Oleh: Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan (Pengelola Rumah Baca “HITI-HITI HALA-HALA” Ambon,  Pembina Nasional Forum Mahasiswa Studi Agama-Agama se-indonesia (FORMASAA-I) 2018-2020)  

SABUROmedia, Ambon – Keramologi, juga dikenal sebagai Ilmu Keramik merupakan salah satu ilmu bantu dari sejarah. Ilmu ini mempelajari tentang benda-benda bersejarah yang terbuat dari keramik, khususnya tahun pembuatan, bahan, cara pembuatan, dan keasliannya.

Salah satu sumber pertama dimana kata disebutkan adalah kutipan dari pakar keramik W. Hamilton, yang menggunakan kata “keramograf” antara tahun 1791 dan 1795. Setengah abad kemudian, istilah yang dipakai adalah “keramografi”, yang dikemukakan oleh Charles Lenormant dan Jehan de Witte.

Pada abad ke-20, istilah “keramografi” digantikan dengan “keramofil”. Tetapi sejak tahun 1988 (setelah berdirinya Asosiasi Keramologi), istilah yang digunakan secara internasional adalah “keramologi”. Berasal dari kata Ceramic dan Logos. Ceramic artinya Keramik, sedangkan Logos berarti Ilmu atau Studi.

Beberapa tahun lalu ditemukan sebuah guci di daerah Batubooi di Namlea, Kabupaten Buru (Pulau Buru). Saat alat berat sedang melakukan penggalian tanah untuk pelebaran jalan, ditemukanlah benda berkilauan. Saat diangkat, ternyata itu adalah keramik berwarna putih-biru jenis porselen.

Dalam kesempatan bincang dengan Bupati Kabupaten Buru, Ramly Ibrahim Umasugy, S.Pi., M.M. di Warung Makan “Apong” Wayame, Teluk Ambon, Kota Ambon, orang nomor satu itu memperlihatkan foto benda yang dimaksud. “Suatu saat Ustad harus memeriksa benda ini, sebenarnya kapan dibuat dan berasal dari mana,” kata dia berharap.

Penulis pun memeriksa keramik itu berdasarkan ilmu Keramologi. Meski belum melakukan penelitian secara langsung melalui cek benda fisiknya, namun dari ciri-ciri yang terlihat dari gambarnya didapat beberapa kemungkinan.

Pertama, fisik guci. Bila melihat bentuk dan bahan yang dipergunakan, maka itu termasuk ke dalam porselen. Jenis porselen lebih “bening” ketimbang keramik atau tembikar/gerabah. Oleh sebab itu, ada yang mengatakan bahwa porselen adalah “kerang” yang bisa tembus pandang saking beningnya.

Kedua, motif atau ilustrasi pada permukaan. Nampak pada porselen itu ada gambar daun teratai (lotus/padma). Ini menandakan ada pengaruh India atau Hindu. Motif ini biasanya terdapat pada bagian atas keramik atau pada leher keramik yang panjang.

Masih mengenai motif, nampak juga satu binatang mitologi China (si ling) yaitu Phoenix atau Feng huang. Binatang ini mirip burung, tetapi digambarkan memiliki kepala seperti burung pelikan, berleher seperti ular, berekor sisik ikan, bermahkota burung merak, bertulang punggung mirip naga, berkulit sekeras kura-kura.

Ketiga, dari segi warna. Warna dasar biasanya tetap putih, sedangkan warna ornamen bisa merah bata, biru atau campuran pecah warna. Ini merupakan suatu kaidah yang lumrah dari keramik China. Dari pewarnaan ornamen, kita sudah dapat langsung menebak asal masa pembuatannya.

“Ini merupakan keramik yang berasal dari Dinasti Ming,” kata Rakeeman R.A.M. Jumaan via pesan instan WhatsApp (WA) kepada Ramly Ibrahim Umasugy, S.Pi., M.M., Bupati Kab. Buru. “Keramik ini dibuat sekitar tahun 1368-1644 alias abad ke-14 hingga abad ke-17 Masehi.”

Penulis menjelaskan lebih lanjut, bahwa berdasarkan bahan pembuatannya, guci itu termasuk ke dalam jenis porselen. Sebab, itu terbilang halus dan mirip pelastik bening. Dari bahan yang dipergunakan, ini menunjukkan pada masa dinasti siapa dibuat. Hanya pada Dinasti Ming yang menggunakan bahan ini.

Berikutnya, terkait ornamen. Gambar teratai alias lotus atau padma identik dengan India atau Hindu. Sedangkan binatang mitologi supranatural (si ling) China yaitu Feng huang atau Phoenix (Feniks) identik dengan kekaisaran China. Meskipun di beberapa negara –misalnya Mesir atau Romawi– mempercayai mitologi ini juga, namun tidak menggunakannya sebagai ornamen keramik.

Itu sebabnya, hanya para Dinasti China yang menggunakan ornamen Feng huang ini. Sejak masa Dinasti Huang Ti (2698-2598 sM) dilanjutkan Dinasti Han (205 sM-220 M), motif ini dipergunakan dan dikhususkan untuk sang Ratu. Misalnya untuk ornamen pakaian, konde, peralatan makan/minum dan sebagainya.

Lalu, dari segi warna ornamen. Ini juga bisa dengan mudah ditebak. Bila keramik berwarna dasar putih itu menggunakan ornamen berwarna merah bata, maka dipastikan itu dibuat pada masa Dinasti Yuan. Bila menggunakan ornamen warna biru, maka dibuat pada masa Dinasti Ming. Kalau menggunakan warna campuran, maka dipastikan dibuat pada masa Dinasti Qing.

“Satu hal, yang menjadi ciri porselen dari masa Dinasti Ming. Yaitu, tiap hasil pembuatannya dibubuhi empat atau enam huruf China yang menunjukkan nama dinastinya. Bila ini ada, dipastikan memang berasal dari masa itu,” papar Sejarawan dan Arkeolog asal Indramayu itu.

Namun, keberadaan empat atau enam huruf China ini juga tidak menjadi acuan utama. Yang penting di guci itu tidak terdapat tulisan Petrus Regaud, Maastricht, Cenis, Made in Holland. Sebab bila ini ada, maka dipastikan itu adalah keramik (imitasi) buatan Eropa. Petrus adalah pendiri pabrik keramik modern di Belanda, yaitu di Maastricht yang disebut Kota Keramik, 1863-1913.

“Perlu cek fisik untuk membuktikan keasliannya,” pungkas mantan dosen The Comparative Study of Religions, Bahasa Kuno dan Arkeologi Alkitab di Institute for Modern Language and Theology (JAMAI) Bogor, 2005-2018 tersebut mengakhiri komunikasi dengan orang nomor satu di Kabupaten Buru tersebut. (**)  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *