SABUROmedia, Ambon –  Kasus yang menimpa warga desa administrasi di Sabuai Pulau Seram, Maluku mendapat tanggapan serius dari Moluccas Democratization Watch (MDW). Melalui siaran pers dan penyataan sikap yang disampaikan kepada media (26/02).

Koordinator Monitoring dan Advokasi MDW, Kolin Leppuy menjelaskan, Penahanan hingga penetapan status tersangka kepada 2 warga desa Sabuai inprosedural. Karena itu Polsek Werinama diminta jelaskan ke publik letak kesalahan mereka dengan kedudukan hukumnya. Mengapa yang lain dipulangkan sedangkan 2 orang sisanya ditahan bahkan ditetapkan sebagai tersangka?

Pihak Polsek Werinama harusnya melihat kasus tersebut dari spektrum yang lebih luas tentang mengapa sampai warga Sabuai melakukan protes kepada PT. Sumber Berkat Makmur (SBM) ? Harusnya dilihat rentetan peristiwa hukumnya bukan terfokus pada satu peristiwa hukum yang bersifat tunggal saja. Ini sangat keliru.

Desa Sabuai adalah Desa adminstrasi yang terletak di Kecamatan Siwalalat. Pada Kecamatan Siwalalat sendiri terdapat Polsek Persiapan yang dalam prosesnya sudah melakukan tugas-tugas kepolisian. Nah harusnya Polsek Siwalalat yang melakukan penahanan sesuai wilayah hukumnya. Tapi kenapa Polsek Werinama yang lakukan penahanan bahkan penetapan tersangka? Harap diperjelas. Jangan sampai menimbulkan preseden buruk !

Tindakan warga desa Sabuai menghentikan aktivitas PT. SBM karena dinilai telah merusak situs-situs keramat yang juga (mestinya) diatur dalam Amdal sosialnya bukan saja lingkungan. Artinya Dinas Pertanian SBT sebagai pemberi izin perkebunan pala kepada PT. SBM harusnya paham bahwa Amdal itu bukan saja berkaitan dengan aspek lingkungan semata tetapi juga aspek sosial budaya sebagai salah satu syarat penting dikeluarkannya sebuah Amdal.

Pertanyaannya, adakah di dalam Amdal yang dikantongi PT. SBM itu memuat analisis mengenai aspek sosial budaya masyarakat desa Sabuai pada areal 1000 Hektar yang diizinkan sebagai wilayah konsesi perkebunan itu ataukah tidak? Sebab kalau ada, pasti PT. SBM tidak akan merusak bagian-bagian tertentu pada hutan Gunung Ahwale yang terdapat situs keramat seperti kuburan leluhur yang akhirnya memicu protes dan penolakan warga Sabuai. Dengan demikian, posisi Warga Sabuai tidak salah. Dan Polsek Werinama harusnya menahan pihak pembuat Amdal tersebut karena mengabaikan aspek sosial budaya yang akhirnya memicu konflik.

Tindakan Warga Sabuai sudah sesuai dengan pasal 1 ayat (7) UU nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan Jo Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 “Hutan Adat Bukan Hutan Negara”. Jadi menahan bahkan menetapkan mereka sebagai tersangka adalah tindakan pembangkangan terhadap kedua produk regulasi ini, termasuk juga UU Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Selanjutnya, MDW mendesak dan mengharapkan agar kasus ini harus dilihat secara murni dan objektif. Dengan kata lain, elit-elit lokal di SBT tidak mengelola kasus ini sebagai komoditi politik agar proses penyelesaiannya tepat sasaran dan menguntungkan warga desa Sabuai. Lebih lanjut kasus serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. (SM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *