Oleh: Abdul Karim Tawaulu
SABUROmedia, – Islam bukan saja sekadar agama dalam rana institusinya, tapi lebih dari pada itu merupakan satu sistem nilai (value system) yang berfungsi mengatur semua dimensi kehidupan pemeluknya. Mulai dari hal yang sepele sampai hal-hal yang besar dan komplek. Mulai dari urusan masuk toilet sampai urusan ekonomi, semuanya menjadi wacana Islam. Nah, bicara soal ekonomi ada hal yang menarik untuk dikaji, yakni transaksi jual beli yang dipenuhi dengan praktek-praktek kecurangan. Bagaimana Islam memandang praktek semacam ini dan bagaimana dampaknya bagi penjual dan pembeli serta relevansinya dengan ekosistem perekonomian kita?
Jual beli (bai’u) menurut Syaikh Ibrahim Muhammad al-Jamal dalam bukunya Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (1986), jual beli adalah tukar menukar harta secara suka sama suka atau memindahkan milik dengan mendapat pertukaran menurut cara yang diizinkan agama (syariah). Jual beli yang dijalankan dengan prinsip-prinsip keridhoaan (suka sama suka) merupakan satu bentuk perekonomian yang diakomodir Islam. Artinya sekalipun ekonomi merupakan domain muamalah (sosial) akan tetapi prinsip keadilan, equality, keterbukaan dan keridhoaan itu menjadi sangat penting di dalamnya. Ini semata-mata agar terpenuhi hak-hak dari penjual dan pembeli. Pembeli memenuhi hak penjual dengan tidak menawarkan harga yang terlampau murah, dan penjual menunaikan hak-hak pembeli dengan kondisi barang dan takaran yang sesuai.
Namun saat ini suatu fenomena transaksi perdagangan yang sangat memilukan dada terpampang nyata di pasar-pasar tradisional atau di tempat perdagangan elit. Prinsip keadilan sebagaimana yang diisyaratkan agama diabaikan begitu saja. Seakan-akan tanpa kecurangan perdagangan tidak mendapatkan keuntungan. Padahal keuntungan secara filosofi mengalir dari dua jalur; jalur syariah (prerogatif Allah) dan jalur ikhtiar atau usaha. ini mestinya disadari oleh para pelaku ekonomi tersebut. Pedagang yang menyandarkan ikhtiarnya kepada Allah akan selalu berusaha untuk mengadakan transaksi jual beli berdasarkan al-iqtisadul syariah (tujuan syariah). hak-hak pembeli ditunaikan dengan baik, jauh dari perilaku ghoror (kecurangan), dan senantiasa yakin bahwa Allah-lah yang memberi rezki.
Di lain pihak aktifitas perdagangan yang mengabaikan prinsip syariah cenderung menghalalkan segala cara. Segala cara dilakukan asal keuntungan berlipat dan barang tetap tersedia. Ikhtiarnya hanya disandarkan pada aspek materiil semata. Tanpa mau melibatkan Allah dalam aktifitas perdagangannya. Jalur pertama terasa baginya “pengekang” karena penuh dengan aturan yang dapat menghambat laju keuntungan. Alhasil timbangan dicurangi, takaran disiasati, plus kondisi barang dimanipulasikan.
Al-Qur’an sebagai kalam Allah telah banyak memberikan informasi tentang perilaku manusia yang dapat kita jadikan ibroh dalam menjalani kehidupan ini. Bagaiman Allah ceritakan akhir kehidupan kaum Madyan. Kaum yang sarat akan kecurangan dalam melakukan transaksi jual belinya.
“Dan Allah telah membinasakan kaum Nabi Syu’aib dan menghancurkan mereka karena mereka telah berbuat curang kepada orang lain dalam hal timbangan dan takaran”. Kemudian Dia berfirman seraya mengancam mereka: alaa yazunnu ulaa-ika annahum mab’uutsuuna liyaumin ‘adziim (“Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar?”). Allah menjanjikan mereka akan azab yang kelak mereka terima di kiamat nanti. Bahwa akibat dari kecurangan itu Allah akan menimpahkan azab-Nya kepada mereka. Dalam surah Hud ayat 95, Allah SWT mengabarkan kepada kita “dan tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia, dengan rahmat dari Kami, dan Kami binasakan oleh suara yang mengguntur lalu mereka mati bergelimpangan di rumah-rumah mereka”.
Kaum Madyan adalah kaum yang terkenal maju dalam aspek ekonomi. Pasar-pasar dan pusat-pusat perekonomian berkembang pesat. Namun sayang, akibat kecurangan yang mereka buat, Allah binasakan mereka tiada tersisa, kecuali orang-orang beriman. Fakta histori ini mestinya kita jadikan sebagai pelajaran, bukan malah sebaliknya mempraktekkan kembali.
“waahallallahu bai’u” transaksi jual beli dihalalkan Allah, bagitu kata Qur’an. Kenapa? karena di sana terdapat aktifitas kehidupan. Pedagang dan pembeli berada dalam satu kepentingan mulia, yakni menggairahkan roda kehidupan manusia. Pedagang beras menjual beras karena itu dibutuhkan oleh pembeli untuk mengganjal perutnya. Sebaliknya pedagang membutuhkan pembeli beras untuk tujuan yang sama pula. ada simbiosis mutualism. ada rantai kemaslahatan yang terikat kuat di sana. Maka konsep al-adl (keadilan) itu penting agar tercipta keseimbangan dan keteraturan hidup. Baik itu sebagai pedagang maupu pembeli.
Dalam konteks negara, prinsip perekonomian yang disusun oleh para founding kita berasaskan Pancasila, sehingga dikenal dengam nama “ekonomi Pancasila”. Itu artinya nilai-nilai fundamen dari aktifitas perekonomian negeri ini disusun berdasar pada lima sila yang ada dalam batang tubuh Pancasila tersebut. Sila pertama. Ini maqosidul bai’u (prinsip ekonomi) Negara kita. Isyaratnya adalah semua pelaku usaha hendaklah menjadikan agama sebagai pagar etis dalam berekonomi. Tanamkan prinsip keadilan dalam menakar dan menimbang barang, penuhi hak-hak pembeli, jauhkan kapitalisasi ekonomi, dan tak boleh ada prinsip monopoli harga. Sila kedua. Visi utama dari perekonomian bangsa adalah kemanusiaan. Hasil dari transaksi ekonomi muaranya kepada kemaslahatan bersama. Ekonomi disusun berdasarkan asas keadilan dan kebersamaan, agar supaya perekonomian itu berada dalam jalur keadaban.
Sila ketiga. Ekonomi hendaknya membuat kita berada dalam satu ikatan, yakni persatuan dan kesatuan. Karena hanya dengan persatuan kemiskinan dapat kita tekan, dan kesejahteraan dapat kita raih. Sila keempat. Yang cukup fundamental dari prinsip ekonomi juga adalah karakter musyawarah. Itulah makanya dalam Islam, suatu transaksi jual beli dapat disebut halal jika terdapat asas aqad wa al-ridho perjanjian dan saling meridhokan. Penjual menjual dengan harga yang pantas dan pembeli membeli dengan tawaran yang pantas pula. Tidak boleh ada penipuan di dalamnya. Sedangkan sila kelima, ekonomi mesti disusun berdasarkan prinsip egaliter, dan sosialis, dalam artian tak boleh ada ketimpangan, kesenjangan, dan keretakan dalam kehidupan sosial. Pelaku usaha paham benar bahwa ekonomi yang disyariatkan Tuhan adalah social justice; keadilan sosil. Ada pengusaha yang kaya raya, lantas kekayaannya juga bermanfaat kepada tetangga, rakyat miskin dan kaum terlantar. Inilah yang dicontohkan Rasulullah saw. dengan para sahabatnya.
Pasar Mardika dan Batu Merah merupakan dua pasar sentral yang dimiliki Kota Ambon. Dari dua pusat ekonomi tradisional inilah ekosistem perekonomian Kota Ambon berada dalam titik aman, bahkan dapat dikata memberi sumbangsi bagi surplus PAD Kota Ambon. Geliat ekonomi terasa laju. Pertumbuhan ekonomi Kota Ambon beranjak naik, walau tertati-tati. Itu artinya tanpa dua pasar ini, ekonomi Amboina City akan mengalami defisit. Namun yang sungguh disayangkan adalah geliat ekonomi ini tidak berbanding lurus dengan perilaku ekonomi para penggeliatnya (pedagang). Kecurangan dan penipuan berkembang pesat mengikuti lajunya pertumbuhan ekonomi kotanya. Ironisnya hal ini telah berlangsung lama, dan tidak pernah ada teguran dari stakeholder terkait, baik pemerintah Kota maupun institusi keagamaan sebagai basis religiutas. Cupa (wadah) yang digunakan untuk mengukur cabe dibungkus dalamnya sehingga terlihat dari luarnya asli, tapi di dalamnya dilapisi zen atau alumunium. hasilnya takaran tidak sesuai kemestian. Yang lebih mengherankan lagi, para pelakunya 95% beragama Islam. Padahal dalam surah Al-Muthaffifinn Allah telah memberi peringatan; “Wailullil muthaffifin” (dan celaka besarlah orang-orang berbuat curang). “waizaa kaaluuhum awzanuhum yukhsiruun” (dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi).
ini yang nampak dari perilaku jual beli di sana. Kesadaran mereka dapat saya katakan berada pada titik nadir. Padahal jika saja mereka mau memahami bahwa dampak mudaratnya sangat besar. Terjadi injustice social (ketidakadilan sosial), hak-hak pembeli dikebiri, Allah cabut berkah dari rezki yang didapatkan, Allah jadikan pendapatan itu istidroj (murka Allah), ketimpangan ekonomi terus menganga, dan pasti Allah turunkan bala (bencana, azab) sebagaimana yang pernah ditimpakan kepada kaum Madyan dulu. hati-hati!
وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ
“Dan tegakkalah timbangan itu dengan adil, dan janganlah kamu mengurangim neraca itu” (QS. Ar-Rahman:9).
Semoga ini bermanfaat kita terutama saudar-saudariku pelaku usaha. Tak akan berkah harta yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak halal. Kehalalan penghasilan bukan saja dari sumber, jenis, bentuk, dan tipe, tapi juga dari cara. Cara mendapatkan penghasilan itu. Jika baik, maka Allah turunkan berkah, jika curang maka “laa yukhliful mii’ad”; Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya. Wallahu a’alam. (**)
Penulis adalah Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Ambon, dan Koordinator Zakat Community Development (ZCD) BAZNAS Provinsi Maluku