Oleh : M.Tahrir Wailissa

SABUROmedia, Ambon – Demokrasi yang telah kita terima secara bersama ini, dalam catatan sejarah telah mengalami berbagai macam varian pemikiran, baik dari aspek subtansi maupun aspek pelembagaannya. Kedua aspek tersebut telah membentuk sudut pandang yang diametral dan ambigu, namun masig-masing tetap mengklaim diri demokrasi. Pada umumnya aspek perdebatan yang paling subtansi terfokus pada dasar pembentukan negara serta dasar penyelenggaraan pemerintahan. Sebab aspek-aspek tersebut berkaitan erat dengan problem legitimasi dan otoritas pemerintahan negara untuk mengatur dan mengintervensi kehidupan rakyat di satu sisi serta hak dan kewajiban rakyat untuk berpartisipasi dalam dalam pemerintahan pada sisi yang lainnya.

Konsepsi demokrasi sebagai aktualisasi kehendak bersama (common desire) yang direpresentasikan oleh negara harus disadari oleh rakyat dalam segala aktifitasnya agar sejalan dengan konsepsi negara demi kepentingan bersama (common good). “Rakyat yang tidak memiliki kesadaran politik, akan hilang padanya tanggung jawab bernegara. atas dasar itu bagaimana mungkin kita bicara tentang kedaulatan rakyat, jika daulat atasnya  tidak didasarkan atas kesadaran bernegara”. Demikian sebaliknya negara dalam mengaktualisasikan konsepsi demokrasi harus sejalan dengan kehendak rakyat.

Kesadaran politik tidak mungkin datang dengan sendirinya pada rakyat, tanpa didahului oleh proses edukasi yang sepenuhnya diarahkan pada kepentingan kolektif, dimana antara pemerintah dan masyarakat memiliki tanggung jawab sama. Pemerintah yang memiliki kuasa untuk mempermudah jalannya edukasi politik, dapat membentuk dan menggerakan institusi public demi terwujudnya kecerdasan umum. Jika dalam suatu masyarakat telah ada rakyat yang memiliki tanggung jawab bernegara, maka akan mudah bagi bangsa ini untuk dapat bergerak maju.

Disamping pemerintah, partai politik sebagai institusi demokrasi jangan sampai melupakan kewajibannya untuk mengedukasi rakyat. Partai politik tidak boleh memposisikan rakyat hanya sebagai objek melainkan subjek demokrasi. Yang hanya datang mencari suara menggunakan slogan dan janji-janji semata pada berbagai media untuk mempengaruhi rakyat dengan target mendapatkan kekuasaan lebih pada lembaga legislative/eksekutif melalui jalan demokrasi.

Konstitusi, Partai Politik Dalam Demokrasi Semu

Partai politik yang menjamur pascareformasi 1998 suda tak dapat lagi dibatasi sebagai wujud kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945. Atas dasar pertimbangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya dicabut dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Yang memungkinkan setiap orang secara bebas dan setara dapat berserikat dan berkumpul untuk mendirikan partai politik sebagai wadah perjuangan aspirasi dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.

Firdaus, dalam buku “Desain Stabilias Pemerintahan Demokrasi dan Sistem Kepartaian”. Bahwa, partai politik diakui dan diterima sebagai salah satu wadah rakyat berpartisipasi dalam pemerintahan. Keberadaannya menjadi saran penghubung untuk mengelola berbagai nilai dan kepentingan serta memperjuangkannya masuk dalam system politik melalui wakil-wakilnya di pemerintahan. Posisi yang demikian strategis menempatkan partai politik sebagai kunci institusi demokrasi perwakilan (representative democracy) baik dalam proses pembentukan hingga penyelenggaraan pemerintahan negara. Atas fungsi tersebut, secara konseptual partai politik dipandang sebagai salah satu institusi demokrasi yang diharapkan dapat menopang terbentuknya pemerintahan yang stabil dan demokratis, meskipun pada kenyataannya tidak jarang justru terjadi sebaliknya. Bahkan pada beberapa kasus, partai politik menjadi pemicu ketidak stabilan pemerintahan dan kegagalan demokrasi hingga paling buruk kembali ke bentuk pemerintahan otoriter.

Safrudin Bahar dalam (Risalah Sidang BPUPKI). Sejarah ketatanegaraan Indonesia, sejak Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga saat ini, ikhtiar membangun pemerintahan yang stabil dan demokratis telah menjadi bagian utama penataan sistem ketatanegaraan. Ikhtiar tersebut tampak sejak awal dirumuskan hingga ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Bagian penting dalam penataan suprastruktur politik dalam kerangka stabilitas  pemerintahan adalah ditatanya pola hubungan legislatif dan eksekutif dalam system pemerintahan presidensial. Jika para pemimpin parpol tidak menyadari akan pentingnya stabilitas pemerintahan, terutama parpol yang mengusung pemerintahan terpilih, setelah mendapatkan jatah kekuasaan dalam kabinet serta jabatan lainnya agar turut menjaga stabilitas dan menjauhkan bangsa ini dari status kedaruratan.  Jimly Asshidiqie dalam (Hukum Tata Negara Darurat). Resiko dibalik alasan stabilitas pemerintahan tidak jarang menjadi isu efektif yang dapat dimanfaatkan dengan cara-cara mematikan demokrasi (otoriter dan tiran).

Jauh sebelumnya, Tirani yang mengabaikan prinsip demokrasi telah mengilhami Plato pada karyanya (Republic, Statesman, and The Law). Demikian halnya Aristoteles melahirkan konsep demokrasi yang dijabarkan dalam karyanya (Politics). Socrates, kemudian menelaah prinsip system dan nilai demokrasi dalam karyanya (Republic). Abraham Lincoln’s, mengartikulasikan demokrasi (government of the people, by the people and for the people) terminologi ini secara subtansi dapat dimaknai dengan menempatkan rakyat sebagai pusat nilai yang merdeka menentukan segala sendi kehidupannya dalam satu negara bangsa. Sebab Kedaulatan ada ditangan rakyat dan rakyat memiliki kekuasaan tertinggi atas jalannya suatu pemerintahan.

Problemnya ialah, jika sebagian atau sekelompok rakyat dalam menyampaikan ihtiar keadilannya pada pemerintah dan jika pemerintah tidak mengakomodirnya maka tak jarang akan lahir gerakan-gerakan yang mengganggu jalannya suatu pemerintahan atas nama kedaulatan rakyat. Apakah yang demikian itulah kedaulatan rakyat? dimana sebagian memaksa terwujudnya kedaulatan semu tanpa mempertimbangkan kedaulatan nasional.

Peluang dan Ancaman Strategis Demokrasi 4.0

Para pejuang reformasi mungkin telah menawarkan jalan lain kedaulatan rakyat, setelah sukses mendeligitimsi kekuasaan Orde Baru, ditandai dengan krisis ekonomi regional, demonstrasi mahasiswa, elit yang membelot, kerusuhan, serta polarisasi militer. Sebelumnya, hal yang sama juga di alami Orde Lama di bawah kekuasaan Ir. Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya. Pascareformasi, kita mengalami kendala tentang bagaimana cara mempraktikan kedaulatan rakyat itu. Belum lagi tantangan dan hambatan yang dihadapi dari masa ke masa. Korupsi, Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Gender, Ekologi, Sara, Separatis dan Hukum yang terus diperdagangkan. Semua ini adalah wujud spirit nasionalisme sempit warga negara yang terus hadir mewarnai perjalanan bangsa sekaligus menjadi ancaman kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Elit yang cenderung mengedepankan kepentingan diri dan kelompok serta fakta rakyat yang belum sepenuhnya memahami tentang hakikat negara demokrasi akan sangat mudah terprovokasi untuk memerangi saudara sebangsa yang ditenggarai actor non negara dalam kaitan distribusi kewenangan dan kekuasaan. Oleh karenannya para elit negara suda seharusnya mereformasi diri, dan institusi terutama partai politik yang mendapatkan amanah rakyat agar dapat terlibat aktif mengedukasi rakyat agar memiliki kesadaran etik bernegara. 

Sejarah telah mengajarkan kita, bahwa Indonesia ini dibangun atas dasar kesepakatan melalui perwakilan, oleh karenya rakyat harus diberikan pemahaman utuh tentang konsepsi kebangsaan itu, agar tiap-tiap manusia Indonesia dalam ucapan dan perbuatannya senantiasa mencerminkan nilai berbangsa demi mewujudkan kepentingan nasional. Kaitan dengan kepentingan nasional itu, seharusnya ada korelasi kesadaran antara rakyat dan mereka yang mewakili rakyat. Kesadaran dimaksud adalah kesadaran ruang (space consciouenss) dan kesadaran geografis (geographical awareness) sebagai negara kepulauan yang majemuk dengan berbagai ragam kekayaannya. Kesadaran ini penting sebab merupakan peluang dan keuntungan bagi Indonesia demi mewujudkan tujuan nasional dimaksud. Dimana Indonesia secara geografis berada dalam titik perlintasan kepentingan strategis internasional, posisi yang strategis ini jika dimanfaatkan untuk kepentingan geopilitik dan geoekonomi bangsa kita, tentu akan mudah bagi bangsa kita untuk bangkit dari keterpurukan yang mendera selama ini. harus juga di ingat, bahwa posisi strategis ini jika diabaikan, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi ancaman bagi pertahanan dan keamanan nasional.

Ancaman strategis ini harus dapat dipahami dengan cermat oleh segenap komponen bangsa, sebab kemajuan ilmu pengetahuan, tekhnologi infomasi dan komunikasi (Information and Communication Technologies-ICT) telah menghantarkan kita pada kenyataan peperangan modern (Asymmetric Warfare and Proxy War), kenyataan atas laju perubahan zaman tersebut menuntut setiap anak bangsa untuk lebih rasional, produktif, kreatif dan inovatif menjawab tantangan demokrasi yang sebelumnya merupakan system kongkrit dalam perundangan, namun dalam era digital demokrasi berubah menjadi prinsip aliran data yang sarat kepentingan dan rekayasa yang mengancam idiologi, politik, ekonomi, social budaya serta pertahanan keamanan bangsa ini.

Elit bangsa terutama partai politik yang mendapat legitimasi konstitusi sebagai pilar demokrasi harus memiliki kesadaran etik state agar bangsa ini benar-benar berdaulat secara ekonomi dan politik serta mampu beradaptasi sesuai laju perubahan zaman dimana antara rakyat dan negara dapat bergerak bersama mewujudkan cita-cita bernegara.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *