Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. (Direktur HRS Center)
SABUROmedia, – “Pemerintah Pusat memikul kewajiban dan tanggung jawab (obligation and responsibility) untuk memenuhi pangan masyarakat dalam rangka Karantina Wilayah.”
Sebagai bagian masyarakat dunia, Indonesia berkewajiban untuk melakukan cegah-tangkal terhadap terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia (Public Health Emergency of International Concern) sebagaimana diamanatkan dalam regulasi internasional di bidang kesehatan (International Health Regulations 2005). Dalam rangka melaksanakan amanat ini, Indonesia juga harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia, dasar- dasar kebebasan seseorang, dan penerapannya secara universal.
Undang-Undang
Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mendefinisikan Kekarantinaan
Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal
keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang
berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat (Pasal 1 angka 1).
Sebagai suatu upaya, maka harus didahului dengan kebijakan dan strategi. Hal in
dikenal dengan pendekatan Kebijakan, Strategi dan Upaya (KSU), selain Subjek,
Obyek dan Metode (SOM). Pencegahan dan penangkalan adalah satu paket.
Pencegahan dimaksudkan sebagai upaya dicegahnya penyakit dan/atau faktor risiko
kesehatan masyarakat keluar dari suatu wilayah tertentu. Adapun penangkalan
ditujukan terhadap masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan
masyarakat ke dalam wilayah
tertentu. Dalam rumusan Pasal 1 angka 1 terdapat frasa “yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat”, maknanya bahwa kedaruratan kesehatan masyarakat tersebut
tidak harus terjadi, cukup dengan adanya indikasi yang menunjuk adanya potensi.
Dengan demikian, dapat dikatakan “kedaruratan kesehatan masyarakat” tidak
bersifat ‘imperatif’, akan tetapi ‘fakultatif’. Di sini tolok ukurnya adalah
pendekatan medis yang ‘otoritatif’. Oleh karena
itu, tidak dapat dibenarkan pengambilan kebijkan, strategi
dan upaya dengan dasar pendekatan politis maupun ekonomis. Di sisi lain,
kedaruratan kesehatan masyarakat, sesuai dengan penamaannya bersifat luar biasa.
Penetapan status kedaruratan kesehatan masyarakat ditandai dengan adanya penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian lainnya, yang kesemuanya itu menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara (Pasal 1 angka 2). Dapat dipahami bahwa status kedaruratan kesehatan masyarakat mempersyaratkan adanya suatu tanda penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian lainnya yang menimbulkan bahaya kesehatan dan adanya potensi penyebaran baik lintas wilayah atau lintas negara.
Terkait dengan wabah virus corona (COVID-19), maka sesunggunya persyaratan status kedaruratan kesehatan masyarakat telah terpenuhi, yakni dengan adanya korban terpapar dan pasien meninggal dunia dengan persentase angka kematian yang mengkhawatirkan. Demikian pula penyebaran COVID-19 potensinya demikian siqnifikan. ‘Probabilitas’ risiko kesehatan masyarakat demikian tinggi dan mengancam keselamatan jiwa masyarakat secara berkelanjutan. Pemerintah Pusat tidak dapat lagi mengelak dari kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, maka sudah seharusnya dilakukan Kekarantinaan Kesehatan. Peraturan Pemerintah yang sedang dipersiapkan harus mengacu kepada pendekatan Kekarantinaan Kesehatan dimaksud.
Kebijakan Karantina Wilayah merupakan bagian respons dari kedaruratan kesehatan masyarakat (Pasal 53). Dengan kebijakan ini, maka diharapkan pendeteksian dini (early warning) maupun penangggulangannya akan berlaku efektif. Ketika ditemukan adanya satu atau beberapa anggota masyarakat yang terpapar, maka dilakukan tindakan isolasi dan segera dirujuk ke Rumah Sakit. Tindakan preventif ini merupakan metode memperkecil risiko kesehatan masyarakat. Selain Karantina Wilayah, respons dari kedaruratan kesehatan masyarakat juga ditujukan kepada Karantina Rumah Sakit (Pasal 56) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar, didalamnya termasuk peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum (Pasal 59).
Keberlakuan
Karantina Wilayah mewajibkan Pemerintah Pusat untuk memenuhi/menjamin kebutuhan
hidup dasar masyarakat dan termasuk makanan hewan ternak (Pasal 55 ayat 1).
Kebutuhan hidup dasar masyarakat yang paling
pokok adalah pangan. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia
yang dijamin di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Negara
berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. (Butir menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan). Sepanjang waktu disini harus dimaknai tidak hanya dalam keadaan normal, namun juga dalam keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Penting untuk dicermati kemungkinan adanya ancaman “krisis pangan” dalam suatu daerah Karantina. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah menentukan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan tindakan untuk mengatasi krisis pangan. Tindakan yang dapat dilakukan adalah antara lain dalam bentuk pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan mobilisasi cadangan pangan masyarakat di dalam dan antardaerah (Pasal 44). Kesiapan cadangan pangan ini harus menjadi fokus perhatian, sebab hal ini terkait dengan kewajiban Pemerintah Pusat sebagaimana perintah Pasal 55 Undang- Undang Kekarantinaan Kesehatan.
Undang-Undang
Pangan juga menetapkan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
“keadaan darurat” atas penyediaan dan penyaluran pangan pokok dan/atau pangan
lainnya sesuai dengan
kebutuhan (Pasal 58 ayat 1). Undang-Undang Pangan tidak memberikan
penjelasan tentang status keadaan darurat. Namun dengan terjadinya wabah
COVID-19, maka keadaan darurat dimaksud mengacu kepada kondisi kedaruratan
kesehatan masyarakat (Karantina Wilayah). Pemerintah Pusat bertindak selaku
pemangku tanggung jawab (duty holder), adapun
masyarakat sebagai pihak pemegang hak (right
holder). Pemerintah Pusat memikul kewajiban dan tanggung jawab (obligation and responsibility) untuk
memenuhi pangan masyarakat dalam rangka Karantina Wilayah. Pemerintah Pusat
harus melakukan langkah-langkah tertentu untuk melaksanakan pemenuhan suatu
hak, dan kewajiban untuk berdampak (obligation to result) guna mencapai
sasaran tertentu dalam rangka memenuhi pangan di wilayah Karantina. Dalam
situasi yang demikian, peran Pemerintah Daerah dan pihak terkait bersifat
pembantuan (medebewind). Pembantuan
ini menunjuk pada penugasan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah guna melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana, dan prasarana,
serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya kepada
Pemerintah Pusat.
Polemik lockdown yang terjadi memang tidak dapat dielakkan, sebab hal ini terkait dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah sebenarnya telah jelas pembagian urusan pemerintahan ‘konkuren’ antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota. Dengan mewabahnya COVID-
19 secara lintas provinsi, maka kewenangan tersebut berada pada Pemerintah Pusat (Pasal 13 ayat 2).
Kelambanan Pemerintah Pusat untuk menyatakan kedaruratan kesehatan masyarakat (Karantina Wilayah), telah menyebabkan masing-masing daerah memberlakukan Karantina Wilayah secara mandiri, bahkan di level grassroots. Seyogyanya, Pemerintah Pusat segera memberlakukan Karantina Wilayah. Tidak ketinggalan pembatasan akses masuk WNA untuk sementara waktu perlu diterapkan. Negara membutuhkan keselamatan jiwa dan tidak dapat dilogikakan dengan pendekatan politis maupun ekonomis. Pembukaan UUD 1945 menyatakan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” COVID-19 adalah ancaman nyata terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Terlepas apakah virus itu murni alami atau diciptakan, yang jelas keberadaannya mengancam hidup dan kehidupan manusia. Kita sangat berharap COVID-19 segera berakhir dan bangsa ini melangkah maju mensejahterakan rakyat Indonesia. (**)