Oleh: Dr. Nasaruddin Umar, SH.MH.

SABUROmedia, Ambon – Minggu ini publik Maluku diramaikan beredarnya selebaran Pemberitahuan yang diduga dikeluarkan ketua Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19  Provinsi Maluku, anehnya selebaran yang beredar di dunia mainstream berbentuk surat tanpa di tanda tangani dan berstempel layaknya surat resmi yang keluarkan instansi resmi pemerintah namun sudah diberi nomor  yaitu Nomor: 30/GT-Promal/IV/2020 dan tertulis “ttd” diatas nama Kasrul Selang, ST, MT sebagai ketua harian. Saya pun juga mendapatkan pertanyaaan melalui telpon dan WhatsApp tentang seputar isu ini.

Sejak tulisan ini dibuat saya pribadi belum mendapatkan informasi tentang kebenaran pengumuman ini dan informasi yang beredarpun pengumuman ini juga belum diklarifikasi oleh pemerintah daerah, namun informasi yang saya peroleh ini adalah tidak lanjut dari rapat koordinasi Tim gugus Maluku, Pemerintah Provinsi Maluku, DPRD yang pada kabarnya salah satu kesimpulannya soal rencana penutupan pelabuhan. Di samping itu dari informasi yang penulis dapatkan menindaklanjuti Pemberitahuan ini, pihak Supervisior Pelabuhan telah mengeluarkan pengumuman kepada pengguna jasa lintasan pelabuhan Waipirit-Hunimua bahwa terhitung tanggal 17 April 2020 sampai dengan tanggal 01 Mei 2020 untuk sementara tidak melayani penumpang pejalan kaki, kendaraan roda dan kendaraan penumpang (Gol.IV.V dan VI). Artinya isi pengumuman tersebut telah berlaku dan diterapkan dan secara mutatis mutandis konsep model PSBB telah dipraktikkan secara “diam-diam” di Maluku. Padahal Provinsi Maluku ataupun Kota Ambon dengan data 14 positif covid-19 belum masuk kategori zona merah apalagi belum mendapat izin pemberlakukan PSBB di Pemerintah Pusat.

Bisa dibayangkan suatu norma yang sifatnya pelarangan dieksekusi oleh wadah kebijakan melalui pengumuman, dan pembatasan hak warga negara tidak melalui keputusan yang sifatnya beschikking atau peraturan Gubernur dalam bentuk beleid atau peraturan, sebab bagaimanapun dalam tradisi dan sistem hukum nasional, pengaturan pembatasan atau kaidah hukum hanya bisa dituankan dalam kedua nomenklatur instrumen hukum tersebut. Belum lagi kebijakan yang diambil tanpa adanya wewenang  atau authority hukum yang jelas merupakan perbuatan onrechmatige, dan melanggar prinsip wet matigheid vanbestuur atau asas legalitas. Artinya semua perbuatan pemerintahan harus dapat dipertanggungjawabkan di mata hukum.  

Kalau kita mencermati isi Pemberitahuan tersebut memang memuat beberapa point-point yang sifatnya informatif, dan ketentuan yang memuat ketentuan pelarangan atau istilah yang digunakan “tidak diperkenankan” angkutan antar kota untuk mengangkut penumpang/orang, dan tentang rencana penutupan pelabuhan dan pelabuhan penyebranganbagi orang/penumpang, serta  tidak diperkenangkan angkutan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) untuk mengankut orang/penumpang. Memperhatikan konten pengumuman ini jika benar adanya akan menimbulkan permasalahan hukum dan beraspek pada kepentingan warga masyarakat maluku secara keseluruhan sebab, bagaimana aspek dasar hukum penutupan tersebut sementara Maluku belum ditetapkan sebagai Provinsi atau Kota yang berstatus sebagai Pembatasan Sosial Berskal Besar (PSBB) dari Pemerintah Pusat, sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat (1)  Permenkes No. 9 Tahun 2020 tetang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, termasuk akan kontradiksi dengan maklumat Gubernur Maluku yang terakhir soal pembatasan dan penundaan orang masuk ke wilayah maluku sama sekali tidak soal penutupan pelabuhan dan penyeberangan, dalam maklumat tersebut mengatur sistem karantina terhadap setiap orang yang masuk ke wilayah Maluku, apakah maklumat itu dicabut atau masih berlaku, pengumuman ini jelas bertentangan dengan Maklumat Gubernur Maluku tersebut.  Belum lagi akibat hukum yang akan terjadi dibalik rencana keputusan ini, bagaimana nasib aktivitas ekonomi dan mobilitas masyarakat, apakah telah dipastikan masyarakat telah mendapatkan bantuan dari pemerintah yang selama ini telah janjikan.    

Tentu dalam aspek hukum perundang-undangan kebijakan seperti ini akan bermasalah dari sisi hukum baik secara bentuk dan format hukumnya maupun dari sisi landasaan hukum yang digunakan seperti misalnya kalau kita baca Kepres No.7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Covid-19 telah diatur tata cara penanganan Covid-19  di daerah pada ketentuan Pasal 11 ayat (2) Kepres di atas disebutkan bahwa penanganan Covid-19 di daerah dilakukan dengan memperhatikan arahan ketua pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Ketentuan ini jelas memberikan pembatasan atau bersifat restriksi hukum kepada daerah termasuk tim gugus dalam mengambil segala tindakan atau keputusan sepanjang menyangkut penanganan Covid-19, artinya dalam konteks penangan Covid-19 di daerah harus memperhatikan arahan atau kebijakan dari pemerintah pusat.

Sehingga pertanyaan hukum yang muncul dibalik isi pemberitahuan tersebut, apakah kebijakan yang diambil tim gugus daerah Maluku dalam pemberitahuan tersebut telah melalui konsultasi atau telah memperhatikan  arahan ketua pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Jika sudah maka kebijakan dalam pemberitahuan tersebut dengan sendirinya menjadi suatu kebijakan yang sah  (rechtmatige)

Pertanyaan yang kedua apakah telah dilakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga pemerintaha non kementerian, instansi pemerintahan baik pusat maupun daerah, swasta, serta pihak lain yang dianggap perlu. Sebab dalam kepres di atas (aquo) dalam pasal 12 telah menegaskan perlunya dilakukan koordinasi dalam pelaksanaan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dalam melaksanakan tugasnya. Karena dengan itu maka rencana Pemerintah Provinsi akan melakukan tindakan pemerintahan berupa penutupan sementara sejumlah  pelabuhan penyebrangan di provinsi Maluku seperti Pelabuhan Yos Sudarso, Pelabuhan Slamet Riyadi, Pelabuhan Tulehu, Hitu, Tohoku, Pelabuhan Penyebrangan Galala, Waai, Hunimua khusus bagi penumpang/orang.  Termasuk larangan angkutan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) untuk mengankut orang/penumpang.  (vide point 2,3,4 pemberitahuan)

Meskipun ketentuan koordinasi bukan suatu keharusan namun dalam tataran pelaksanaan kebijakan di lapangan akan menimbulkan ekses negatif, bagaimana jika pihak instansi atau swasta yang berkepentingan dengan pelabuhan, bandara, mobil angkutan dirugikan atau terjadi pembangkangan kebijakan tersebut akan menimbulkan banyak persoalan di kemudian hari tanpa adanya koordinasi, sosialisasi dan persetujuan dari rencana kebijakan ini. Dalam teori legitimasi dan validitas hukum (legal validity)   agar suatu kaidah hukum termasuk keputusan administrasi pemerintahan menjadi legitimate  dan sah (valid) berlakunya perlu memenuhi syarat seperti kaidah hukum tersebut haruslah dirumuskan ke dalam berbagai bentuk aturan formal, seperti dalam bentuk pasal-pasal dan dibuat secara sah oleh pejabat yang berwenang dan lebih penting aturan hukum tersebut harus dapat diterapkan oleh badan-badan dan penerap hukum seperti kepolisian, satuan polisi pamon praja, kejaksaan, pengadilan serta harus dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat.  Dua poin terakhir inilah yang menjadi syarat utama efektivitas keberlakuan kaidah hukum jika nantinya diterbitkan keputusan pelarangan tersebut.  

