SABUROmedia, Jakarta – Menyikapi persiapan Pemerintah melonggarkan PSBB yang setidaknya terlihat dari pernyataan Menteri BUMN tentang “new normal” dan Siaran Pers Bersama Menko Polhukam, Menkeu, Mendagri, Menkes, Sesmenko Perekonomian dan Ketua Gugus Tugas Covi-19 kami menyatakan beberapa hal sebagaimana di bawah ini.
1. Keputusan ini diambil tidak didasarkan pada data dan rasional kesehatan publik melainkan lebih pada kepentingan politik. Kebijakan politik untuk masalah kedaruratan kesehatan masyarakat tanpa data kesehatan masyarakat sebagai pertimbangan utama adalah wujud kegagalan pemerintah melindungi warga. Dalam kaca mata hukum perbuatan semacam ini adalah bukti adanya pelanggaran HAM by commission dan karenanya akibat yang menyertai kebijakan adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, termasuk kematian warga sebagai akibat pelonggaran kekarantinaan kesehatan ini.
2. Untuk melancarkan kebijakan ini tampak adanya agenda setting seperti survey-survey dan penonjolan kebijakan di negara-negara lain tentang mulai dibukanya kekarantinaan kesehatan. Kedua hal ini mengandung sesat pikir yang disengaja untuk menggiring opini dan memframing warga bahwa sudah saatnya sekarang membuka kekarantinaan kesehatan. Perbandingan pastilah harus yang setara/ekuivalen misal tidak mungkin membandingkan rasa lezat kari kambing dengan buah mangga. Kebijakan-kebijakan negara lain tersebut rata-rata diambil berdasarkan kurva epidemiologi Covid-19 yaitu telah menurunnya data penularan per hari yang ditunjukkan selama 14 hari. Kurva ini akan valid apabila ada tes massal yang akurat sesuai proporsi jumlah penduduk. Indonesia belum melakukan test massal yang proporsional, tracing yang agresif seperti negara-negara yang dirujuk tersebut. Negara-negara tersebut bahkan sudah jauh lebih lama melakukan lockdown, sesuatu yang Indonesia selalu hindari dengan berbagai alasan. Dari data yang belum diketahui validitasnya karena sangat sedikit dibandingkan jumlah penduduk saja kurva Indonvesia belum menurun malahan naik terus, demikian pula dengan persentase penularan per harinya.
3. Angka tes COVID-19 di Indonesia masih di bawah rata-rata apabila dibandingkan dengan ASEAN. Tingkat tes di Indonesia adalah 628 per 1 juta penduduk. Bandingkan dengan Singapura 30.000 per satu juta penduduk dan Malaysia yang mencapai 7500 per 1 juta penduduk. BElum semua provinsi memiliki laboratorium dan tenaga yang siap untuk melakukan pengetesan. Rendahnya rasio pengetesan ini bisa menyulitkan kita untuk memeriksa apakah sebetulnya sudah melewati titik puncak pandemik atau belum secara nasional. Keputusan untuk melonggarkan tanpa tes yang cukup sama saja menambah beban bagi kapasitas medis lokal maupun pusat.
4. Patut diperhatikan juga bahwa PSBB di berbagai daerah sangat bervariasi kedisiplinan tingkat pelaksanaan serta ada perbedaan waktu pelaksanaan seperti DKI Jakarta yang sudah mulai lebih dulu sementara Jawa Barat dan Gorontalo mulainya belakangan. Buka tutupnya kebijakan transportasi publik turut memberi andil akan perbedaan kualitas PSBB di berbagai daerah. Oleh karena itu, menyamakan situasi Indonesia dengan negara-negara lain yang sudah jauh lebih dulu menerapkan PSBB dengan disiplin sangatlah di luar akal sehat. Berdasarkan alasan tersebut di atas kami menolak pelonggaran PSBB dan kembali mendesak Pemerintah untuk tetap melakukan tes masif dan tracing yang agresif, sembari meningkatkan dukungan sosial ekonomi bagi warga yang terdampak Covid-19. (SM)