsa serta mempercepat tujuan pembangunan selaras dengan entitas SDG’s. No one left behind. (detik)