 Jika membaca diktum ke-2 dan ke 5 Pemberitahuan pada pokoknya menyebutkan penutupan akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Maluku dan akan berlaku sejak tanggal 17 sampai dengan 1 Mei 2020.   Berarti penutupan akan dimulai pada hari ini Jumat, 17 April 2020. Artinya yang akan melakukan kebijakan penutupan ini adalah pihak Pemerintah Provinsi Maluku bukan Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku. Ada 2 hal yang menimbulkan pertanyaan mendasar, pertama batas waktu pemberitahuan dengan waktu penutupan hanya 2 (dua) hari  yakni sejak dikeluarkannya pemberitahuan tanggal 15 April 2020 sampai 17 April 2020, bisa dibayangkan bagaimana soal koordinasi, sosialisasi dilapangan dengan banyaknya kelompok berkepentingan atau stakeholder yang terdampak seperti mobil anngkutan AKDP, kapal penyebrangan, orang-orang yang menggantungkan hidup disektor pelabuhan seperti penjual, pedagang “jibu-jibu”, ojek, tukang becak, mobil rental dan lain-lain, bagaimana nasib mereka selanjutnya mata pencaharian terputus, apakah ada kompensasi bagi mereka, apakah sudah dipastikan dan dilakukan pendataan mereka yang terdampak dan pemerintah menyiapkan konvensasi buat mereka, kita tidak ingin berharap ada warga masyarakat maluku yang harus makan “tikus” seperti yang viral dimedia yang terjadi pada buru migran akibat kehabisan ekonomi dan bahan makananan yang layak. 

Semoga ada langkah nyata dari pemerintah Provinsi Maluku dan Tim harian gugus Covid-Maluku dalam melihat permasalahan ini sehingga akibat negatif yang muncul bisa diatisipasi dari ketergesaan sebuah kebijakan tanpa adanya norma dan pengaturan atas perlindungan warga masyarakat dalam sebuah sistem regulasi yang baik. karena secara hukum setiap kebijakan atau tindakan pemerintahan haruslah dibuat melalui sistem regulasi yang tersedia sesuai UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundnag-undangan seperti Peraturan Gubernur, Keputusan Gubernur sehingga hak-hak masyarakat bisa terlindungi, dan tidak terjadi mall administrasi dan abuse of power, sebab secara teoritis efektivitas hukum seperti yang diajarkan Selo Soemardjan (1965) bahwa dalam efektifnya hukum, pentingnya  usaha-usaha penanaman hukum di dalam masyarakat agar warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui, dan menaati suatu aturan hukum dan jangka waktu penanaman hukum seperti sosialisasi, koordinasi lebih panjang usaha penanaman hukum itu. Semoga tulisan ini mendapat perhatian dari kita semua khususnya Pemerintah daerah Provinsi Maluku dan Tim Gugus Covid-19 agar lebih hati-hati dan bijaksana dalam mengambil setiap keputusan, sebab dalam penanganan Covid-19 tidak hanya menyelamatkan manusia dari sisi kesehatan namun hendaknya berbanding lurus dengan perlindungan dan penyelematan hak-hak warga negara dari sisi hak hidup yang lain seperti hak atas pekerjaan, hak mendapatkan penghidupan yang layak, hak ekonomi, hak beribadah, hak akses sosial kemasyarakatan dan lain-lain merupakan deratan hak warga negara (ground rechten) dan hak asasi manusia (mensenrechten) yang dijamin dalam konstitusi UUD NRI Tahun 1945. Sekali lagi kondisi dalam kedaruratan pandemi Corona virus seperti saat ini tidak harus menghilangkan kewarasan kita dan cara-cara berhukum yang baik dan benar karena bagaimanapun negara ini adalah negara hukum supreme of law yang harus dijunjung tinggi.

Semoga kebijakan ini meskipun inprosedural hukum namun dapat efektif memutus peredaran covid-19 di Maluku dan tetap mengantisipasi akses negatif yang timpul dari kebijakan ini. Semoga saja. Amiin.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *