Oleh: Samsir Pohan (Ketua DPD KNPI Prov Sumatera Utara)

SABUROmedia, Medan – “ Epidemi seringkali lebih berpengaruh daripada pejabat negara atau tentara dalam membentuk sejarah politik, dan penyakit pulalah yang sering mewarnai suasana peradaban”. – Renè Dubos, Ahli Mikrobiologi Amerika 1901-1982

Sebelum memulai tulisan ini, saya memohon pemakluman jika ada kesalahan penyampaian. Saya sangat berhati-hati dalam menuliskan opini tentang virus korona, pandeminya serta  kaitannya dengan ketahanan nasional kita. Saya menyadari bahwa saya bukan ahli medis atau ahli virologi. Saya hanya berbicara kemungkinan dampak selain medis akibat wabah virus korona ini.

Bandung Fe Institut bekerjasama dengan Surya Researh International, pernah menerbitkan buku “Solusi untuk Indonesia; Prediksi Ekonofisik / Kompleksitas” yang diterbitkan oleh PT Kandel tahun 2008. Buku besutan Prof. Yohanes Surya dan Hokky Situngkir itu memuat bab khusus bahasan tentang epidemiologi sebagai masalah ketahanan sosial.

Studi kasus Bandung Fe Institute dengan pendekatan kompleksitas komputasi dan analisis mekanika statistik tentang flu burung pada tahun 2006. Saat itu, virus H5N1 yang berasal dari unggas itu menghantam perekonomian kita. Sempat oleng. Itu karena yang diserang bukan hanya manusia sebagai inang baru virus H5N21, tapi juga menyerang unggas yang merupakan salah satu sumber protein andalan kita.

Saya tidak ingin membahas lebih jauh tentang kronologi endemi flu burung yang kemudian menjadi pandemi (mewabah seluruh belahan dunia) saat itu, tapi membawa alam pikir kita kembali ke tahun 2006 itu. Saat itu media sosial dan arus informasi tidak sederas sekarang. Itu pun, sudah membuat kepanikan ekonomi dan sosial. Bandingkan dengan sekarang; virus korona.

Sebelum ini, jenis virus korona sudah dikenal. SARS misalnya, endemi dari Hong Kong ini mengakibatkan sindrom pernafasan akut berat. Begitu juga MERS CoV yang bermula di Timur Tengah. Keduanya sama-sama jenis virus korona dan menyerang sistem pernafasan. Bedanya, vaksin untuk keduanya itu cepat ditemukan.

Sementara ini, vaksin virus korona COVID-19, yang awalnya hanya endemi di Wuhan-Hubei China sampai akhirnya menjadi pandemi di semua belahan dunia, belum juga ditemukan vaksinnya. Kalaupun ada beberapa penelitian yang mengklaim, tapi masih dalam tahap uji.

Sebagai bangsa, kta harus berani merefleksi diri dan mengakui bahwa sesungguhnya kita belum benar-benar siap menghadapi hantaman wabah sedahsyat COVID-19 ini. Efek kejutnya sangat menakutkan. Lihatlah Wuhan dan Itali; ngeri.

Apa yang akan terjadi 1-2 bulan lagi?

Sebelum jauh, saya mulai dengan satu pertanyaan.  Bukankah kita susah menemukan masker di pasaran? Kalau pun ada harganya naik sepuluh kali lipat dari biasanya.

Bayangkan, untuk memastikan ketersediaan masker dan mengontrol harga pasarnya saja kita belum sanggup. Bagaimana dengan gejolak ekonomi? Atau lebih detail lagi.

Bagaimana kesiapan kita menghadapi pasien COVID? Atau bagaimana jaminan perlindungan untuk tenaga medis kita yang bertugas?

Kita mulai gaduh tentang himbauan ibadah di rumah. Ramai-ramai kita bertikai lagi; soal relasi agama dan negara.

Akibat protokol social distancing, suami, istri dan anak tak luput dari pertengkaran akibat wabah ini. Anak tak boleh keluar rumah, suami tak leluasa lagi ngopi di luar dan istri di larang untuk bepergian ke tempat ramai. Kehidupan kita berubah.

Lihatlah, jalanan mulai lengang bukti bahwa masih banyak yang sadar mengisolasi diri sendiri.  Tapi tidak semua bisa berdiam di rumah. Banyak yang dilema; di rumah saja tak bekerja akan mati, keluar rumah untuk bekerja masih ada harapan hidup walau maut mengintai.

Apa yang terjadi 1-2 bulan lagi? Sebentar lagi bulan puasa dan lebaran. Ibadah tarawih mestilah berjamaah, beramai-ramai. Lebaran lazimnya mudik. Tak sedikit yang bergantung dengan moda transportasi umum.

Daya beli masyarakat pastilah menurun. Roda ekenomi tersendat. Korbannya lagi-lagi rakyat menengah ke bawah, rakyat miskin.

Apa yang harus kita lakukan?

Pertama, sadari dan fahami bahwa virus korona ini mewabah di seluruh belahan dunia; pandemik. Agar kita mau melihat dan belajar bagaimana negara-negara dan warganya yang berhasil meminimalisir dampak wabah.

Kedua; baik pemerintah maupun seluruh elemen bangsa, jadikan ini sebagai masalah bersama agar kita tidak hanya saling menyalahkan. Tentulah, pemerintah dan negara harus berada di garda terdepan sebagai teladan.

Ketiga; sadarilah, sebagai bangsa dan negara, kita memang belum cukup siap. Ini momentum negara dan pemerintah untuk menunjukkan ketulusan dan keseriusan untuk mengurusi rakyatnya.

Keempat; hargai dan dukunglah dokter dan paramedis yang berjuang menyelamatkan nyawa saudara-saudara kita yang terpapar COVID-19. Berupayalah untuk membatasi diri dengan orang lain. Tinggallah di rumah selama yang kita bisa. Mengurangi interaksi berarti memutus rantai penyebaran virus.

Masalah virus korona bukan soal medis semata

Sistem sosial adalah sesuatu yang kompleks. Pandemi virus korona bukan lagi sebatas persoalan medis. Ini terkait dengan kondisi ekonomi, sosial dan kesadaran publik dan kaitannya dengan tingkat pendidikan masyarakat.

Epidemi penyakit berkaitan dengan epidemi sosial seperti kemiskinan, pengangguran dan kebohohan. Mengatasi epidemi tak hanya sekadar mencari vaksin. Kompetisi antara kemunculan penyakit baru atau mutasi penyakit lama senantiasa selalu menang dengan laju kemampuan kita mencari obat atau vaksin yang tepat.

Secara populatif, kemampuan kita mengelola sistem sosial dan ekonomi rakyat merupakan sebuah langkah nyata. Pengentasan penyakit mestinya dilakukan secara interdisiplin dari masing-masing jenis penyakit.

Terakhir, segala bentuk himbauan dan uraian self-help tentang virus korona tentu saja tidak cukup mengurangi penyebaran virus. Penderita atau mereka yang memiliki risiko tinggi terinfeksi harus dikelola secara terpusat dan melibatkan seluruh sumber daya yang kita punya. (**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *