SABUROmedia, Ambon – Gelombang suara-suara bernada kritisitas masih terus beresonansi menghirukpikuki peristiwa Kongres XXIX AMGPM yang telah berlalu. Dan, Beta sendiri memilih untuk mengambil jarak dari keterlibatan menilai kembali seluruh proses dan hasilnya –bukan karena tidak tahu dan tidak mengerti “sesuatu” yang terjadi padanya melainkan ingin secara lebih produktif menggunakannya untuk bahan telaah meneropong fenomena yang lebih besar.
Satu hal yang pasti, bagi mereka-mereka yang terus mengkritik dalam ketidakpuasannya, Beta temukan pelajaran betapa seyogyanya beriman secara buta (tanpa penerangan pengetahuan) jangan lagi diteruskan jika ingin bertahan menghadapi gempuran rasionalitas politik praktis yang makin inkarnasi (menubuh sebagai gereja namun me-roh sebagai politik praktis), suatu realitas yang karakteristik dasarnya eksploitatif tak berampun yang ke depan akan semakin menusuk di aras jantung kedasaran religiusitas baik pada target personal (umat) maupun institusi. Pada titik inilah, spiritualitas (dibaca sebagai iman) dan Agama (Gereja) cukup serius dipertaruhkan mengingat Agama sendiri secara etis tidak boleh menutup dirinya terhadap realitas majemuk kehidupan.
Dalam Beta pandangan, Agama memiliki peran dan fungsi yang sangat kuat di tengah masyarakat –termasuk masyarakat Maluku. Merujuk dari situ, cukup alasan untuk mengatakan bahwa pada konteks konteks tertentu, Maluku bernafas dalam atmosfer serta kultur sosial dan eksistensi Gereja (dalam hal ini menujuk GPM).
Kenapa GPM yang dijadikan titik telaah ialah karena merupakan insitusi sosial keagamaan terbesar dan terluas di Maluku, dan karena itu memiliki sejumlah prasyarat yang menandai generalitas dan efektifitas pengelolaan basis sosial dan kultural. Hampir seluruh sekat ruang publik yang beresonansi pada kantong-kantong tatanan masyarakat, baik di perkotaan maupun negeri-negeri –yang terisolir sekalipun, memperlihatkan peran institusi gereja di sana.
Beberapa peristiwa bahkan menunjukkan bahwa Gereja justeru menjadi pemberi guidance pada sistem pengendalian pengaruh baik formal maupun informal dalam memfasilitasi proses dan prospek empowering civil society. Setting program-rogram pemberdayaan, penataan dan pengorientasian masyarakat pada keteraturan moral dan etik melalui pola-pola pembinaan dan pendidikan umat (pendidikan formal keumatan maupun pola-pola peribadatan) merupakan antara lain dari respons empowering sebagaimana Beta maksud. Dalam kaitan lain, gereja juga tertelisik agresif menunjukkan tanggungjawab perawatan lingkungan alam yang merupakan rumah kehidupan segenap makhluk hidup.
Dapat pula disaksikan bahwa sejauh ini gereja pun menjadi institusi alternatif yang aktif menopang masyarakat ketika akses kepada institusi pemerintah terkatup secara administratif atau politis. Sampai pada pengambilan peran kemitraan dengan pemerintah dan negara guna perawatan dimensi pluralitas yang bila acuh mendapat tanggapan kritis selalu menyimpan bahaya laten konflik.
Artinya apa? Bahwa dengan sokongan sosial kapital dan human kapital yang dimilikinya dalam wujud dominasi demografik, integralitas serta potensi politis, Gereja mudah memainkan peran-peran penguatan basis masyarakat.
Diantara banyak peran produktif yang diemban serta dimainkan Gereja secara institusial, satu yang kental mempersonifikasi kehadirannya adalah pada kancah kehidupan sosial politik masyarakat. Sebab itu, tidak dapat dinafikan bahwa di dalam kaitan peran dan positioning Gereja, segenap interaksi dan transaksi sosial –termasuk yang meliputi maping politik lokal– melibatkan energi baik langsung maupun tidak dari yang dipunyai Gereja.
Karena itu cukup wajar kita jumpai bila dalam beberapa wacana sosial politik, pihak Gereja ditengarai atau diindikasikan oleh sejumlah kalangan turut mensponsori transformasi tatanan daulat rakyat dalam wujud mengartikulasi peluang-peluang penghadiran pimpinan politik birokrasi lokal di kota Ambon dan Maluku atau alokasi dan distribusi aparatur upper management dan middle management pada sistem birokrasi pemerintahan, selain memprospek melalui instrumen pendidikan politik, masyarakat gereja yang hendak berkiprah di politik partai. Artinya, secara faktual, kehadiran Gereja telah menjadi sangat signifikan di pusaran arus pergulatan politik dan demokrasi (prosedural dan substansial). Gereja punya potensi “king maker”, menjadi penentu yang luar biasa.
Dua pertanyaan imajiner kemudian Beta ajukan dalam tulisan ini untuk beta jawab sendiri berkaitan daya jelajah ruang publik yang dilakoni Gereja.
Pertama; Apakah fenomena proses hingga hasil Kongres XXIX AMGPM memiliki korelasi incognito dengan perspektif yang beta kemukakan?
Kedua; Apakah peran yang dimainkan ini salah dan berakibat menjatuhkan Gereja dari ketinggian nilai dan predikatnya di atas langit sakral hingga terjerembab ke tubir dunia yang profan?
Jawaban pertama beta, “bisa saja ‘tidak’ tapi sangat bisa juga ‘iya’”.
Bergantung pada sejauh tiap tahapan dalam proses hingga hasil Kongres itu tidak dibalut intrik yang menguntungkan pihak-pihak tertentu yang di luar maksud terbaik bagi AMGPM itu sendiri (Kader dan institusi).
Sementara, untuk jawaban yang kedua adalah ‘tidak!’ karena justru apa yang dijalani Gereja pantas dan mulia dalam hakikat panggilan misiologisnya. Peran gereja dalam hal ini memperkuat daulat civil society bersamaan menunaikan nilai intrinsik panggilan gereja (menghadirkan damai sejahtera Allah). Sebab, bukankah di dalam hakiki daulat rakyat tertera daulat Tuhan, vox populi vox Dei.
Tulisan bagian 1
By (Hendry Nofry Pasalbessy – Aktifis AM GPM)