Oleh: Kalis Mardiasih (penulis konten dan fasilitator Gusdurian National Networks of Indonesia)

SABUROmedia, Jakarta – Ketika sedang menikmati pijitan seorang perempuan dari layanan jasa pijit online, perempuan itu bercerita bahwa ia tengah dalam masa pelarian dari rumah. Suami yang sudah tak bekerja hampir satu tahun semakin sering berbuat kasar, seperti pemaksaan dan eksploitasi seksual ketika ia sedang lelah-lelahnya sepulang kerja. Terakhir, perempuan ini memutuskan pergi dari rumah setelah sang suami memukulinya di depan anak-anak mereka sambil menuduhnya selingkuh karena sering pulang larut malam.

Pandemi Covid-19 meniscayakan manusia untuk mengkarantina diri sendiri. Penularan virus dari manusia ke manusia mensyaratkan satu-satunya solusi untuk mencegah penyebaran wabah adalah membatasi interaksi antarmanusia. User media sosial seperti Twitter dan Instagram ramai mempopulerkan gerakan #DiRumahAja. Kebanyakan masyarakat yang memiliki privilege dari kantor masing-masing untuk bekerja dari rumah ini mem-posting foto aktivitas produktif di rumah, juga mengunggah video-video menghibur untuk saling menyemangati, tentu saja karena mereka tahu betul, manusia tak bisa lari dari kebosanan dan perlu hiburan.

Aktivitas mengkarantina diri di rumah barangkali berkah untuk masyarakat kelas menengah atas ber-privilege, tapi situasi ini tidak mudah dihadapi perempuan korban kekerasan. Jika rumah diromantisasi sebagai tempat pulang dan tempat paling nyaman untuk banyak orang, bagi perempuan korban kekerasan rumah bukan tempat aman. Rumah tidak selalu berarti tempat perlindungan; bagi banyak orang, rumah justru tempat paling mencekam.

Catatan tahunan Komnas Perempuan, sepanjang 2019 sebesar 75,4% kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di ranah personal. Artinya, kasus kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di dalam rumah dan pelakunya adalah pihak terdekatnya.

Efek krisis ekonomi dari wabah Covid-19 sudah terasa. Pusat perdagangan tak beroperasi. Sektor pariwisata lumpuh. Toko dan warung makan merumahkan karyawan sampai waktu yang tidak pasti tanpa gaji. Sebagian perusahaan bahkan telah memecat karyawan tanpa pesangon. Situasi krisis adalah tantangan berat untuk keluarga yang menggantungkan pendapatan pada satu orang pencari nafkah utama.

Kultur patriarki yang terbiasa memotret laki-laki sebagai sosok yang harus menanggung nafkah keluarga menjadi sumber kerentanan. Laki-laki, yang dipersepsi harus selalu sukses secara finansial atau mandiri secara ekonomi, berpotensi merasa amat gagal ketika kehilangan acuan kuasanya, dalam konteks ini adalah pekerjaan.

Kehilangan pekerjaan, yang seharusnya merupakan siklus yang dapat menimpa siapa saja, dalam kultur patriarki menyebabkan laki-laki mengalami tambahan perasaan malu, terpuruk, bahkan kehilangan perasaan sejati. Inilah siklus yang bernama toxic masculinity atau maskulinitas beracun.

Laki-laki yang merasa gagal jarang berekspresi lewat keluhan atau tangisan. Patriarki tidak menerima laki-laki yang mengeluh atau menangis, sehingga laki-laki menyalurkan perasaan tak berdaya lewat kemarahan dan kekerasan kepada lingkungan sekitarnya. Inilah awal mula rantai kekerasan dalam rumah tangga.

Sementara itu, di Facebook muncul sebuah grup berjudul Komunitas Penindas Wanita. Sampai 27 Maret ini, grup itu beranggotakan 1300 lebih anggota. Anggota grup mem-posting kalimat-kalimat dalam meme bertendensi kekerasan seperti, “Ingin memukul wanita hamil”, “Sesalah-salahnya wanita, laki-laki sejati tetap memukulinya”, “Saran barang yang enak buat mukulin betina ga? Selain sabuk”, “Walaupun hidup seribu tahun kalau tak pukul wanita hidup tak bahagia”.

Lewat observasi sederhana, anggota grup ini adalah laki-laki remaja dengan usia di bawah 20 tahun. Grup dengan jargon “mari menindas wanita” ini dibuat dengan tujuan lelucon bagi laki-laki yang diputus oleh pasangannya. Tentu saja perlu penelitian lebih serius soal bagaimana laki-laki remaja di era komunitas digital mempersepsi humor misoginis semacam ini. Budaya dark joke yang maknanya disalahpahami ini berefek sangat mengerikan.

Laki-laki remaja ini bisa saja mengafirmasi rantai kekerasan kepada pasangan barunya. Selebihnya, pola yang terlihat masih sama. Laki-laki yang secara sadar merasa dirinya tak berdaya, tetap ingin terlihat memiliki kuasa terhadap lingkungan sekitarnya dengan berekspresi lewat bahasa kekerasan dan represif.

Studi Oxford-based European Sociological Review mendeskripsikan perempuan bekerja yang mandiri secara finansial tiga kali lipat lebih berani mengajukan perceraian. Kelompok muslim konservatif di Indonesia memakai data ini untuk mengampanyekan perlawanan terhadap kesetaraan gender. Kelompok ini berasumsi bahwa perempuan yang mandiri secara finansial akan berani melawan suami, sehingga menyebabkan krisis keluarga.

Pembacaan yang benar atas data tersebut adalah, bahwa perempuan yang mandiri secara finansial lebih berani berkeputusan untuk meninggalkan sebuah hubungan yang beracun. Hal ini tentu saja sah dan sudah seharusnya. Dalam rumah tangga lain, perempuan yang bergantung secara ekonomi kepada pasangan terpaksa menerima kata-kata kasar, pukulan, dan ancaman setiap hari karena tidak ada cara lain untuk bertahan, apalagi rumah tangga yang memiliki anak-anak dalam masa sekolah.

Perempuan korban, pada akhirnya bertahan dalam siklus kekerasan, dan kelak akan mewariskan siklus kekerasan yang sama kepada anak-anaknya, sebab faktor ekonomi.

Situasi darurat pandemi yang mengakibatkan status karantina mandiri ini jelas bukan kabar baik bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban terpaksa berkumpul 1×24 jam untuk rentang waktu yang belum pasti bersama pelaku kekerasan dan tak boleh sebentar saja melarikan diri. Semoga para perempuan mendapat ruang aman mereka selama #DiRumahAja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *