SABUROmedia, Jakarta – Elite BPJS ketenagakerjaan justeru gagal tunjukkan kinerjanya di era pandemik Covid-19 ini. Mereka didera psycomatic Covid-19, terapkan WFH. Padahal saat Covid-19 banyak terjadi PHK massal. Efeknya banyak peserta korban PHK yang ajukan klaim JHT tidak tertangani maksimal. Apalagi ada pembatasan kuota pelayanan klaim JHT.
Dng banyaknya peserta yang menarik klaim JHT tsb berakibat merosot dana kelolaan BPJS ketenagakerjaan. Jelas ini berakibat pada menurunnya pendapatan/bonus kinerja untuk elite/karyawan BPJS ketenagakerjaan.
Di saat perekonomian masyarakat yang drop tsb tentunya sangat minim animo masyarakat untuk terdaftar sebagai peserta BPJS ketenagakerjaan. Sosialisasi program BPJS ketenagakerjaan pun tidak berjalan dengan penerapan social dan physical distancing protokol Covid-19.
Bagaimana dengan BPJS Kesehatan. Urusan sektor ini sulit diharapkan dengan adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Perpres No 64 Tahun 2020 terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan jelas melawan putusan MA dan arus suara rakyat melalui parlemen di DPR RI. Intinya BPJS Kesehatan tidak sehat untuk rakyat. Menyehatkan BPJS Kesehatan saja sulit apalagi buat rakyat.
Akhir tahun 2020 akan ada seleksi Direksi dan Dewas BPJS ketenagakerjaan dan BPJS kesehatan yang baru untuk masa jabatan 2021-2026. Apa yg hrs kita lakukan, tentunya sulit untuk partisipasi dalam kegiatan sosialisasi dan edukasi program BPJS.
Hanya monitoring kebijakan dan program BPJS dan seleksi Direksi serta Dewas BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan yang bisa dilakukan. MP BPJS dipaksa berdiam? Tentu tidak.
Kita diam hanya menguntungkan elite BPJS saja. Justeru MP BPJS harus bersuara untuk publik di saat peran dan fungsi BPJS harus muncul di tengah pademik Covid-19. Sebab saat ini adalah waktu yang tepat bagi BPJS untuk menunjukkan fungsi dan peran nya bagi seluruh rakyat Indonesia. (SM)