SABUROmedia, Ambon – Politik sebenarnya dapat berhubungan dengan hal-hal lain selain dimensi kekuasaan seperti ekonomi, hukum, keamanan, pertahanan budaya, dan lain-lain. Hal yang akan diungkapkan disini adalah bagaimana politik itu berhubungan dengan aspek kebudayaan yang merupakan unsur diluar fokus kajian utama dunia politik. Bahkan, tidak jarang faktor kebudayaan menjadi hal yang menentukan untuk sebuah keputusan politik.

Ada kondisi-kondisi tertentu yang menampilkan fenomena sikap dan perilaku politik ternyata bersumber dari latar belakang sejarah, dan akar budaya tertentu. Terkadang ada juga kondisi yang memperlihatkan sikap ataupun perilaku kultural sebagai hasil dari perkembangan politik atau bahkan akibat dari manipulasi politik tertentu. Kondisi tersebut memunculkan suatu kajian tersendiri mengenai korelasi politik dengan budaya. Politik dan kebudayaan menjadi semacam dua sisi dari satu keping koin yang tidak dapat dipisahkan karena kedua aspek tersebut selalu berkaitan dan nampaknya terjadi proses mutualisme dimana timbul fenomena yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak bila terjadi proses interaksi. Dan tak jarang pula aspek-aspek atau perilaku-perilaku dalam kebudayaan menjadi kontradiksi dengan perkembangan perilaku politik sehingga menimbulkan ketidakbermanfaatan atau malah saling memberikan efek negatif antara keduanya.

Yang menjadi titik perhatian dari proses interaksi antara kedua aspek tersebut adalah dampaknya terhadap perkembangan sosial-kemasyarakatan. Hubungan baik antara politik dan kebudayaan tidak akan berarti jika tidak memberikan pengaruh terhadap kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat.  Tapi, jika melihat data-data empirik yang pernah terjadi dalam masyarakat lokal Indonesia atau masyarakat global dunia hampir bisa dipastikan bahwa dunia politik selalu bersinggungan dengan masalah kebudayaan dalam waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu, pencarian pengaruh antara dimensi kebudayaan dengan dimensi politik sangat penting untuk ditelusuri hingga akar-akarnya.

Dua sisi dari satu keping mata uang yaitu kebudayaan dan politik terkadang sulit untuk dimengerti korelasinya. Untuk mempermudah melakukan penelusuran terlebih dahulu harus diuraikan kedua kata tersebut karena kebudayaan mempunyai makna dan maksud tertentu, demikian halnya dengan politik mempunyai pengertian dan karakter tersendiri yang nampaknya tidak bersinggungan secara langsung tanpa kondisi dan syarat-syarat tertentu. Dari segi keilmuan, ilmu budaya dan ilmu politik termasuk kedalam satu rumpun ilmu pengetahuan yaitu ilmu sosial. Karena keduanya merupakan cabang dari ilmu sosial maka kajian utama dari keduanya merupakan masyarakat dan kehidupan sosial.

Namun, ada perbedaan penting antara kedua ilmu tersebut dalam memandang masyarakat sebagai kajian utamanya, dimensi yang mereka gunakan jelas berbeda. Kebudayaan dapat dipahami sebagai  suatu bentuk perilaku  yang bukan dibuat oleh manusia dan sudah hadir begitu saja sebagai rujukan dan pegangan yang harus diikuti oleh pendukung suatu kebudayaan. Perkembangan orang-orang yang menjadi partisipan kebudayaan tersebut, tergantung dari situasi kebudayaan tempat mereka diperanggotakan. Dengan perkataan lain bahwa manusia dianggap dibentuk oleh kebudayaannya sendiri. Sedangkan ilmu politik yang sampai sekarang belum ada batasan yang dapat diterima secara umum sejak zaman Yunani kuno sekitar 500 sampai 300 tahun sebelum masehi, yang kemudian para cendekiawan ilmuwan politik ketika itu telah merumuskannya dalam batasan-batasan sendiri yang lebih spesifik sehingga melahirkan beberapa keanekaragaman makna yang dapat dipahami. Diantaranya ilmu politik adalah sekelompok pengetahuan teratur yang membahas gejala-gejala dalam kehidupan masyarakat dengan pemusatan perhatian pada perjuangan manusia mencari atau mempertahankan kekuasaan guna mencapai apa yang diinginkan.

Jika secara konseptualisasi dilakukan penggabungan kata antara kebudayaan dan politik maka dapat dipahami bahwa kebudayaan politik sendiri sebagaimana yang dijelaskan Almond dan Powell memiliki pengertian bahwa kebudayaan politik pada hakekatnya dipahami sebagai suatu konsep yang terdiri dari sikap, keyakinan, nilai-nilai dan ketrampilan yang sedang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk pola kecenderungan-kecenderungan khusus serta pola-pola kebiasaan yang terdapat pada kelompok-kelompok pada masyarakat.

Untuk melihat secara jelas fenomena hubungan antara kebudayaan dengan politik dan kontekstualisasinya bisa diteropong dimasa-masa awal berdirinya pemerintahan Orde Baru. Banyak contoh yang memberikan gambaran betapa dunia politik ternyata tidak semata-mata berada pada ruang kosong dalam masyarakat dan juga tidak berdiri sendiri dalam tatanan kehidupan sosial. Pada tahun 1960-an sebuah kesenian Srandul yang sangat popular dipentaskan didaerah Kota Gede, Yogyakarta menjadi korban “kekerasan politik”, setelah sekian lama eksis harus rela untuk dibekukan dan dilarang tampil oleh pemerintahan Orde Baru hanya gara-gara pengelola seni ini berada disebuah kampung yang menjadi basis masa kaum “kiri”.

Dengan demikian, berawal dari urusan politik merambat keurusan kebudayaan dan kesenian sehingga kontestasi politik dapat dengan serius mengancam eksistensi kebudayaan. Bahkan dengan persaingan politik tersebut tidak hanya mengganggu eksistensi kebudayaan tapi juga sebaliknya dapat menjadi penyokong kegiatan politik bahkan pemerintahan secara langsung. Semasa Orde Baru yang mempunyai ideology pembangunan nyaris semua sendi-sendi dalam masyarakat diagendakan untuk mendukung keberhasilan program pemerintahan yaitu pembangunan.

Dengan demikian berangkat dari semua penjelasan diatas tadi bagaimana hubungan antara kebudayaan dan politik mulai dari konseptualisasi, kemudian menuju pada kontekstualisasinya di Indonesia. Hal yang kemudian ingin kembali ditegaskan disini untuk mengambil pelajaran sebagaimana penjelasan-penjelasan di atas tadi, bahwasanya kebudayaan juga tidak hanya menjadi alat bagi kompetisi politik, kebudayaan juga bisa menjadi alat untuk mengungkapkan aspirasi dan pemikiran masyarakat terhadap pemerintah sehingga tidak tertutup kemungkinan keanekaragaman budaya dapat dimanfaatkan sebagai ajang untuk memberikan tekanan terhadap penguasa yang sewenang-wenang. Hal itu tergantung bisa atau tidaknya kelompok masyarakat seni dan budaya tertentu memanfaatkan peluang tersebut, juga dapat dipengaruhi oleh kondisi politik negara yang bersangkutan.(**)

Penulis: Risman W Soulissa – Kabid PTKP HMI Cab Ambon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *