Oleh: Dr. Nasaruddin Umar,MH (Staf Pengajar HukumTata Negara IAIN Ambon dan Anggota Majelis Hukum MUI Provinsi Maluku)

SABUROmedia, Ambon – Pernyataan Gubernur Maluku yang mengajak seluruh warga Maluku untuk tidak mengelar shalat Idul Fitri berjamaah di lapangan atau di Masjid karena angka orang terpapar Corona Covid-19 terus bertambah sebagaimana dilansir koran rakyatmaluku tanggal 19 Mei 2020 merupakan pernyataan yang inkonstitusional bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat berkaitan penanganan Covid-19.

Sebab hak beragama dan beribadah di Indonesia yang merupakan hak konstitusional warga negara (groundrechten) dan hak asasi manusia (mansenrechten)  yang dijamin dan lindungi  negara.

Berdasarkan Pasal 29 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945, yang telah menentukan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya jaminan negara ini diberikan bukan hanya kepada warga negara Indonesia tetapi diberikan kepada setiap penduduk atau setiap orang yang yang berada di Indonesia tanpa melihat asal negara.

Selanjutnya dalam Pasal 28 I UUD NRI Tahun 1945 yang pada pokoknya menegaskan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya. Artinya kebebasan memeluk agama dan beribadah merupakah merupakan kewajiban negara kepada warga negaranya dan kepada setiap orang untuk dijamin keberlangsungan dalam beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing dan sekaligu merupakan bagian dari hak warga negara dan hak asasi manusia yang dijamin oleh negara.

Justru pada sisi hukum pemerintahan (bestuur handeling) konstitusi negara memberikan tanggung jawab pemenuhan jaminan hak beribadah tersebut  kepada pemerintah, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28 I ayat (4) perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Maka implikasi hukumnya segala pembatasan hak asasi manusia termasuk kemerdekaan beragama dan beribadah hanya bisa dilakukan melalui undang-undang seperti yang ditegaskan dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Apalagi hak beragama berupakan HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non deregobed right) memiliki kesederajatan yang sama dengan hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui secara pribadi dihadapan hukum dan tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 28 I ayat (1)  UUD NRI Tahun 1945.

Apakah dengan sebuah pernyataan atau ajakan Gubernur Kepala daerah bisa dengan sendirinya menyampingkan kaidah-kaidah dalam UUD NRI Tahun 1945, tentua sebagai negara yang taat dan patuh pada prinsip negara hukum. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan UUD, menempati kedudukan tertinggi dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia,setelah itu ketetapan MPR, UU/PERPU, PP,Perpres, Perda Provinsi, dan Perda Kab/Kota, selanjutnya disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apalagi directing atau himbauan semacam itu tidak masuk dalam hirarki perundang-undangan. Maka tindakan seperti itu secara konstitusional tidak dapat dibenarkan.

Maka dari aspek Hukum administrasi pemerintahan yang berlaku di Indonesia  berdasarkan Pasal 9 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah ditentukan bahwa setiap keputusan/atau tidankan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB (asas-asas umum pemerintahan yang baik) peraturan perundang-undangan yang dimaksud meliputi peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan dan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan.

Himbauan atau ajakan secara terbuka kepublik merupakan suatu tindakan pemerintahan yang harus didasari oleh ketentuan tersebut diatas, maka dari aspek ini ajakan Gubernur Maluku harus didasari oleh dasar kewenangan dan dasar dalam melakukan tindakan. 

Selanjutnya jika dikaitkan dengan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 10  ayat (1) dan (2)  yang pada pokoknya menegaskan agama merupakan salah satu urusan pemerintahan yang absolut dari 6 urusan yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter fiskal nasional. Dan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut tersebut pemerintah pusat melaksanakan sendiri atau melimpahkan wewenang kepada menteri vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi.

Dari ketentuan perundang-undangan tersebut apakah kepala daerah telah mendapat pelimbahan wewenang secara mandatory dari pemerintah pusat dalam mengatur soal penyelenggaraan ibadah agama di daerah. Maka Gubernur Maluku harus menunjukkan ada tidaknya pelimpahan wewenang itu sesuai asas dekonsentrasi sebagai pertanggungjawaban pemerintahan umum.

Jika melihat kebijakan yang telah diambil pemerintah dapat di identifikasi sebagai berikut pertama, Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Penetapan Sosial Berskala Besar, untuk menjalankan UU. No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang di dalamnya telah mengatur adanya pembatasan kegiatan keagamaan,

Pada sisi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pemerintah pusat telah menjalankan kewenagannya dalam penyelenggaraan keagamaan dengan mengeluarkan PP 21 Tahun 2020 tetang PSBB yang di dalam pasal 2 PP 21 Tahun 2020 tentang PSBB ditegaskan bahwa dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat melakukan PSBB atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu, dalam Pasal 4 ayat (1) dikatakan PSBB paling sedikit meliputi huruf a. peliburan sekolah dan tempat kerja, huruf b. pembatasan kegiatan keagamaan dan atau huruf c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.  Ayat (2) pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tetap mempertimbangkan, kebutuhan pendidikan, produktifitas kerja dan ibadah penduduk.

Berdasarkan ketentuan diatas, maka jelas kaidah hukum pembatasan kegiatan keagamaan mengandung dua prinsip dasar yakni pembatasan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah setelah mendapat izin dari Menteri Kesehatan dan prinsip kedua pembatasan tetap tetap mempertimbangkan ibadah penduduk. 

Maka keberlakuan hukum pembatasan beribadah bersifat terbatas bagi pemerintah daerah yang telah mendapat izin PSBB.  Dalam teori perundang-undangan (gesetzgebungstheorie) biasa disebut (geldingsgebied van het recht) atau lingkungan berlakunya hukum yang meliputi lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied atau territorial sphere), lingkungan kuasa persoalan (zakengebied atau material sphere), lingkungan kuasa orang (personengebied), lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere).

Dengan demikian untuk saat ini wilayah hukum pembatasan keagamaan hanya berlaku daerah yang telah mendapat izin PSBB seperti 4 Provinsi dan 24 kabupaten/kota di Indonesia, sehingga sudah barang tentu daerah seperti kabupaten kota di Provinsi Maluku yang belum mendapatkan izin PSBB maka hak kemerdekaan beragama tentu tidak boleh dibatasi begitu saja sebab konstitusi melindunginya dan undang-undang juga tidak membatasinya. justru kehadiran pemerintah dan pemerintah daerah dibutuhkan untuk memfasilitasi pelaksanaan hak beragama masyarakat sebagai hak yang di jamin dan dilindungi oleh negara. 

Apalagi sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa MUI tanggal 13 Mei 2020 Nomor 28 Tahun 2020 tentang Panduan Kaifiat Takbir dan Shalat Idul Fitri saat Pandemi Covid-19 pada angka romawi II disebutkan Shalat Idul Fitri boleh dilaksanakan dengan cara berjamaah di tanah lapang, masjid, mushallah atau tempat lain bagi umat Islam yang berada dikawasan yang sudah terkendali pada saat 1 syawal 1441 H dan yang berada di kawasan yang terkendali atau kawasan yang bebas covid-19 dan diyakini tidak terdapat penularan seperti dikawasan pedesaan atau perumahan terbatas yang homogen, tidak ada yang kena covid-19 dan tidak ada keluar masuk orang dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan dan mencegah terjadinya potensi penularan, antara lain memperpendek bacaan shalat dan pelaksanaan khutbah.

Seharunya Pemerintah daerah menentukan wilayah mana yang telah masuk kategori terkendali dan atau daerah bebas covid-19. Agar umat Islam bisa melaksanakan idul fitri sesui fatwa berdasarkan zonasi wilayah atau kawasan masing-masing yang dibolehkan, karena banyak daerah dan kawasan pedesaan yang belum terjangkit wabah Corona di Maluku.

Seperti yang dilakukan Wali Kota Bekasi yang mempersilahkan membuka shalat Idul Fitri di 29 kelurahan di Kota Bekasi   setelah berdiskusi bersama Kapolres, unsur MUI Kota Begasi, organisasi keagamaan dengan tetap menggunakan protokol kesehatan seperti tidak bersalaman, jaga jarak, memakai masker dan langsung pulang kerumah tanpa halal bi halal (baca.mnctrijaya.com.19/5/2020). Demikian pula kebijakan yang diambil oleh PJ.Walikota Makassar Yusran Yusuf bahwa kita pusatkan salat Idul fitri di masjid-masjid yang ada di wilayah masing-masing dengan wajib menerapkan protokol kesehatan (baca,koranmakassar.com, 18/5/2020).(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *