SABUROmedia, Jakarta — Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak awal berdirinya pada tahun 1975 merupakan hasil musyawarah para ulama, zu‘ama, dan cendekiawan Muslim dari berbagai penjuru Nusantara. Kelahiran MUI tidak lepas dari semangat kolektif ormas-ormas Islam, para ulama perwakilan provinsi, serta tokoh-tokoh cendekiawan untuk menghadirkan sebuah wadah pemersatu umat. Kini, memasuki usia ke-50, MUI kembali harus menegaskan jati dirinya sebagai Rumah Besar Umat Islam.

Momentum Musyawarah Nasional (Munas) XI MUI Tahun 2025 menjadi ruang strategis untuk melakukan konsolidasi dan fungsionalisasi organisasi agar peran MUI semakin kuat sebagai rumah besar yang menaungi seluruh unsur umat Islam Indonesia.

“Dengan demikian, keberadaan MUI akan dirasakan manfaatnya oleh seluruh umat Islam,” tegas Nanang Mubarok, Ketua Umum DPP BKPRMI.

Menurut Nanang Mubarok, secara prinsip MUI telah menjalankan fungsi tersebut selama ini. Namun, ia mengakui bahwa kepengurusan MUI masih tampak didominasi oleh beberapa organisasi tertentu sehingga belum sepenuhnya mencerminkan tagline MUI sebagai wadah musyawarah ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim.

“Jika MUI masih seperti itu, maka MUI belum kaffah menjalankan misi Islam rahmatan lil ‘alamin dan belum berfungsi sebagai Rumah Besar Umat Islam yang menaungi banyak ormas,” tegas Nanang.
Karena itu, BKPRMI mendorong agar kepemimpinan dan kepengurusan MUI periode 2025–2030 didesain lebih inklusif, terbuka, dan representatif.

“Sebagai Rumah Besar Umat Islam, kepemimpinan MUI ke depan harus melibatkan seluruh ormas, termasuk generasi muda organisasi Islam seperti BKPRMI dan lainnya,” ujar Nanang Mubarok.

Nanang menambahkan, “Kepengurusan MUI mendatang harus menampung seluruh unsur umat, baik di pengurus harian, komisi, maupun lembaga. Jangan ada dominasi. Dominasi tidak mencerminkan ukhuwah Islamiyah dan kebersamaan umat. Bahkan akan lebih elok bila para wakil ketua umum Dewan Pimpinan berasal dari berbagai ormas Islam.”

Nanang Mubarok menegaskan bahwa tantangan umat Islam Indonesia ke depan semakin besar, berat, dan kompleks. Karena itu, MUI harus tampil sebagai problem solver, bukan sekadar simbol organisasi.

“MUI harus menjadi lokomotif keumatan dan kebangsaan yang menghela umat ke arah kemajuan,” ujarnya.
MUI harus tetap beristiqamah sebagai khadimul ummah (pelayan umat) dan shadiqul hukumah (mitra strategis pemerintah). Sikap MUI terhadap pemerintah harus tegas namun proporsional.

“Jika pemerintah baik dan benar, MUI wajib mendukung. Tetapi jika pemerintah salah, menyimpang dari amanat konstitusi, undang-undang, atau nilai-nilai agama, maka MUI khususnya para ulama harus berada di shaf terdepan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar,” pungkas Nanang. (SM)