Oleh: Fachri Ahmad Difinubun
SABUROmedia, Ambon – European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) memberikan pedoman implementasi Social Distancing (Pembatasan Badan/PB) yang merupakan kegiatan nonfarmasi. Salah satu penyangga dalam melakukan PB adalah kesiapan masyarakat dan/atau mereka yang terinveksi Corona/Covid-19 dalam melawan stigma
PB menjadi senjata pamungkas dihampir seluruh belahan dunia yang mengalami pandemik, dan beberapa negara Eropa yang sangat tegas memberlakukan PB menunjukan angka penurunan korban Covid-19 yang signifikan.
Pada Senin (6/4), Jerman mengumumkan, jumlah kasus baru lebih sedikit (2.259) orang dibanding jumlah kasus pada Minggu (5/4) yang mencapai 5.936 orang. Sudah empat hari berturut-turut Jerman melaporkan penurunan jumlah inveksi baru.
Spanyol juga melaporkan, jumlah kematian terus menurun sepanjang akhir pekan lalu. Jumlah korban tewas pada Minggu (5/4) berkurang 276 jiwa dibanding Sabtu (4/4). Laju kematian juga berkurang di Italia, negara dengan jumlah korban meninggal terbanyak selama pandemi sehingga menjadi episentrum Eropa. Jumlah korban tewas pada Minggu dilaporkan 525 jiwa, terendah dalam dua pekan terakhir.
Begitupun dengan Perancis yang mengumumkan penurunan jumlah kematian akibat Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19, yakni 357 orang meninggal pada Minggu (5/4).
Beberapa negara tersebut walaupun merupakan negara dengan angka inveksi terbanyak di dunia. Akan tetapi karena kebijakan PB atau social distancing yang sangat tegas, berikut edukasi yang masif dan tepat kepada masyarakatnya, sehingga curva Covid-19 di negara mereka berangsur-angsur landai.
INDONESIA BISA APA?
Serangan Covid-19 seakan tak ada jeda, virus dengan masa inkubasi 14 hari ini bekerja sebagai sebuah sistem, terstruktur, sistematis dan masif. Gemilangnya ilmu pengetahuan manusia dibuat keok. Bahkan negara-negara yang punya sejarah panjang sebagai imperialis di jajah olehnya. Dengan demikian, untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 peran pengetahuan dan solidaritas menjadi penting.
Sehingga terhadap apa yang dipraktikkan oleh negara-negara Eropa dimuka harusnya menjadi cerminan bangsa Indonesia. Dimana ketegasan pemerintah dan kedisiplinan masyarakat sebagai kunci keberhasilan.
Sedang yang terjadi di Indonesia justru berbanding terbalik dengan apa yang diupayakan negara-negara Eropa tersebut. Dalam banyak kasus, akibat ketidaktegasan pemerintah, masih banyak masyarakat yang berseliweran di luar rumah. Pun tidak sedikit masyarakat yang belum tersentuh edukasi terkait penanganan Covid-19 dan betapa pentingnya menjaga jarak fisik.
Dalam kacamata epidemiologi, praktis pemerintah Indonesia belum benar-benar melihat epidemik ini sebagai sentrum dari segalah bencana, baik ekonomi, politik, kemanusiaan hingga pertahanan dan keamanan. Realitas paling mutakhir yaitu ketika tenaga medis kekurangan APD, RS defisit kapasitas daya tampung, dan masyarakat hampir-hampir tidak mampu membeli masker, mega proyek seperti pemindahan Ibu Kota masih tetap dalam pembahasan Istana. Bahkan kabar terbaru, paket kebijakan ekonomi Omnibus Law tak terbendung oleh Corona.
Tidak hanya itu, disamping desakan waktu, pemerintah (pusat) agak lamban dalam proses penanganan Covid-19. Bagaimana tidak? Sampai tempo ini, tidak ada satupun pemerintah (daerah) yang dapat melaksanakan PP No 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kenapa demikian? Prosedur dan persyaratan pengajuan PSBB secara prinsipil sangat ruwet dan berbelit-belit.
Misal beberapa waktu lalu setelah PP tersebut terbit, Pemda DKI Jakarta langsung mengajukan untuk PSBB kepada pemerintah (pusat), dan karena dianggap belum memenuhi syarat, berkas-berkas pengajuan PSBB dikembalikan ke tangan Anis Baswedan untuk dilengkapi. Padahal dalam kondisi semacam ini, pemerintah (pusat) seyogyanya mengambilalih kekurangan tersebut untuk dieksekusi langsung oleh pemerintah (pusat) yang dibantukan oleh pemerintah (daerah) terkait.
Contoh dalam pengajuan PSBB tersebut tidak terpenuhinya syarat kajian epidemiologi, maka pemerintah (pusat) bersama-sama pemerintah (daerah) berintegrasi dalam tenggat waktu 24 jam untuk menyelesaikan kajian tersebut. Jadi, tidak seolah-olah pemerintah (daerah) diberi beban lebih untuk menangani Covid-19.
Begitupun pentingnya memberi pemahaman kepada masyarakat dalam rangka membendung kepanikan yang berlebihan. Sehingga tidak ada dari masyarakat yang melakukan penimbunan berlebihan atas kebutuhan pangan.
Pemerintah dalam hal ini juga patut untuk mengontrol pasar, agar para pelaku usaha tidak seenaknya membandrol harga pahan pokok kepada pembeli.
Dengan demikian untuk mewujudkan upaya tersebut dimuka, maka kewibawaan pemerintah, terutama pemerintah (pusat) mesti benar-benar termanifestasi dalam setiap kebijakannya, dan kepentingan kemanusiaan di dudukkan diatas segala-galanya. (**)
Jakarta-Surabaya, 9 April 2020.