SABUROmedia, Jakarta -Pandemik Covid-19 yang mendorong penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah se Indonesia berdampak kemerosotan ekonomi di semua lini warga.

Banyak perusahaan tidak sanggup meneruskan produktivitas usaha hingga harus lakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).  Data Kemnaker RI tercatat hingga 2.8 juta korban PHK di era pandemik Covid-19.  Bahkan Menkeu Sri Mulyani menyatakan ada 5 juta lebih pekerja ter PHK. Kadin lebih besar lagi yakni 15 juta orang yang Ter PHK di Indonesia.

Demikian disampaikan Hery Susanto Ketua Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS) selaku pembicara dalam diskusi daring bertopik :  Bagaimana Nasib Buruh di Tengah Pandemik Covid-19? yang diadakan oleh Menara Peradaban Bangsa (MP Bangsa) pada Rabu malam 20/5/2020. 

Hadir narasumber lainnya yakni Agus Setiawan selaku advokat, dan Puji Santoso Ketua DPP SPN.

“Semakin lama social distancing via PSBB, nampaknya semakin besar resiko kemerosotan ekonomi dan semakin besar buruh alami PHK. Hal ini tentu berisiko terhadap bertambahnya kemiskinan baru pasca Covid-19,” kata Hery Susanto.

Ia mengatakan PHK massal akibat pademik Covid-19 ini mendorong besarnya pengajuan klaim jaminan hari tua (JHT) BPJS ketenagakerjaan.

Data BPJS Ketenagakerjaan pada kuartal I tahun 2020 tercatat ada 620 ribuan lebih pekerja yang mengklaim JHT.  Memasuki kuartal II tahun 2020 yakni pada bulan April tercatat sudah tembus 1 juta lebih pengajuan klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan. Pastinya ini akan terus bertambah naik.

“Sayangnya, pihak BPJS Ketenagakerjaan di saat banjir bandang gelombang pengajuan klaim JHT akibat PHK massal di tengah pademik Covid-19 malah menerapkan work from home (WFH) dan membatasi kuota pelayanan klaim JHT,” kata Hery Susanto.

Di saat normal sebelum pandemik Covid-19 saja kuota pelayanan klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan berkisar antara 100-200 orang per cabang per hari.  Memasuki pandemik Covid-19 anehnya dikurangi menjadi 50-100 orang per cabang per harinya. Jelas ini mempersulit klaim peserta. Karenanya pembatasan kuota pelayanan klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan harus dicabut, terapkan tanpa batasan kuota.

“Pembatasan kuota pelayanan klaim JHT BPJS Ketenagakerjaan justeru melanggar asas kemanusiaan dan keadilan sosial serta prinsip keterbukaan dalam UU BPJS, karena itu harus dicabut,” katanya.

Hery Susanto menjelaskan bahwa PHK massal juga beresiko terhadap bertambahnya peserta BPJS Kesehatan dari Pekerja Penerima Upah (PPU) yang ter PHK tersebut bermutasi menjadi bukan pekerja (BP) atau menjadi peserta bukan penerima upah (PBPU).

“Sebagian besar pekerja dengan tanpa bekerja lagi dan jatuh miskin harusnya menjadi peserta bantuan iuran (PBI). Karenanya negara harus mendata ulang PBI BPJS kesehatan pasca Covid-19,” katanya.

Paradoks, saat ini negara malah menaikkan iuran BPJS Kesehatan.  Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang tertuang dalam Perpres No 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Perpres tersebut dinilai tidak memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang sedang rendah daya beli akibat terdampak kesulitan ekonomi. 

“Secara yuridis tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) dan secara politik tidak merespon aspirasi rakyat melalui DPR RI yang jelas menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan.  Kami mendesak pemerintah untuk segera mencabut Perpres tersebut,” pungkasnya. (SM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *