SABUROmedia, Ambon – Di awal tahun 2020 ini, kita di kagetkan dengan beberapa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, terutama  yang sering terjadi di beberapa tempat di Maluku.

Kejadian amoral ini sering kali menimpa anak sekolah, seperti yang terjadi di salah satu sekolah yang berada di kecamatan salahutu Maluku Tengah dan kemarin baru saja menimpa salah satu siswi pada Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kota Namlea Pulau Buru, Maluku.

Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada tahun 2019 bahwa kasus kekerasan seksual untuk perempuan dan anak di lingkungan sekolah angkanya sangat memprihatinkan bisa mencapai 123 orang.

Melihat kondisi ini, Korps Himpunan Mahasiswa Islam Wati (KOHATI) Cabang Ambon kembali mempertanyakan Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2019.

Kepada Saburomedia.com Kamis (20/02/2020), Ketua Umum KOHATI Cabang Ambon, Mega Lina mengatakan bahwa kita perlu pertanyakan tentang regulasi yang telah di terbitkan 2015 lalu, sudah sejauh mana pengaplikasiannya oleh dinas pendidikan yang ada di provinsi atau kabupaten kota.

Menurut Mega, regulasi yang mengatur penanganan kasus kekerasan seksual di sekolah itu perlu di terapkan oleh pihak sekolah sebab itu penting untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual bagi perempuan dan anak di lingkungan sekolah atau ruang lingkup pendidikan.

Sebab peraturan tersebut mengamanatkan tiap-tiap sekolah untuk membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan yang terjadi dari guru, kepala sekolah, dan bahkan orang tua / wali murid. “ Bahkan sekolah juga perlu membuat mekanisme pelaporan hingga pemulihan korban kekerasan dengan jelas, “ ungkapnya.

Kata Mega,KOHATI Cabang Ambon perlu pertanyakan produk hukum Kemendikbud itu karena sangat penting untuk melindungi adik-adik perempuan kita dari perbuatan-perbuatan tidak manusiawi yang akhir-akhir ini sering terjadi.

Dari regulasi yang ada kemudian para pihak sekolah bisa membuat  tim kemudian menyusun atau membuat semacam Standar Operasional Prosedur (SOP), apa yang harus dilakukan saat anak menerima kekerasan dari temannya ataupun gurunya.

Selain mengatur sanksi kepada pelaku, SOP hingga tim yang dibentuk juga perlu menyediakan fasilitas pemulihan bagi korban. Pemulihan itu penting agar memutuskan mata rantai kekerasan, sebab kebanyakan korban kurang begitu mendapatkan pemulihan yang baik. “ Harapan kami semoga semua sekolah-sekolah yang ada di kota Ambon bahkan di Maluku bisa melek akan Permendikbud 84 itu, dan Kepala Dinas di daerah ini juga bisa sadar akan hal itu kemudian bisa di perhatikan. Sebab kondisi seperti ini tidak bisa kita diamkan begitu saja, karena sudah sangat memprihatinkan sekali kekerasan seksual yang sering menimpa adik-adik kita di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah, “ tutup Mega. (aswin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *