Oleh: Dr. Nasaruddin Umar (Dosen Hukum Tata Negara IAIN Ambon, Anggota Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI Prov. Maluku)
SABUROmedia, Ambon – Keinginan sekitar 660 Warga Negara Indonesia (WNI) eks atau mantan ISIS yang mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk kembali ke Indonesia menjadi sorotan berbagai pihak termasuk pemerintah
Berbagai basis argumentasi dan Isu hukum mendasari wacana ini pertama apakah eks WNI ISIS layak untuk diterima kembali setelah bergabung dengan ISIS, kedua apakah secara otomatis ia kehilangan kewarganegaraannya, ketiga apakah perlu menerimanya kembali namun dengan penegakan hukum dan memberikan program deredikalisasi.
Tentu masing-masing argumen ini memiliki sisi kelebihan dan kekurangan. Namun dalam persefektif hukum konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Masalah ini haruslah didudukkan aspek hukumnya dengan baik dan terukur. Sebab apapun sikap pemerintah maka segala tindak pemerintahan harus didasarkan pada hukum (wet matigheid van bestuur) sebagaimana diatur dalam UU 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 5 bahwa penyelengaraan administrasi pemerintahan berdasarkan asas legalitas, asas perlindungan terhadap hak asasi manusia dan asas umum pemerintahan yang baik. Disamping itu tidak dibolehkan ada kriminalisasi atas warga negara oleh negara tanpa dasar hukum pidana yang jelas.
Pertama jika kita menelisik lebih jauh tentang permasalahan ini maka secara konstitusional posisi negara hendaknya didasari sesuai staat sidee kita yakni tujuan negara secara tegas hadir untuk melindungi segenap dan seluruh tumpa darah Indonesia, ada kewajibam filosofis negara harus hadir untuk melindungi dan memberikan kasih sayang kepada rakyatnya. Dari aspek hak asasi manusia dalam UUD NRI Tahun 1945 memberikan penegasan bahwa setiap orang berhak mendapatkan status kewarganegaraan, bahkan untuk kembali memilih kewarganegaraan tertentu. Namun demikian negara Indonesia adalah negara hukum artinya segala wujud perlindungan negara dan pelaksanaan hak asasi manusia tunduk pada mekanisme hukum negara.
Kedua, dalam melihat persoalan ini posisi atau kedudukan hukum legal standing mereka haruslah jelas, apakah yang bersangkutan sebagai WNI dan belum dicabut kewarganegaraannya secara resmi oleh negara, artinya sepanjang mereka belum dicabut kewarganegaraannya maka melekat hak dan kewajiban sebagai warga negara, termasuk hak untuk kembali. Namun dari sisi penegakan hukum jika ada pelanggaran hukum yang dilakukan maka harus dilakukan identifikasi pelanggaran hukum apa yang dilakukan dan saluran hukumnya adalah penegakan hukum atau law enfocement.
Dari sisi keterlibatan mereka dalam organisasi teroris seperti ISIS maka kita memiliki produk hukum yakni UU No.5 Tahun 2018 tentang Perubahan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. Jika kedudukan sebagai orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikalisme. Maka secara regulasi melalui UU ini dalam Pasal 43A Pemerintah memiliki kewajiban melakukan pencegahan tindak pidana terorisme. Pencegahan yang dimaksud melalui kesiapsiagaan nasional, deredikalisasi dan kontra radikalisasi.
Kententuan deradikalisasi dalam pasal 43 D ayat 2 disebutkan bahwa deredikalisasi dilakukan kepada tersangkah, terdakwa, terpidana, narapidana, mantan narapidana terorisme dan orang atau kelompok orang yang sudah terpapar radikal terorisme.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka eks WNI ISIS dapat diberikan program deradikalisasi oleh pemerintah dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang terjadi sehingga menjadi warga negara yang baik. Namun jika mereka telah memperoleh proses hukum sebagai terorisme dan dipandang telah melanggar undang-undang termasuk UU Kewarganegaraan dan UU Terorisme, maka penegakan hukum haruslah dijalankan dan dihormati. Bagaimanapun kepentingan negara, hukum dan keselamatan rakyat juga harus dijaga. Sehingga kehadiran negara selalu dalam konteks negara hukum Pancasila yang senantiasa menjungjung tinggi hukum dan hak asasi manusia diatas segala-galanya.
Maka opsi Presiden Jokowi untuk membentuk tim sebelum mengambil keputusan, sudah tepat. Agar tim nantinya akan melakukan pendalaman dan kajian hukum, identifikasi, verifikasi, penggalian informasi soal status, kedudukan, posisi yang bersangkutan sebelum nantinya Presiden mengambil keputusan. Demikian ulasan singkat ini, semoga bermanfaat.(**)