Oleh : Chazali H. Situmorang (Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS)
SABUROmedia, – DKI Jakarta direncanakan akan mengakhiri PSBB pada 4 Juni 2020 mendatang ini. Agar dalam momentum itu pengendalian infeksi covid-19, dapat terkontrol, maka salah satu upaya ketat adalah pembatasan keluar dan masuk Jakarta. Apalagi paska lebaran, akan banyak yang kembali masuk ke Jakarta, yang mungkin juga diantara mereka ada yang ODP, PDP, dan OTG. Istilah yang sudah familiar di telinga kita sejak 3 bulan terakhir ini.
Ternyata Pemerintah Pusat sudah mulai panik dan galau menghadapi situasi ekonomi yang semakin melorot terus, sejak diberlakukannya PSBB dengan berbagai regulasi yang sudah diterbitkan, mulai dari Perppu ( sudah jadi UU), Kepres, Inpres, Permen, SE Menteri, sebagai bentuk komitmen negara atas upaya memberikan payung hukum yang kuat dalam menangani kebijakan penanganan pandemi, yang penuh resiko nyawa masyarakat , dan penjara bagi mereka yang salah dalam mengelola kebijakan itu.
Para pengusaha, pemilik industri yang dikuasai para taipan, maupun BUMN sudah memberikan early warning kepada pemerintah, bahwa ketahanan ekonomi di dunia investasi padat modal, daya tahannya paling lama sampai Juli 2020. Akibatnya sudah mereka beri gambaran, ekonomi nyungsep, rakyat semakin “terkapar” karena sektor ekonomi mikro, pedagang kaki lima, dan sektor informal lainnya sudah tidak berdaya. PHK meningkat.
Mereka mengandalkan bansos dan BLT yang diberikan pemerintah. Kementerian terkait sudah berjibaku untuk memberikan bansos dan BLT ditengah situasi itu, dan kondisi data yang masih belum akurat, karena banyaknya pendatang baru alias miskin baru karena kebijakan PSBB untuk memutus mata rantai virus, tetapi mata rantai kemiskinan bertambah. Begitulah celoteh masyarakat bawah.
Jadi kemudahan dan kelonggaran moda transportasi yang dilakukan Menhub bukan tanpa alasan, tekanan situasi ekonomi, menjadi faktor utama walaupun tidak diutarakan secara terbuka. Dan yang jelas merepotkan Tim Gugas Percepatan Penanganan Covid-19. Karena berakibat menaik lagi kasus terinfeksi beberapa waktu belakangan ini, bahkan dalam satu hari ada yang hampir menembus 1000 orang terinfeksi. Artinya virus itu masih ikut jalan-jalan dengan inangnya, yang tidak menyadarinya, dan berpindah ke manusia lainnya.
Menteri Perindustrian tidak mau kalah. Sudah memberikan kelonggaran untuk buka lagi usaha industri, dengan tetap “berpegang dengan protokol kesehatan”. Kalimat standar yang mengikuti setiap kebijakan yang rada-rada terkesan bertentangan dengan regulasi diatasnya.
Jadi, dengan gong yang akan ditabuhkan Gubernur DKI Jakarta 4 Juni 2020 mendatang ini, sudah sempurnalah upaya relaksasi PSBB, mulai sektor transportasi, sektor industri, dan pasti tidak mau kalah di sektor jasa, dan sektor BUMN. Inilah salah satu indikasi new normal. Publik bertanya apakah arah new nromal ini menuju pada situasi herd immunity atau tidak?.
Untuk menuju herd immunity ( yang diberlakukan di Inggeris dan Swedia), ada syarat utama yaitu sudah ada vaksinnya, dan yang sudah immun itu, lebih dari 70-90 % cakupan penduduk. Sehingga yang telah terimunisasi ini akan menjadi barier atau benteng bagi orang yang masih belum terproteksi.
Pemerintah yang menerapkan strategi herd immunity yaitu dengan tidak melaksanakan strategi pandemi (testing, tracing, isolasi) secara serius atau bahkan sama sekali tak melakukannya. Negara yang menerapkan herd immunity atau tidak itu terlihat pada kemauan dan kemampuannya. Negara maju seperti Inggris atau Swedia yang mempunyai kemampuan, tapi terkesan tidak ada kemauan untuk melakukan strategi utama pandemi, dan cenderung ke herd immunity.
Sementara negara seperti Indonesia, masih mempunyai kemauan untuk melakukan strategi testing, tracing, dan isolasi. Tapi, kelemahannya dalam kemampuan melaksanakannya. Antara lain terbatasnya kapasitas laboratorium, SDM, penyusunan strategi komprehensip, dan dana,
Epidemiolog dr Dicky Budiman M.Sc.PH, PhD (Cand) Global Health Security CEPH Griffith University menjelaskan, konsep awal herd immunity berasal dari kesehatan hewan yang mengutamakan kesehatan secara kelompok. “Dengan arti lain tidak terlalu mengutamakan kesehatan individu,” kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Senin (18/5/2020). Kalau ada 100 ternak , mati 4 ekor tidak ambil pusing, tapi jika manusia?.
Direktur eksekutif program darurat kesehatan WHO Dr Mike Ryan menegaskan bahwa manusia bukanlah kawanan ternak. “Ini adalah penyakit serius. Ini adalah musuh publik nomor satu. Kami mengatakannya lagi, lagi, dan lagi,” kata Dr Ryan diberitakan The Telegraph, 12 Mei 2020. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelumnya telah memperingatkan bahwa teori herd immunity untuk mengatasi virus corona sangat berbahaya.
Salah satu indikasi tidak berdayanya pemerintah Indonesia menghadapi pandemi covid-19, yaitu tadi, secara perlahan melakukan relaksasi PSBB di sektor transportasi dan industri. Kebijakan tersebut menyulitkan strategi penanganan pandemi ( testing, tracing, dan isolasi), tidak dapat dilaksanakan dengan maksimal. Tim Gugas Covid-19 akan keteteran. Terjadi main kucing-kucingan dengan petugas, dan pengelola transportasi dan industri.
Agar relaksasi PSBB, tidak terlalu disalahkan dunia dan WHO, maka Menkes menerbitkan Kepmen No. HK 01.07/MENKES/ 328/2020 Tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 di tempat Kerja Perkantoran, dan Industri Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
Untuk Sektor Jasa dan Perdagangan, Menkes menerbitkan Surat Edaran Nomor HK/02.01/MENKES/335/2020, Tentang Protokol Pencegahan Penularan Covid-19, di tempat Kerja Sektor Jasa dan Perdagangan (Area Publik) Dalam mendukun Keberlangsungan Usaha.
Kedua instrumen regulasi Menkes tersebut, sesuai dengan otoritas yang dimiliki, merupakan bentuk tanggungjawab Menkes kepada dunia khususnya WHO, dan juga kepada publik Indonesia, atas relaksasi PSBB yang dilakukan oleh pemerintah. Permenkes dan SE itu, sudah komprehensif langkah dan upaya apa yang harus dilakukan pengusaha/pemberi kerja, pekerja, pedagang, pemberi jasa, untuk meneruskan roda ekonomi di tengah pandemi yang masih belum berakhir.
Jika Panduan dan Protokol itu, dilaksanakan dan di monitoring dengan ketat dan konsisten, apa yang diinginkan dalam kebijakan pemerintah, tentu dapat menekan penyebaran covid-19 di sektor-sektor ekonomi tersebut. Kemenkes dengan Tim Gugas Covid-19, tidak boleh longgar dalam melakukan pemantauannya, dan jika perlu Tim Gugas memberikan sanksi tegas kepada mereka yang ogah-gahan melaksanakan Panduan dan atau Protokol itu. Kunci keberhasilannya disitu, jika gagal, maka sektor industri, jasa, dan perdagangan akan menjadi cluster baru area berselancarnya virus corona dalam melaksanakan misi penularannya. Ingat kasus penularan covid 19 di industri rokok PT.HM Sampoerna. 65 karyawannya terinfeksi Berapa kerugian PT.HM Sampoerna atas pemusnahan rokok yang diduga berpotensi penularan corona virus. (**)