Oleh: Dr.Abidinsyah Siregar (Ahli Utama BKKBN dpk Kemenkes/ Alumnus Public Health Management Disaster, Thailand/ Dewan Pakar PB IDI/ Ketua Orbinda IKAL Lemhannas)
SUDAH ADAKAH PENETAPAN MENKES ?
#Waktu sangat cepat berjalan. Tindakan harus lebih cepat diambil.
SABUROmedia, Jakarta – Hari ini sudah 4 hari berjalannya Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2020 tentang tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang berlaku sejak ditandatangani bapak PresidenJokowi pada 31 Maret 2020.
Kebijakan ini diambil Presiden dengan memperhatikan penyebaran Virus Covid-19 yang luas di Indonesia, dengan jumlah kasus dan jumlah kematian yang terus meningkat sehingga berdampak kepada suasana kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi aspek politik, ekonomi, keuangan, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, keagamaan seterusnya kepada kesejahteraan masyarakat termasuk kesehatan.
Keadaan ini “memaksa” Pemerintah “meningkatkan” perhatian dan tindakan penanganan ketingkat pembatasan sosial berskala besar.
Kebijakan yang diturunkan dari UUD 1945 dan sejumlah UU, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan, dimaksudkan untuk menjangkau seluas mungkin upaya penanganan Virus Covid-19 sehingga tidak menyisakan problem dan menekan terjadinya problem baru.
APAKAH ITU PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR ?
Mengutip dari Pasal 1 PP.21 Tahun 2020, Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Covid-19 sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran virus Covid-19.
Presiden menegaskan bahwa Keputusan ini merupakan pilihan yang paling rasional. Artinya, Presiden sudah melihat dari berbagai alternatif pilihan yang tersedia.
Dalam teori problem solving methode, tentu pilihan rasional mengandung makna keputusan tersebut well defined (jelas luas dan batasnya), well evidence (jelas tegas alasan faktualnya), well structured (jelas struktur problem dan pengambil keputusannya) dan well command (jelas puncak pengambil keputusan sekaligus penanggunjawab).
BAGAIMANA PRAKTIK PSBB
Landasan utama penyelamatan seluruh rahyat Indonesia dalam wilayah Republik ini tentu merupakan bahagian dari amanat Tujuan Nasional kita yang tertera pada Pembukaan UUD 1945 dimana pada alinea ke-empat, tujuan nasional yang pertama adalah “Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Sesuai perjalanan waktu, sejak Reformasi 1999 diterapkannya Otonomi Daerah selama 20 tahun, peran Daerah semakin menonjol dan menunjukkan manfaat nyata bagi kemajuan dan kemandirian Daerah, yang sekaligus menjadi pilar kekuatan Negara Kesatuan RI.
Dalam penanganan bencana, setiap Daerah sudah punya Struktur dan Sumberdaya tangguh yang terorganisir dengan baik.
PP 21 Tahun 2020, menempatkan Daerah menjadi leading faktor dalam Kebijakan PSBB.
Dalam Pasal 6 ayat 1, disebutkan PSBB diUSULkan oleh Gubernur/ Bupati/ Walikota kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan (Menteri Kesehatan) untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar dengan memperhatikan PERTIMBANGAN Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Covid-19 (Kepala BNPB).
Diluar itu, Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Covid-19 dapat pula mengUSULkan kepada Menkes untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah tertentu.
Selanjutnya apabila Menkes menyetujui maka Kepala Daerah di wilayah tertentu WAJIB melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yaitu pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu Provinsi atau Kabupaten/Kota tertentu. Dengan dukungan TNI dan Polri.
Disebutkan pembatasan Orang dan Barang sangat tepat dalam pencegahan dan penanganan Virus Covid-19.
Virus covid-19 hanya diam tidak bergerak, tetapi manusialah yang MENGGERAKKAN menjadi tumpangan virus, baik sebagai Carrier (pembawa) atau sebagai Suspect (bergejala identik) hingga kemungkinan menjadi Penderita. Sedangkan Barang menjadi “media” tumpangan yang kelak berpindah dari orang ke-orang sehingga membantu penyebaran semakin lebih luas.
SEMAKIN HARI SEMAKIN MENGANCAM
Hari ini 3 April 2020 pukul 17.00 GMT jumlah kasus pederita positif Virus Covid-19 (sesuai perhitungan penulis diakhir Maret 2020 yl) sudah menembus angka 1 juta, persisnya 1.074.253 kasus dengan kematian 56.987 orang (5,3 %) dan sembuh 226.054 orang (21,6 %).
Sementara itu Indonesia di posisi 37 dari 204 Negara terpapar, dengan jumlah kasus 1.986 orang (pertambahan sehari ini 196 kasus baru), meninggal 181 orang bertambah 11 orang (9,1 %) dan sembuh 134 orang (6,7 %).
Ada yang menyederhanakan dengan mengatakan Indonesia kasus kematiannya masih sangat-sangat rendah yakni 0,7. Angka dikutip dari kolom infografis WHO yang menghitung angka kematian persejuta penduduk.
Mari kita lihat apa relevansinya mengutip angka itu saat kegentingan dan keseriusan Negara mencegah penyebaran Virus Covid-19.
Dibandingkannya dengan Prancis 83 (dengan 59.105 kasus dan 5.387 kematian), dengan Italia 243 (119.827 kasus dan 14.681 kematian) atau rerata global 7,3 (1.074.253 kasus dan 56.987 kematian).
Kita lihat negara lain yang hampir sama dengan Indonesia 0,7 antara lain Arab Saudi 0,7 (dengan jumlah kasus 2.039 dengan kematian 154 orang), Burkina Faso 0,8 (309 kasus, kematian 14 orang), Uni Emirat Arab 0,8 (1.024 kasus dan 8 kematian), Singapore 0,9 (1.114 kasus dan 5 kematian), Australia 1,0 (5.350 kasus dan kematian 28 orang), atau China 2,0 (dengan 81.620 kasus dan kematian 3.322).
Atau dengan negara yang jumlah kematiannya hampir sama dengan Indonesia, seperti Canada (dengan kasus 11.747 dan kematian173) angka rerata kematian persejuta penduduk adalah 5.0. Korea Selatan 3.0 (dengan 10.062 kasus dan 174 kematian).
Apa yang mau disimpulkan, kecuali penyederhanaan yang menghilangkan kewaspadaan, yang tidak sejalan dengan tekad Presiden menerbitkan PP PSBB.
SUDAH ADAKAH PROVINSI DENGAN STATUS PSBB?
Empat hari efektifnya PP 21/2020 adakah Provinsi/Kabupaten/Kota yang mengusulkan permintaan status PSBB? Atau adakah pengusulan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Covid-19 kepada Menkes untuk penetapan status PSBB di wilayah tertentu?
Sejak 31 Maret hingga 3 April malam sudah terjadi pertambahan kasus positif virus Covid-19 dari 1.528 menjadi 1.986 kasus (bertambah 458 orang) dan kematian dari 136 menjadi 181 (bertambah 45 orang).
Sesuai semangat penerbitan PP 21 tahun 2020, dengan alasan kegentingan, maka tindakan tepat dan cepat dalam SEPULUH hari pertama ini, sangat menentukan apakah efektif dan masih efektif kah nanti kebijakan penting ini.
BAGAIMANA JAKARTA
Bisa dimaklumi psikologis penyelenggara pemerintahan disana saat ini. Tidak sekali upaya cepat yang dilakukan “dianggap” tidak tepat.
Seperti ketika Bapak Presiden menetapkan kebijakan Social Distancing dan Work From Home (Belajar dari rumah, bekerja dari rumah dan beribadah dirumah), keesokan harinya Gubernur DKI menerapkan kebijakan pengurangan jumlah transportasi di kota Jakarta. Ternyata tampak banyak orang antrian panjang menunggu bus di berbagai terminal dan halte. Tampak jelas kebijakan Presiden bagai tidak mendapat respons rasional dari berbagai Instansi perkantoran, Pemerintah maupun Swasta.
Demikian pula yang dilakukan para Kepala Daerah di Depok, Solo, Tegal, Makassar hingga Papua dan banyak lagi.
Dari situs corona.jakarta.go.id tanggal 3 April pukul 08.00 WIB yang dikutip CNBC Indonesia, Total kasus positif di Jakarta mencapai 958 orang yang sehari sebelumnya tercatat 885 kasus, dengan rincian 609 orang dirawat, 54 orang sembuh, 96 orang meninggal dan 199 orang isolasi mandiri. Disamping itu ada 720 kasus menunggu hasil test.
Ada sejumlah 16 Kelurahan dengan variasi 6-19 kasus sebagai spot kasus virus Covid-19 di Jakarta yang bisa sewaktu-waktu mengubah Jakarta menjadi Epicentrum wabah ini. Tentu ini tidak kita inginkan.
Kini dengan PP21/2020 apakah Menkes dan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Covid-19 berkenan mengambil inisiatif cepat dan tanggap menilai status kedaruratan dan menetapkan Status PSBB di berbagai tempat sembari mengkordinasikan semua dampak yang akan mengikuti dengan konsep matang dan terkendali.
Saya punya sedikit perhatian lebih untuk Jakarta, karena ia Ibukota Negara, kota dengan penduduk hampir 11 juta dan siang hari bisa menjadi 14 juta. Kota pusat Pemerintahan Nasional juga pusat perekonomian. Banyak pendatang dan pekerja dengan pergerakan yang luas. Kota terbuka dan sekaligus harapan semua orang. Tentunya menjadi perhatian ahli.
DARIMANA MULAINYA
Mengutip data Google yang menganalisis data lokasi dari puluhan juta ponsel setelah pemerintah menerapkan kebijakan social distancing, Data dikumpulkan dari mobilitas pengguna dari tanggal 6 Februari hingga 29 Maret 2020.
Hasilnya mobilitas masyarakat ke restoran, kafe, pusat perbelanjaan, taman, museum, perpustakaan hingga bioskop TURUN 47% selama periode itu.
Tren mobilitas masyarakat Indonesia ke toko bahan makanan, pasar, gudang makanan hingga ke toko obat TURUN 27%. Tren mobilitas masyarakat ke taman nasional, rekreasi pantai, plasa hingga taman publik TURUN 52%.
Mobilitas masyarakat ke transportasi bus dan stasiun kereta api TURUN 54%. Mobilitas warga Indonesia KE TEMPAT KERJA TURUN 15%.
TETAPI tren mobilitas warga DI PERUMAHAN BERTAMBAH 15%. Epidemiolog melihat ini pun perlu diwaspadai.
Data ini bisa menjadi salah satu EVIDENCE DICISION bagi Menkes dan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Covid-19
Dan tidak perlu menunggu USULAN Daerah, belajar dari “kegaduhan” yang membuat Daerah bagai serba salah.
Kemampuan Pusat dalam analisa SWOT dengan memanfaatkan data dan pemetaan Geospasial akan dengan cepat membantu pengambilan keputusan.
Penulis jadi ingat pesan dari Diklat “Think Big, Start Small, Act Now”.
Konsep Hebat Jangan Terlambat.
Jakarta 3 April 2020. 23.30