Oleh : Ardiman Kelihu
SABUROmedia, Ambon – Pilkada di Indonesia belakangan ini, terus menerus menghadirkan sejumlah
calon kepala daerah perempuan yang berasal dari keluarga politik tertentu.
Baik melalui orang tua, suami, maupun besan. Ini bukan situasi khas Indonesia, melainkan juga Asia secara umum. Kehadiran perempuan dalam pentas politik lokal juga, tak bisa dipisahkan dari kemajuan politik abad ini yang berkeinginan menempatkan perempuan sebagai artikulator kepentingannya secara langsung.
Sejumlah kawasan, seperti Eropa, Amerika, Afrika, dan Amerika Latin, sudah
lebih dulu menempatkan perempuan sebagai subjek politik. Mereka tidak sekadar menempatkan perempuan sekadar objek dari kegiatan-kegiatan politik.
Baik dengan menginstitusikannya secara formal dalam bentuk afirmasi kuota tertentu, model regulasi, hingga gerakan-gerakan sosial non-parlementarian yang menjamur disana sini. Tujuannya, agar pengambilan keputusan bisa dipegang langsung oleh kaum perempuan.
Berbeda dengan itu, perluasan politik perempuan yang terjadi di kawasan Asia justru terkesan agak lambat dalam mengaktivasi peran perempuan sebagai
subjek politik (Fleschenberg, 2018). Pemodelan representasi perempuan di Asia kental dengan jaringan politik keluarga. Karier politik seorang perempuan di Asia, khususnya Asia Tenggara, sangat bergantung dan memperoleh keuntungan
politik dari ikatan-ikatan keluarga (McVey 2000; Sidel 2004; Ufen 2006; Hawkeswor, 2012, Freschenberg, 2008). Persis juga seperti yang diamati Linda Richter (1990 :528) di Asia Selatan dan Tenggara, bahwa sebagian besar
jalur politik menjadi sangat terbuka bagi perempuan dikarenakan ikatan-ikatan
mereka dengan keluarga politisi laki-laki terkemuka. Beberapa ahli secara
berbeda menyebut ketergantungan terhadap keluarga ini sebagai families ties (Ritcher, 1990), political dynasties (Thompson, 2002), atau families connection
(Jahan, 1987) yang mengandalkan politisi laki-laki berpangaruh dalam keluarga seperti ayah maupun suami.
Tragisnya, meskipun seorang perempuan memiliki status sosial, ekonomi,
hak politik formal (Milwertz 2002; Lilja 2008 ; Fleschenberg & Derichs, 2011), serta representasi dalam posisi kepemimpinan politik dan lembaga perwakilan, akan masih tertinggal jauh dibanding laki-laki, baik secara nasional maupun
lokal (Choi, 2018). Alhasil, jika dibandingkan dengan kawasan kawasan lainnya, perempuan di Asia yang memiliki kemampuan pendidikan tinggi yang mumpuni sekalipun, masih sangat terbatas dalam menggunakan kekuasaan di komunitas lokalnya sendiri (Iwanaga, 2008:vii).
Corak ini meluas kemudian Indonesia hingga hari ini adalah model representasi politik perempuan berbasis keluarga pada setiap Pilkada maupun Pileg.
Sangat sering seorang perempuan calon kepala daerah di Pilkada diintrodusir
oleh jaringan politik keluarganya. Baik oleh suami yang sebelumnya menjabat sebagai kepala daerah, maupun ayahnya. Tujuannya bisa macam-macam, tapi satu pengertian kritis terhadap relasi macam ini adalah, adanya keinginan untuk mengendalikan sumber daya kekuasaan pada lingkaran kecil keluarganya.
Seturut dengan itu, beberapa penelitian melaporkan bahwa, trend keterlibatan perempuan kepala daerah di Pilkada sangat tergantung pada jejaring kekerabatan dan meningkat dari waktu ke waktu. Umumnya karena alasan elektabilitas maupun kuatnya modal finansial. Penelitian Perludem (2018) menunjukan
bahwa angka perempuan calon kepala daerah berlatar belakang jaringan politik kekerabatan di Pilkada tahun 2015 sebesar 23,39 persen. Pada Pilkada 2017
naik menjadi 31,82 persen, lalu meningkat jadi 39 persen di Pilkada 2018.
Penelitian yang persis juga menunjukan bahwa jejaring politik kekerabatan
dan perempuan menjadi sangat kuat di arena legislatif. Pada Pemilu 2009, terdapat 41,7 persen perempuan yang terpilih sebagai anggota legislatif
yang berasal dari jaringan politik dinasti. Sedangkan dari 97 anggota parlemen perempuan periode 2014–2019, terdapat 36 persen yang memiliki hubungan kekerabatan sebagai istri, putri, atau saudara perempuan dari politisi
atau pimpinan partai terpilih (Puskapol, 2014 : 6).
Perluasan ini menyisahkan kesan muram bahwa, sekalipun keterlibatan perempuan di Pilkada terus berlangsung, namun kontrol utama terhadap keterlibatan mereka masih dominan dipegang oleh elit politik laki-laki. Pembacaan paling luas dari fenomena ini mengantarkan kita untuk merumuskan sejumlah pertanyaan ulang tentang otonomi politik perempuan di Pilkada. Jangan-jangan, bahkan keterlibatan mereka justru memutar mundur
kepentingan perempuan dalam jerat dinastik yang korbannya tak lain adalah seorang perempuan.
Kalaupun keterlibatan Perempuan di Pilkada kerap diberi alasan partisipasi, rasanya alasan itu saja tak cukup untuk hari ini. Partisipasi tentu iya, tapi partisipasi tanpa artikulasi juga nonsense. Paling mungkin partisipasi tersebut akan turut menstrukturisasi jaringan politik keluarga dengan menaruh perempuan sebagai “etalasenya”. Ibaratnya perempuan tersebut hanya menjadi “jualan” dari sebuah struktur kekuasaan politik keluarga yang dominan
dikontrol oleh elit politik laki-laki. Atau malah sebaliknya, kondisi ini turut menstrukturisasi sejumlah calon kepala daerah perempuan untuk tunduk
dan mengikuti struktur kekuasaan keluarga yang telah lama dibangun oleh
elit politik laki-laki (baik suami maupun orang tuanya).
Berkaca pada pengalaman representasi perempuan yang masih tersandera struktur politik keluarga, maka segala artikulasi tentang kepentingan perempuan, baiknya tak dipercaya begitu saja dengan alasan jumlah atau kuota mereka
di dunia politik. Bahayanya lagi, jika semua persoalan ini diserahkan
secara “mentah” tanpa dipertanyakan secara radikal. Bagaimanapun, tidak selalu ada garansi bahwa kehadiran jumlah perempuan akan paralel dengan artikulasi kepentingan perempuan di politik. Argumen ini dapat dipercakapkan lebih radikal. Tujuannya agar keterwakilan perempuan di dunia politik tidak sekedar jadi keterwakilan “tubuh” melainkan menjadi keterwakilan “ide”. Sebuah keterwakilan dari partisipasi yang “absent ” ke artikulasi yang ”present”.
Berdasarkan sejumlah ulasan diatas, maka tulisan ini sekiranya akan
“bermain-main” pada persoalan tersebut dengan mengambil Pilkada tahun 2020 sebagai fokusnya.
*Sejumlah Istri di Beberapa Pilkada*
Kehadiran calon kepala atau wakil kepala daerah perempuan di Pilkada sangat bergantung pada kontrol dan penyebaran jaringan keluarga politisi laki-laki. Seorang perempuan minimal harus diintrodusir oleh orang tuanya, besan, atau suaminya. Itupun setelah jabatan kepala daerah tersebut telah mereka tempati dua periode sehingga tidak dimungkinkan untuk mencalonkan diri kembali. Introudusir jaringan politik keluarga dalam menghadirkan calon kepala daerah perempuan ditunjukan secara cepat pada beberapa daerah berikut.
Beberapa dari mereka diantaranya, Airin Rachmi Diany, walikota Tangerang Selatan dua periode (2011-2021) yang merupakan ipar dari Ratu Atut Chairiyah, Gubernur Banten dua periode (2011-2014). Ratu Atut sendiri adalah anak
dari Tubagus Chasan Sohib, seorang politisi senior Banten. Di Indramayu ada Anna Sophanah bupati Indramayu dua periode (2010-2020) yang adalah istri
dari Bupati Indramayu dua periode sebelumnya, Irianto Syafiudin (2000-2010).
Pada Pilkada tahun 2020 ini, kita menyaksikan perulangan yang persis dalam
list pasangan calon kepala daerah. Terdapat beberapa calon kepala dan wakil kepala daerah yang berada dalam jejaring politik kekerabatan. Khususnya para suaminya yang adalah kepala daerah dua periode sebelumnya. Lisa Andriani Lubis, istri dari Walikota Binjai dua periode (2010-2020), Muhammad Idaham. Adalah Herny yang merupakan istri bupati Pasang Kayu dua periode (2010-2020) juga mencalonkan diri sebagai wakil bupati Pasang Kayu.
Pada Pilkada Banyuwangi ada Ipuk Fiestiandani yang merupakan istri dari Bupati Banyuwangi dua periode (2010-2020), Azwar Anas, turut mencalonkan diri sebagai bupati. Di Jambi, Yunita Asmara yang menjadi calon Bupati Batanghari, adalah istri dari bupati Batanghari, Syahirsyah yang masih menjabat. Eva Dwiana yangadalah istri dari walikota dua periode di Bandar Lampung, Herman Hasanusi. Winda Fitrika di Kabupaten Asahan yang adalah istri dari Bupati Asahan dua periode (2010-2020), Taufan Gama Simatupang juga menjadi calon wakil bupati.
Maluku, pada Pilkada 2020, turut menghasilkan dua orang calon bupati perempuan yang merupakan istri dari dua mantan bupati sebelumnya.
Pada Pilkada Kabupaten Buru Selatan, Safitri Soulissa yang merupakan istri dari bupati Buru Selatan dua periode sebelumnya (2010-2020), Tagop Soulissa, dicalonkan sebagai bupati berpasangan dengan Gerson Selsily. Di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), adalah Rohani Vanath, istri dari mantan bupati SBT dua periode, Abdullah Vanath (2005-2015) yang dicalonkan sebagai bupati, berpasangan dengan Ramli Mahu.
Sejumlah calon kepala daerah perempuan diatas umumnya menjadi
representasi struktur kekuasaan politik yang dibangun oleh suaminya.
Mereka seolah tampil untuk melanjutkan trah kekuasaan suami karena
harus terbatasi syarat pencalonan kembali setelah berkuasa dua periode . Hampir pasti, dengan pengalaman politik mereka yang belum maksimal, dan terkesan dipaksakan, keberanian untuk bertarung di Pilkada cenderung bertumpu pada
tiga (3) alasan penting ini. Pertama, didukung oleh kekuatan modal yang
dimiliki, kedua, elektabilitas yang menunjang, ketiga, sebagai upaya memperluas
atau mengakumulasi struktur kekuasaan dan sumber daya ekonomi
pada keluarganya saja.
*Pertanyaan demi Pertanyaan*
Keterlibatan para istri mantan kepala daerah di Pilkada jenis ini tak bisa dimaklumi dengan logic klasik “cermin dari kesetaraan gender” atau “partisipasi kuota politik perempuan”. Apapula dengan terminologi elektoral seperti, artikulasi kepentingan perempuan, keberpihakan pada kepentingan perempuan atau sosok politisi keibuan. Semestinya, sejumlah imajinasi itu mesti dipertanyakan ulang. Pertanyaannya bisa begini : apakah bisa sejumlah istri
yang berasal dari jaringan politik keluarga ini, dapat mengembalikan kontrol politik ke tangan mereka ?. Bukankah mereka umumnya tidak punya pengalaman politik yang cukup sebelum “didorong” oleh suami atau ayahnya ke Pilkada ?. Kalaupun hendak diperluas, pertanyaan, apakah struktur politik yang dibangun oleh keluarganya dan berhasil mengintrodusir para istri ini ke Pilkada bisa berpihak pada kepentingan perempuan bahkan kewargaan umum ?.
Menyerah pada perspektif klasik yang bertolak pada argumen “jika mereka mencalonkan diri maka otomatis menjadi cermin kesetaraan politik saja, rasanya terlalu terburu-buru kalau tak ingin dibilang dangkal. Usaha menciptakan kesetaraan politik dari kondisi ini justru berbalik menyandera partisipasi politik perempuan dalam jejaring kekerabatan yang sangat bias gender. Alih-alih hendak memperjuangkan artikulasi sejumlah kepentingan perempuan, keterlibatan mereka secara dominan justru sulit untuk lepas dari intervensi elit politik laki-laki
dari keluarganya sendiri.
Sekilas, orang juga berargumen bahwa keterlibatan perempuan seperti, para istri mantan kepala daerah akan membentuk representasi politik yang lebih variatif
karena mewakili kalangan non laki-laki di Pilkada. Tapi, pemakluman ini justru tanpa sadar turut menaturalisasi peran politik perempuan ke dalam fragmen-fragmen kepentingan laki-laki. Dalam skala paling luas, bisa tampil dalam bentuk kontrol, jejaring kuasa, klientelisme politik, bahkan dinasti politik yang selalu rentan mengakumulasi sumber daya ekonomi dan politik.
Beberapa pandangan serupa yang mencoba membelanya, selalu berpijak
pada rasionalisasi tentang keterwakilan perempuan hari ini masih terkunci
pada kuota kandidasi 30 %. Sebuah rasionalisasi klasik yang mesti dilampaui.
Kalau tidak , standarnya menjadi sangat terbatas bahkan bisa menjadi boomerang bagi perempuan jika diartikan sebatas jumlah. Tak ada jaminan bahwa ada hubungan paralel antara jumlah perempuan dengan artikulasi kepentingan perempuan di Parlemen.
Penelitian Dyah Ayu Kartika dari PUSAD Paramadina (2019) secara umum berkesimpulan bahwa jumlah perwakilan perempuan di Parlemen pada Pemilu 2019 tak menjadi jaminan artikulasi kepentingan perempuan. Ruang ini justru menjadi gelombang baru perjuangan anti-feminis oleh sekelompok perempuan dari dalam parlemen sendiri. Terbukti dari gerakan dan kampanye kelompok perempuan religious konservatif yang menentang sejumlah narasi perempuan
dan kebijakan semisal RUU P-KS di parlemen. Argumen ini mengingatkan kita bahwa persoalan politik dan keterwakilan jauh lebih kompleks, berkelok dan
tidak sekadar representasi “jumlah” di Pilkada.
Persoalannya akan lebih rumit, karena tidak menjamin terselenggaranya
proses demokratisasi secara substantif. Namun, sbealiknya menjadi pintu
masuk penguatan politik keluarga. Disamping juga menunjukan kegagalan kaderisasi di tingkat partai politik. Sebagai penguatan jaringan keluarga, kontrol dominan dari jejaring tersebut berupaya memaksimalkan akan secara penuh modal finansial bahkan modal sosial untuk menyetir sirkulasi kekuasaan agar berada pada keluarganya.
Potret sejumlah proses politik sebelumnya dapat kita gunakan untuk menyiasati diskursus tentang agregasi kepentingan perempuan yang bakal muncul dari pengalihan narasi perempuan dan kesetaraan. Penyiasatan ini perlu untuk membentuk logic publik agar tidak mudah percaya pada keterwakilan jumlah. Publik bisa mempertanyakannya bahkan memperluas diskusinya secara ketat seputar jaminan, kesetaraan, dan kepentingan perempuan . Dengan begitu,
kedua pasangan calon perempuan ini juga punya waktu lebih untuk mengesplorasi kepentingan perempuan lebih mendalam.
Pada sisi lain, meskipun kedua calon perempuan ini secara politis simbolik menjadi simbol perlawanan politik terhadap pola kandidasi yang sangat
laki-laki di Pilkada. Namun, relasinya dalam jejaring politik yang terkontrol oleh jaringan politik keluarga itu, bisa saja menjadi prakondisi yang jauh lebih buruk. Prakondisi ini bisa menjadi lahan baru penciptaan politik dinasti, jejaring patronase, bahkan akumulasi kekuasaan politik yang instrumentasinya justru seorang perempuan. Dalam kerentanan-kerentanan itulah, akumulasi
sumber daya ekonomi bagi sekelompok kecil keluarga sangat mungkin terjadi. Dengan demikian, kehadiran keduanya tentu baik, namun akan lebih baik jika keduanya bisa menjadi antitesis terhadap struktur kekuasaan yang monopolik.
Dari segi kaderisasi politik, tentu saja jamaknya representasi perempuan yang “dikepung” oleh struktur politik keluarga secara tak langsung menunjukan kegagalan kaderisasi di tubuh partai. Partai hampir tak mampu menghasilkan figur melainkan cenderung terkunci dalam kendali-kendali keluarga tertentu.
Penjelas paling penting untuk kondisi yang demikian adalah adanya krisis sistemik dalam tubuh partai untuk melahirkan kader-kadernya ke pentas politik lokal. Partai justru tunduk dan semacam dinegosiasikan oleh kepentingan sekelompok kecil keluarga tertentu.
Kehadiran sejumlah perempuan di Pilkada ini tentu baik secara politik. Namun, memastikan mereka agar tidak dikontrol dengan mudah oleh jaringan keluarganya juga bukanlah pekerjaan mudah. Kalaupun dibaca secara terbalik, kerja-kerja politik keduanya dalam Pilkada tak bisa lepas dari peran jejaring keluarga. Sehingga kehadiran para perempuan ini tidak hanya dimaknai sebagai kehadiran dirinya yang terpisah dari struktur kekeluargaan atau jaringan politik sang suami yang mengintrodusirnya. Pembacaan terhadap kedua hal itu sekaligus merupakan pembacaan terhadap jaringan politik dari keluarganya. Sehingga, relasi antara mereka yang terorganisasi dalam Pilkada sangat rentan terdefinisikan sebagai relasi akumalatif atas sumber daya politik, pengisian struktur kekuasaan berbasis keluarga, kerabat, maupun kendali atas sejumlah sumber daya ekonomi secara mudah.
Jaringan-jaringan politik keluarga tersebut bahkan dapat diaktivasi melalui jaringan-jaringan politik lama sang suami atau orang tuanya. Keduanya bahkan hanya bertukar jejaring dan melakukan tambak sulam dari jaringan-jaringan politik yang baru secara terus menerus di Pilkada. Jejaring keluarga yang demikian, secara acak hanyalah bentuk lain dari model politik dinasti. Hanya saja usianya yang masih terbilang muda. Dalam tiap sinisme ini, maka struktur kekuasaan keluarga yang sedang digunakan oleh para perempuan ini,
harus bisa diubah dengan pertukaran kontrol yang mutual terhadap keluarganya. Bahkan kalau perlu lebih otonom.
Masing-masing dari kita tak bisa mendamaikan kondisi pada satu alibi semu dengan terpaksa meminjam term demokratisasi untuk membenarkannya.
Kita juga tak bisa menyerahkan kondisi ini sembari berdiri diatas keyakinan
klasik, bahwa, “semuaini kondisi ini adalah bagian simbol partisipasi politik perempuan”. Lalu dengan entengnya mengabaikan logic kekuasaan perempuan dalam sanderaan jaringan politik keluarganya begitu saja. (**)